Tulisan ini (lagi-lagi) merupakan ringkasan dari paper Jeffrey Pfeffer dan Robert I Sutton di Harvard Business Review yang berjudul The Smart Talk Trap. Karena cukup panjang, maka saya buat dalam 4 bagian. Kenapa saya buat ringkasannya? Karena fenomena ini saya temukan dimana-mana ... :)
===
Apa itu Smart talk trap? It is knowing too much and doing too little.
Apa itu smart-talk trap? Bayangkan pertandingan sepakbola. Ada 11 orang yang berjuang di lapangan, begitu banyak komentator, reviewer, penonton, koran, dst dst yang sibuk menganalis segala hal, mulai dari pertandingannya sendiri, kemampuan individu, strategi, kemampuan pelatih, kemampuan keuangan klub tersebut dst dst. Bayangkan juga negara kita ini, begitu banyak analis, komentator, bahkan presiden dan kabinetnya juga sibuk menjadi komentator. Banyak komentar, tapi tidak ada action. No action talk only. Hehehe sori jadi melantur ... :-P
Seperti apa smart talk itu? Pembicaraan yang kedengarannya meyakinkan, terartikulasi dengan baik, banyak informasi dan ide menarik. Namun di sisi lain biasanya punya kecenderungan negatif, dan biasanya rumit atau mengawang-awang.
Kenapa ini bisa terjadi? Pertama, seorang manajer terbiasa mensubstitusi aksi (action) dengan bicara (talk) karena memang itulah yang diajarkan pada mereka. Coba lihat program-program MBA, apa salah satu materi utama? Berbicara, memformulasikan ide, menuliskannya, dan mempresentasikannya, mendiskusikannya. Bagaimana cara mendapatkan nilai yang baik dari suatu program MBA? Tentunya dengan hal-hal di atas, terlepas apakah ini hanya terhenti pada ide dan tidak terealisasi atau terimplementasi.
Bagaimana dengan dunia pekerjaan sehari-hari. Buat anda yang sibuk, pasti anda mengakui bahwa hidup anda berputar dari suatu rapat ke rapat yang lain. Semakin banyak anda mengeluarkan ide anda, berdiskusi, dan seterusnya pada meeting itu, maka semakin pintar anda terlihat. Lebih jauh lagi, anda akan terlihat sangat berpengaruh dan penting – kriteria menjadi seorang pemimpin. Tentunya ini berarti kemungkinan anda akan dipromosikan akan semakin besar.
Lebih lanjut, situasi ini juga berkembang di bidang lain. Pada suatu organisasi besar, tidaklah mudah untuk mengetahui hasil pekerjaan seseorang. Suatu pekerjaan biasanya melibatkan banyak orang, dan mengasumsikan bahwa itu adalah hasil dari satu orang saja adalah kurang tepat. Akibatnya, yang terjadi ialah dalam pengambilan keputusan menaikkan posisi, gaji, hingga memecat seseorang dilakukan berdasarkan bagaimana orang itu ’pintar’ berbicara. Tentunya di rapat-rapat, presentasi, dan dalam percakapan sehari-hari. Bahkan kini juga terjadi bahwa dalam proses interview seorang eksekutif dalam tempo 1-5 menit sudah bisa 'menebak' kualitas calon pegawai berdasarkan ’kepintarannya’ berbicara.
Hasil studi yang dilakukan, di antaranya oleh Teresa Amabile, Harvard Business School, menunjukkan bahwa dengan melakukan kritisi negatif terhadap ide seseorang, membuat orang tersebut itu – meski kurang disukai – diakui lebih pintar dan kompeten. Comment Teresa, ”Only pessimism sounds profound. Optimism sounds superficial”
No comments:
Post a Comment