Thursday, March 23, 2006

Membuka Pintu Hati



Arvan Pradiansyah

Sekelompok orang yang baru saja meninggal mendapatkan diri mereka sedang berdiri antri di depan gerbang akhirat. Sambil menunggu pengadilan Ilahi, mereka mulai menanyai diri mereka sendiri mengenai perilaku mereka di dunia. "Apakah dulu aku menjadi orang tua yang baik?" "Apakah aku berhasil mencapai sesuatu yang berharga dalam hidupku?" "Apakah aku rajin beribadah sepanjang malam?" "Apakah aku cukup berderma kepada fakir miskin?" Dan ketika akhirnya mereka sampai di gerbang, semua jiwa itu dihadapkan hanya pada satu pertanyaan, "Seberapa besar kamu dulu mengasihi?"

Mengasihi orang lain adalah langkah pertama dari perjalanan panjang masuk ke dalam diri. Perjalanan ke dalam diri memang tidak mudah. Banyak orang menyerah ketika baru memulainya. Kesibukan sehari-hari sering menjadi alasan. Tapi penyebab sebenarnya bukan itu. Persoalan sebenarnya adalah pintu hati kita yang tertutup, bahkan terkunci. Ini membuat telinga kita tak mendengar dan mata kita tak melihat. Kita tidak akan pernah dapat memulai perjalanan sebelum menemukan kuncinya, yaitu: Cinta dan Kasih Sayang.

Tanpa adanya rasa cinta pada sesama, pintu-pintu gerbang menuju kesadaran yang terdalam tak akan pernah terbuka. Agama-agama besar di dunia sebenarnya memiliki pesan tunggal: Kasih Sayang. Bahkan Tuhan selalu dilukiskan sebagai Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dengan bahasa yang berbeda semua agama selalu mengatakan: "Sayangilah orang lain! Anda belum beriman sebelum mampu menyayangi orang lain sebagaimana anda menyayangi diri anda sendiri."

Pernyataan di atas sungguh dahsyat! Ini benar-benar menjelaskan bahwa ukuran kemajuan spiritual anda bukanlah semata-mata pada seberapa rajin anda beribadah kepada Tuhan. Esensi keberagamaan tidaklah semata-mata ditentukan oleh banyaknya ruku' dan sujud yang anda lakukan, tetapi juga pada seberapa besar anda mengasihi orang lain. Belajar mengasihi adalah sasaran kehidupan spiritual.

Salah satu cara praktis untuk mengembangkan sikap cinta kasih adalah dengan mulai menyadari akan penderitaan. Sadar akan penderitaan - entah itu penderitaan kita sendiri atau penderitaan orang lain akan membuat hati kita melunak.

Mari kita mulai dengan sebuah cerita. Di sebuah SD, seorang guru bertanya pada murid-muridnya, "Siapa yang sudah sarapan pagi ini?" Kira-kira separo murid mengacungkan tangan.
Guru itu kemudian bertanya kepada anak-anak yang tidak mengacungkan tangan, "Mengapa kalian tidak sarapan?" Sebagian menjawab tak sempat karena sudah terlambat. Sebagian lagi mengatakan belum merasa lapar, ataupun tak menyukai sarapan yang disajikan.

Semua memberikan jawaban senada kecuali satu anak. "Karena," jawabnya, "Sekarang bukan giliran saya."
"Bukan giliranmu?" tanya sang guru. "Apa maksudmu?"
"Dalam keluarga kami ada 4 anak," ujarnya, "tapi ayah tak punya cukup uang untuk membeli makanan supaya tiap orang bisa sarapan setiap hari. Kami harus bergiliran dan hari ini bukan giliran saya."

Apa yang anda rasakan ketika membaca kisah ini? Bagaimana pula perasaan anda membaca berita mengenai Heryanto (12 tahun) yang hampir tewas gantung diri di rumahnya. Ia putus asa karena orang tuanya tak mampu memberikan uang untuk tugas sekolahnya. Padahal uang yang dimintanya hanya Rp. 2.500,-!

Orang-orang seperti ini ada di sekitar kita. Tapi kadang-kadang kita tak bisa melihatnya karena mata kita tertutup. Yang sebenarnya tertutup adalah mata hati kita. Ini bisa terjadi karena hati kita dipenuhi oleh ego dan kepentingan kita sendiri. Kita terlalu banyak tertawa dan sibuk bergaul dengan orang-orang berpunya. Ini membuat hati kita tertutup.

Untuk menjalankan cinta kasih kita perlu memulai dengan mencintai diri kita, kemudian orang-orang terdekat kita. Lihatlah mereka dengan hati anda. Bukankah orang tua anda adalah orang yang rela mengorbankan hidupnya bagi anda? Bukankah pasangan anda adalah orang yang telah memilih menyerahkan hidupnya kepada anda? Bukankah anak-anak anda sangat mengidolakan anda dan merindukan kebersamaannya dengan anda? Bukankah pembantu anda adalah orang miskin yang mengabdikan hidupnya untuk melayani anda? Teruslah perluas dengan mengamati orang-orang di sekitar anda. Mereka semua memiliki penderitaan dan tantangan masing-masing.

Seorang bijak pernah mengatakan, "Ketika kamu melihat dirimu tidak berbeda dari orang lain, ketika kamu merasakan apa yang mereka rasakan, lalu siapa yang bisa kamu sakiti?"

Inilah cara menumbuhkan cinta. Kita semua sama, karena itu jangan pernah menilai orang lain dari penampilan fisiknya. Tubuh bukanlah diri kita yang sebenarnya tetapi hanya sekedar 'sangkutan' dari jiwa. Jiwa itulah esensi manusia yang sejati.

Tapi, merasakan baru merupakan permulaan cinta. Cinta yang sebenarnya haruslah diwujudkan dengan memberikan sesuatu kepada orang lain. Ukuran cinta adalah pemberian, sekecil apa pun bentuknya. Ibu Theresa pernah mengatakan, "Yang penting bukan seberapa besar yang kita perbuat, melainkan seberapa besar cinta kasih yang kita sertakan dalam perbuatan kita."

5 comments:

Anonymous said...

inspiring, trims

Anonymous said...

Ibu Theresa juga pernah bilang, "Berilah, sampai kamu merasa sakit, until it hurts you".

Anonymous said...

ouhh... thats beautiful, and jangan ragu2 untuk memberi....
thanks bang :)

Anonymous said...

pak zuki, di dunia modern ini sekarang rasanya sulit banget untuk menerapkan yang semodel para altruist itu (kaya Ibu Theresa). sampai sebatas mana kita menolong orang? until it hurts? tapi kalo it hurts are we going to be happy in life? aku pernah mencoba berpikir tentang ini di: http://my-musings.blogdrive.com/archive/164.html. sampe sekarang masih bingung....

Lili said...

memberi lebih nikmat dari pada meminta, good posting

Pak soal cekrak cekrek photo baru..bagus loh hasilnya