Thursday, March 02, 2006

Selamat Pagi, Burung Beo


Gambar dari http://www.harunyahya.com


Gede Prama

Di salah satu pojokan kehidupannya, pernah terjadi Nasruddin harus naik perahu. Dalam perbincangan mengisi kekosongan waktu, pemilik perahu bertanya, Nasruddin bisa berenang ataukah tidak. Dengan enteng, ia menjawab, “Bisa”. Ia bahkan menambahkan, hampir semua buku tentang berenang telah dibaca, sambil mengajari teknik-teknik berenang kepada tukang perahu. Si tukang perahu pun mengangguk-angguk heran sekaligus kagum.

Entah karena apa, tiba-tiba perahu berguncang dan kemudian terbalik. Dengan menangis serta memelas Nasruddin berteriak, ”Tolong, tolong, tolong selamatkan saya!” Lagi-lagi tukang perahu mengangguk-angguk heran dan kagum.

Ini memang hanya sekelumit cerita canda. Bunga tawa sekaligus bahan merenda makna. Dan kejadian-kejadian yang serupa dengan Nasruddin memang ada di sekitar kita. Atau, malah terjadi pada diri kita. Seorang sahabat menyebut kisah-kisah manusia yang banyak belajar tetapi tanpa bukti bisa melaksanakan pelajarannya sebagai “pengetahuan tanpa pencapaian”.

Berpengetahuan tentu baik. Memiliki wawasan tentu suatu kelebihan. Lebih-lebih mau berbagi dengan orang lain. Namun, berhenti memahami pengetahuan di tingkat kepala, tanpa pernah membadankannya ke dalam tindakan keseharian, tentu sulit bisa diharapkan munculnya cahaya karisma dalam berkarya. Sebutlah tokoh karismatik bernama Gandhi. Ia karismatik karena membadankan idenya tentang antikekerasan dalam totalitas perjuangannya. Berapa kali pun ada godaan melakukan kekerasan -- termasuk ketika badannya ditembak, ia tetap membadankan antikekerasan dalam hidupnya.

Lihat bagaimana Ibu Teresa demikian berwibawa ketika bertutur tentang cinta, karena keseharian tokoh ini tidak punya warna lain selain cinta. Memberi, membantu, mengobati, menyelamatkan dan menyembuhkan warga miskin di Calcutta, itulah kesehariannya. Bahkan, ketika sebagian dunia menyebutnya keras kepala, Bunda Teresa tetap dengan karya-karya cintanya.

Cermati karisma Dalai Lama tatkala bercerita tentang welas asih. Ia bercahaya jauh melebar di luar agama yang dianutnya, karena kesehariannya penuh welas asih. Kendati berpuluh-puluh tahun negaranya diambil alih Cina dan jutaan warga Tibet menderita -- ia sendiri harus mengungsi lebih dari 40 tahun, ia tetap mengisi keseharian dengan welas asih. Bahkan, ketika ada kesempatan menceritakan penderitaan dirinya dan penderitaan Tibet di forum amat terhormat yang mungkin bisa membantuya, ia tidak melakukannya karena welas asihnya pada orang lain.

Sekarang bandingkan cerita-cerita seperti ini dengan kisah Ramayana. Rahwana dikenal sebagai pemuja berat Tuhan dan bahkan sangat serius belajar buku-buku suci. Namun sebagaimana diketahui, hidupnya hancur lebur karena memenuhi tuntutan hawa nafsu dengan melarikan istri orang. Adiknya, Wibisana, berulang kali menasihatinya, bahwa jalan menuju Tuhan lebih mungkin berhasil dengan pengetahuan yang dilaksanakan, bukan pengetahuan tanpa komitmen tindakan.

Dalam kisah Mahabarata dituturkan, Durna adalah seorang mahaguru yang menguasai berbagai macam ilmu perang. Bisma lebih-lebih lagi. Namun, keduanya harus berakhir tragis karena gagal melaksanakan apa yang diajarkan.

Inti semua cerita itu sebenarnya sederhana: pengetahuan tanpa kemampuan menundukkan hawa nafsu menjadi pengetahuan yang tanpa pencapaian. Jangan tanya wibawa, jangan tanya karisma, apalagi berharap ada cahaya berkarya dari sana. Menurut seorang guru yang terbiasa menggunakan kata-kata keras dalam mendidik muridnya (kepada sahabat yang kurang berkenan, maafkan kata-katanya), manusia berpengetahuan tanpa komitmen pelaksanaan serupa dengan babi yang menggendong buku ke mana-mana. Babi yang menggendong buku masih lebih baik, karena tidak menggunakan buku yang digendongnya sebagai sarana menyerang dan menyakiti orang.

Sekali lagi, maafkanlah kata-kata guru ini. Akan lebih bermanfaat kalau terfokus pada bimbingannya. Bukan pada kata-kata kasarnya. Ini serupa dengan cerita seorang sahabat yang memelihara sekaligus amat mencintai burung beo. Suatu hari burung beonya batuk-batuk, suaranya persis sama dengan batuk-batuk pemiliknya. Dikira batuk karena asap rokok, pemilik ini berhenti merokok, dan ternyata batuk-batuk burung beonya hilang. Sahabat ini berpikir, burung beonya batuk karena asap rokok, padahal ia hanya menirukan batuk-batuk tuannya.

Terlihat jelas dari sini, burung beo memiliki sifat meniru dan tidak mengerti apa yang ia tiru. Coba ucapkan “selamat pagi” pada burung beo secara berulang-ulang, suatu waktu ia akan menirunya dengan ucapan yang sama. Ketika ditanya, kenapa mengucapkan “selamat pagi”, ia pun menimpali lagi-lagi dengan “selamat pagi”.

Tentu, kualitas “selamat pagi”-nya teramat berbeda dari “selamat pagi” seorang manusia yang diucapkan sambil merunduk tersenyum, lebih-lebih bila dibimbing spirit dalam menghormati orang kita menghormati Tuhan. Sedikit peniruan di sana, yang ada hanya pemahaman dengan komitmen pelaksanaan yang mengagumkan.

Kualitas inilah yang ada di balik manusia-manusia mengagumkan seperti Nelson Mandela: pengetahuan dengan pencapaian. Ini juga yang menyebabkan sejumlah penekun spiritual berhenti belajar pengetahuan spiritual, kemudian tekun dengan tindakan memproduksi pencapaian spiritual.

Ijazah, gelar, penghargaan, bacaan, kualitas kata-kata yang muncul dari mulut dan memori yang tersimpan di kepala memang masuk dalam kelompok pengetahuan spiritual. Dan keseharian yang tenang, sabar, pemaaf, bersahabat, membantu sampai tidak menyakiti pihak lain merupakan sebagian pencapaian spiritual. Maafkan tulisan ini, kalau harus berakhir begini.

Selamat pagi burung beo! Izinkan tulisan ini lewat sebentar.

2 comments:

Anonymous said...

Aku salut dan kagum sama bunda Theresa, karena totalitasnya yang luar biasa dalam membantu orang miskin dan hina..

Thanks ya Zuki, postingannya bagus banget..

Anonymous said...

burung beo...emang tanpa disadari kita selama ini sudah begitu, ya...