P Bambang Wisudo dan Indira Permanasari
Sumber: Kompas
Sejak kecil Atrianil (42) bercita-cita menjadi guru. Selulusnya dari program diploma pendidikan akuntansi di IKIP Padang pada tahun 1986, ia mengajar sebagai tenaga honorer di SMP Negeri I Payakumbuh.
Gagal menjadi pegawai negeri karena pemerintah mengubah kebijakan kualifikasi guru SMA dan tidak memenuhi kriteria sebagai guru ekonomi di SMP, ia hijrah ke Jakarta.
Genap sebelas tahun Atrianil mencari peruntungan di Jakarta, tetapi nasibnya tidak berubah, tetap saja ia berstatus sebagai guru honorer. Ia bekerja dari pagi hingga petang hari dengan hitungan per jam mengajar yang hanya dibayar pada minggu pertama untuk satu bulan mengajar. Ia mengajar 80 jam per minggu dengan penghasilan total kurang dari Rp 1 juta. Tidak ada jaminan sosial, penggantian biaya berobat ketika sakit. Tidak ada tanda-tanda nasibnya akan membaik.
Niat baik
Di balik pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Guru dan Dosen yang hampir selesai dibahas di DPR, tebersit keinginan pemerintah untuk memperbaiki kesejahteraan dan profesionalisme guru. Akan tetapi, sejauh mana niat baik itu akan mengubah wajah suram nasib guru di Indonesia. Tidak dimungkiri ada sebagian guru sekolah negeri dan sekolah elite yang hidup berkecukupan, tetapi jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan jumlah guru yang mencapai 2,2 juta orang.
Andaikata nasib guru sekolah negeri diperbaiki, bagaimana dengan nasib ratusan ribu guru honorer, guru bantu, dan guru sekolah swasta menengah bawah yang berada dalam kasta paling rendah dalam sistem pendidikan di Tanah Air?
Atrianil hanya bisa menahan kesedihannya ketika saat mudik Lebaran baru-baru ini kedua anaknya menolak diajak pulang ke Jakarta.
"Mama realistis saja, kita tidak mungkin bertahan hidup dengan kondisi seperti ini. Bila ada duit buat Ari, kumpulin saja untuk betulin atap yang bocor," tutur Atrianil menirukan argumentasi anaknya menjelang ia kembali ke Jakarta.
Atrianil hampir-hampir tidak percaya ucapan itu keluar dari mulut anaknya, Ari Kurniawan (12), yang baru keluar dari masa kanak-kanaknya. Ari tergolong anak yang pandai di bangku sekolah. Di SD ia sering juara pertama, bahkan pernah menjadi juara II kompetisi anak cerdas di Tangerang.
Dengan penghasilan kurang dari Rp 1 juta memang hampir tidak mungkin Atrianil hidup layak dan sendirian membesarkan kedua anaknya. Suaminya, sejak dipecat dari perusahaannya beberapa tahun lalu, jarang pulang ke rumah.
Beban hidup mereka agak teringankan karena Atrianil tidak perlu mengeluarkan uang kontrak rumah. Ia memiliki rumah seluas 50 meter persegi di Kampung Gondrong, Tangerang. Tanah dibelinya dari uang tabungan yang diperoleh dari saudara- saudaranya.
Dulu Atrianil paling pandai di antara delapan bersaudara. Ia satu-satunya yang bertahan menjadi guru.
Bertahun-tahun Atrianil mengajar dari pagi sampai sekitar pukul 21.00. Pagi-pagi ia bertolak ke sekolah, mengajar dari sekolah satu ke sekolah lain, dan kadang-kadang baru pulang ke rumah saat larut malam.
Suatu hari ia terserang tifus. Belum sampai benar-benar sembuh, ia berangkat mengajar. Tiba-tiba ia hilang kesadaran, jatuh terantuk batu, pelipisnya robek. Oleh karena tidak punya uang, sesuai dengan saran sopir bus, ia mengoleskan oli mesin untuk menghentikan pendarahan.
Darah di bajunya belum kering saat ia ke sekolah, sekadar untuk mengetes kepedulian sekolah. Bukannya diberi ongkos berobat, ia justru disalahkan, dianggap kurang berhati-hati.
"Seminggu luka saya kering, tetapi luka di hati saya tidak pernah kering. Ternyata begitu perlakuan terhadap guru," kata Atrianil.
