Gambar dari http://www.ekuator.comS Amran Tasai - Peneliti pada Pusat BahasaDebat Sastra yang diselenggarakan di Universitas Nasional pada 7 September 2005 memperbincangkan tentang novel jenis teenlit yang banyak bermunculan di akhir-akhir ini di setiap toko buku. Debat sastra tersebut dilakukan dalam rangka Kegiatan Bulan Bahasa dan Sastra 2005 dengan topik Sastra dan Pembinaan Generasi Muda.
Salah satu makalah menarik yang diajukan pada debat sastra itu adalah ''Remaja, Teenlit, dan Novel Islami: Sebuah Generasi di antara Pilihan Banyak Warna atau Memilih Hanya Hitam an Putih. Makalah itu disajikan oleh Gita Romadhona, mahasiswa Program Studi Indonesia yang sedang menyusun skripsi dengan topik Studi Anak.
Debat sastra itu mendapat tanggapan yang meriah dari peserta, yang sebagian besar terdiri atas mahasiswa Universitas Nasional dan mahasiswa Universitas Indonesia. Gita mengatakan bahwa keberadaan novel jenis ini sebenarnya dimulai dari kehadiran novel teenlit impor berupa terjemahan dalam bahasa Idonesia, yang tentu saja di dalamnya terdapat budaya asing (Barat).
Tokoh dan gaya hidup yang terlihat di dalam teenlit terjemahan itu adalah tokoh dan gaya hidup Barat. Remaja dari usia 11 tahun sudah terbiasa dengan hal berciuman dengan lawan jenis, membicarakan seks, dan pergi ke pesta-pesta. Pada usia 15 tahun mereka sudah terbiasa dengan hubungan seks.
Dengan gaya dan teknik penceritaan yang seperti itu, lalu pengarang kita menulis novel teenlit ala Indonesia. Novel tersebut tampil dengan warna-warni kehidupan yang meniru-niru hidup Barat. Gita menyindir dengan mengatakan, pengarang-pengarang novel teenlit Indonesia menganggap bahwa remaja-remaja kita sudah seharusnya menerapkan hal yang serupa dengan budaya Barat itu, cinta dan pacaran.
Dengan begitu, para remaja kita semakin yakin bahwa hanya hal itulah yang penting dalam kehidupan ini. Rok pendek dan baju ketat menjadi tren baru, sehingga dapat meningkatkan tindakan kriminalitas perkosaan dan maraknya free sex di Indonesia.
Itulah warna kehidupan yang muncul di dalam novel teenlit. Novel teenlit memang novel remaja yang pengarangnya juga remaja yang hidup dalam dunia yang gemerlapan. Novel Dealova, umpamanya, menggambarkan kehidupan remaja yang masih duduk di bangku SMU, yang hanya bersoal pada cinta anak remaja.
Gita juga mengejeknya dengan mengatakan bahwa setiap tokoh mempunyai mobil pribadi, pergi berlibur ke Bali atau ke luar negeri, dan berbelanja di pertokoan terkenal. Padahal, coba kita pikir, berapa banyak sih remaja kita dengan keberuntungan seperti itu di Indonesia? Begitu juga dengan narkoba dan minuman keras, penulis novel itu menganggap bahwa hal itu sudah menjadi bagian dari kehidupan remaja masa kini.
Debat sastra itu memang bukan untuk mencari salah dan benar, tetapi hanya mengemukakan masalah ke permukaan. Sastra kita tidak berpihak lagi ke masyarakat umum yang sebagian besar berada di desa, tetapi menciptakan masyarakat elite yang sebagian besar hidup di kota besar. Salahkah kalau pembaca novel kita menganggap bahwa kehidupan remaja dalam novel teenlit itu adalah kehidupan "bukan Indonesia"?
Persoalan masyarakat Indonesia memang multidimensi. Persoalan yang akhir-akhir ini sangat dirasakan oleh masyarakat adalah masalah kesulitan mencari nafkah, kesengsaraan yang berkepanjangan, korupsi yang merajalela, tanah longsong yang memakan korban tidak sedikit, tsunami, gempa bumi, busung lapar, dan lain-lain yang tidak satu pun persoalan itu yang dapat dikategorikan sebagai masalah yang manis. Semuanya pahit dan malah getir. Hal semacam ini tidak terlacak oleh penulis novel teenlit.
Oleh sebab itu, jika berpatokan kepada prinsip bahwa novel atau sastra adalah cermin kehidupan masyarakat, refleksi keadaan masyarakat pada waktunya, tentu novel teenlit tidak masuk ke golongan ini. Memang ada hal yang muncul seperti masalah percintaan remaja. Akan tetapi, masalah cinta dalam sastra hanya merupakan bunga-bunganya saja. Persoalan yang terkandung di dalam sebuah novel sebenarnya berada di balik "cinta" itu.