Jadi korban gusuran
Tidak berbeda dengan Atrianil, Deddy Sudardi (47) juga terpinggirkan oleh ketidakadilan dalam sistem pendidikan yang berlaku sampai hari ini. Ia telah mengajar selama 20 tahun. Ia mengajar 50 jam pelajaran dalam seminggu dengan upah total Rp 1,3 juta.
Untuk menutup defisit membesarkan tiga anak, kini istrinya bekerja sebagai buruh pabrik garmen dengan upah Rp 150.000 per minggu.
Dengan penghasilan seperti itu, Deddy tidak mampu tinggal di rumah yang layak. Selama 10 tahun di Jakarta, ia terpaksa berpindah- pindah tempat tinggal, dari rumah satu ke rumah yang lain di permukiman kumuh yang berdiri di atas tanah tak bertuan.
Deddy tidak hanya dipinggirkan oleh sistem, tetapi juga tergusur dalam arti sesungguhnya. Rumahnya seluas 30 meter persegi di Jembatan Besi, Jakarta Barat, diroboh paksa bersama ratusan rumah lainnya dalam peristiwa penggusuran tahun 2003. Bangunan, alat-alat elektronik, dan perabotan rumah tangga hilang tak berbekas. Akibat kasus penggusuran itu, Deddy yang mengajar akuntansi di tiga sekolah kejuruan swasta terpaksa absen mengajar selama dua minggu. Deddy bahkan sempat menginap satu malam di kantor polisi karena melakukan perlawanan. Kepalanya sempat dijahit karena pentungan petugas tramtib. Sampai sekarang ia mengaku masih sering pusing tiba-tiba.
"Kadang kepala saya berdenyut, sakit secara tiba-tiba. Seperti ditusuk jarum," tutur Deddy.
Deddy sampai sekarang tinggal di area tak bertuan demi sekolah anak-anaknya. Ia mengontrak rumah bedeng di pinggir rel kereta api di daerah Kalideres, Jakarta Barat. Bertetangga dengan para penjual makanan keliling, buruh, dan tukang becak. Ia sudah merasa nyaman tinggal di rumah kontrakan dengan dua kamar. Apalagi tiga anaknya tidak tinggal bersamanya. Anaknya yang pertama kuliah di perguruan tinggi Bina Sarana Informatika. Biaya per semester Rp 1,5 juta dan pengeluaran bulanan tidak kurang dari Rp 600.000. Biaya sebesar itu tidak mungkin terbayarkan bila anaknya tidak kuliah sambil bekerja. Dua anak Deddy yang lain tinggal di pondok pesantren dengan biaya Rp 400.000 per bulan.
Syarifudin (54), guru honorer yang lebih dari 20 tahun mengajar di SMP dan SMA PGRI Balaraja, Tangerang, selama ini hidup pas-pasan dengan empat anak. Ia mengajar 40 jam seminggu dengan penghasilan Rp 560.000 per bulan. Sebagai wakil kepala sekolah di SMP, ia mendapatkan tambahan tunjangan setara 40 jam mengajar.
Putri pertamanya tergolong anak pandai sehingga diterima di Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor. Uang masuknya hampir Rp 5 juta. Tiap bulan ia harus mengeluarkan uang Rp 665.000 per bulan untuk biaya hidup anaknya yang pertama. Jumlah itu separuh dari penghasilannya per bulan. Sisanya habis untuk kontrak rumah, listrik, keperluan dapur, dan transpor sehari-hari. Beruntung dua anaknya masih duduk di bangku SD.
Ia tidak berharap banyak akan disamakan status dan kesejahteraannya seperti pegawai negeri. Seperti Atrianil, Deddy, dan guru-guru nonpegawai negeri sipil yang selama ini dipinggirkan, mereka hanya berharap campur tangan pemerintah agar bisa hidup layak sebagai seorang guru.
Setahun lalu, pada peringatan Hari Guru 25 November di kabupaten, ia bersama belasan guru honor yang telah mengabdi selama 20 tahun diminta berdiri di depan. Disaksikan ribuan orang, Syarifudin menerima sebuah amplop sebagai tanda penghargaan. Isinya Rp 100.000.
1 comment:
Duh, hati jadi haru-biru. ingat guru-guru SD hingga SMA. Bagaimana kabar mereka hari ini, apakah mereka baik-baik saja? Tercukupi kebutuhan hidupnya? Atau.. Ah, betapa singkat kita lupakan jasanya, padahal dari merekalah sumber ilmu kita mengalir deras... Maafkan kami...
Post a Comment