Masalah lain yang ditampilkan di dalam novel teenlit adalah masalah ramalan dan kepercayaan (bukan agama). Dalam novel Summer Triable diciptakan suatu kepercayaan hubungan antara kehidpan manusia di bumi ini dengan keberadaan bintang-bintang yang ada di langit. Bintang-bintang yang ada di langit itu akan mempengaruhi orang-orang yang ada di bumi.
Nama-nama bintang itu pun mewakili nama dewa-dewa di jagat raya, seperti kepercayaan yang dipakai pada masa kejayaan Yunani dahulu. Ramalan dan kepercayaan seperti memenuhi isi novel. Para tokoh dibawa ke alam supranatural, dipaksa untuk mempercayainya, serta diajak untuk bertindak seperti dewa pada masa Yunani kuno.
Apa yang dapat dirunut dari isi novel? Hanya masalah cinta remaja, cinta yang berlarut-larut. Kalaupun kita harus menantikan tema atau amanatnya di belakang masalah cinta itu, tentu saja kita akan menemukannya, tetapi tema atau amanat itu adalah tema dan amanat paksaan. Tema dan amanat itu seperti temuan yang dipaksanakan bagi seorang pengawas, karena pengawas itu harus membawa temuan itu ke kantornya sekecil apapun.
Memang teenlit merupakan jenis novel kita yang muncul pada tahun 2000-an. Dengan keberlainannya dari novel-novel sebelumnya itulah yang membuat novel jenis ini menarik minat pembaca, terutama pembaca remaja. Novel jenis ini mudah dipahami, tidak berat, alurnya sebagian besar lurus, dengan tokoh yang berdarah daging seperti kita yang masih remaja. Walaupun ada teknik sorot balik pada alur, hal itu tidak membawa kesulitan pemahaman cerita.
Hal penting lain yang perlu diperbincangkan di sini adalah bahasa yang dipakai dalam teenlit. Selama ini kita memang mengatakan bahwa dialog yang terdapat di dalam novel adalah ragam lisan yang ditulis. Dalam dialog itu diizinkan menggunakan kata-kata percakapan sehingga novel tersebut akan terasa lebih hidup.
Itu memang benar. Akan tetapi, ragam lisan yang dimaksudkan sebaiknya mempunyai daya didik yang tinggi sehingga ragam yang dipakai itu mendekati ragam sekolah. Dalam novel-novel kita terdahulu, hal itu sangat terjaga. Coba lihat bagaimana Hamka, Di Bawah Lindungan Kakbah, membentuk dialog antara Zainab dan Rosna dengan bahasa yang dapat dikatakan baku. Bagus sekali nuansa makna yang dibangkitkan oleh kata-kata itu. Kata nggak dan kata gue tidak pernah muncul.
Hal itulah yang menarik dan menggelisahkan kita terhadap bahasa yang dipakai di dalam novel teenlit. Bahasa gaul dan dialek Jakarta (Betawi) merupakan bahasa yang utama. Keberadaan bahasa Indonesia di dalamnya tidak terencana, tidak terpola dengan baik, apa saja bisa masuk. Baik pada percakapan (dialog) maupun pada deskripsi, bahasa yang dipakai adalah bahasa gaul, bahasa prokem, bahasa slang, yang hanya dimengerti oleh anak remaja. Keberagaman bahasa dan warna-warni percakapan tidak dapat dipola dan hampir tidak terkendali.
Dalam pola kebijakan politik bahasa nasional, novel tersebut bukan saja tidak mempedulikan kehidupan bahasa Indonesia, tetapi dapat membahayakan pertumbuhan bahasa pada daerah-daerah tertentu. Bagi orang yang baru melek bahasa Indonesia, bagi daerah-daerah yang baru belajar bahasa Indonesia, seperti daerah-daerah yang terpencil, bahasa yang ada di dalam novel itu akan dianggapnya sebagai bahasa yang baku.
Dengan demikian, pada tempat-tempat resmi mereka akan menggunakan bahasa seperti itu. Ini jelas membahayakan kehidupan berbahasa Indonesia di tanah air kita. Coba saja, kata tembak, umpamanya, dipakai untuk mengatakan bahwa seorang perempuan sudah menyatakan dengan terus-terang rasa cintanya kepada seorang pria. Umpamanya, "Andi sudah gue tembak," kata Kara.
Namun, novel jenis teenlit sudah mencuat ke permukaan. Itu tentu saja novel Indonesia. Tentang mutunya dan kelompoknya, masalah lain. Mau apa lagi. Barangnya sudah hadir di depan kita.