Tuesday, March 14, 2006

Teenlit, Masalah Baru Pernovelan Indonesia


Gambar dari http://www.ekuator.com


S Amran Tasai - Peneliti pada Pusat Bahasa

Debat Sastra yang diselenggarakan di Universitas Nasional pada 7 September 2005 memperbincangkan tentang novel jenis teenlit yang banyak bermunculan di akhir-akhir ini di setiap toko buku. Debat sastra tersebut dilakukan dalam rangka Kegiatan Bulan Bahasa dan Sastra 2005 dengan topik Sastra dan Pembinaan Generasi Muda.

Salah satu makalah menarik yang diajukan pada debat sastra itu adalah ''Remaja, Teenlit, dan Novel Islami: Sebuah Generasi di antara Pilihan Banyak Warna atau Memilih Hanya Hitam an Putih. Makalah itu disajikan oleh Gita Romadhona, mahasiswa Program Studi Indonesia yang sedang menyusun skripsi dengan topik Studi Anak.

Debat sastra itu mendapat tanggapan yang meriah dari peserta, yang sebagian besar terdiri atas mahasiswa Universitas Nasional dan mahasiswa Universitas Indonesia. Gita mengatakan bahwa keberadaan novel jenis ini sebenarnya dimulai dari kehadiran novel teenlit impor berupa terjemahan dalam bahasa Idonesia, yang tentu saja di dalamnya terdapat budaya asing (Barat).

Tokoh dan gaya hidup yang terlihat di dalam teenlit terjemahan itu adalah tokoh dan gaya hidup Barat. Remaja dari usia 11 tahun sudah terbiasa dengan hal berciuman dengan lawan jenis, membicarakan seks, dan pergi ke pesta-pesta. Pada usia 15 tahun mereka sudah terbiasa dengan hubungan seks.

Dengan gaya dan teknik penceritaan yang seperti itu, lalu pengarang kita menulis novel teenlit ala Indonesia. Novel tersebut tampil dengan warna-warni kehidupan yang meniru-niru hidup Barat. Gita menyindir dengan mengatakan, pengarang-pengarang novel teenlit Indonesia menganggap bahwa remaja-remaja kita sudah seharusnya menerapkan hal yang serupa dengan budaya Barat itu, cinta dan pacaran.

Dengan begitu, para remaja kita semakin yakin bahwa hanya hal itulah yang penting dalam kehidupan ini. Rok pendek dan baju ketat menjadi tren baru, sehingga dapat meningkatkan tindakan kriminalitas perkosaan dan maraknya free sex di Indonesia.

Itulah warna kehidupan yang muncul di dalam novel teenlit. Novel teenlit memang novel remaja yang pengarangnya juga remaja yang hidup dalam dunia yang gemerlapan. Novel Dealova, umpamanya, menggambarkan kehidupan remaja yang masih duduk di bangku SMU, yang hanya bersoal pada cinta anak remaja.

Gita juga mengejeknya dengan mengatakan bahwa setiap tokoh mempunyai mobil pribadi, pergi berlibur ke Bali atau ke luar negeri, dan berbelanja di pertokoan terkenal. Padahal, coba kita pikir, berapa banyak sih remaja kita dengan keberuntungan seperti itu di Indonesia? Begitu juga dengan narkoba dan minuman keras, penulis novel itu menganggap bahwa hal itu sudah menjadi bagian dari kehidupan remaja masa kini.

Debat sastra itu memang bukan untuk mencari salah dan benar, tetapi hanya mengemukakan masalah ke permukaan. Sastra kita tidak berpihak lagi ke masyarakat umum yang sebagian besar berada di desa, tetapi menciptakan masyarakat elite yang sebagian besar hidup di kota besar. Salahkah kalau pembaca novel kita menganggap bahwa kehidupan remaja dalam novel teenlit itu adalah kehidupan "bukan Indonesia"?

Persoalan masyarakat Indonesia memang multidimensi. Persoalan yang akhir-akhir ini sangat dirasakan oleh masyarakat adalah masalah kesulitan mencari nafkah, kesengsaraan yang berkepanjangan, korupsi yang merajalela, tanah longsong yang memakan korban tidak sedikit, tsunami, gempa bumi, busung lapar, dan lain-lain yang tidak satu pun persoalan itu yang dapat dikategorikan sebagai masalah yang manis. Semuanya pahit dan malah getir. Hal semacam ini tidak terlacak oleh penulis novel teenlit.

Oleh sebab itu, jika berpatokan kepada prinsip bahwa novel atau sastra adalah cermin kehidupan masyarakat, refleksi keadaan masyarakat pada waktunya, tentu novel teenlit tidak masuk ke golongan ini. Memang ada hal yang muncul seperti masalah percintaan remaja. Akan tetapi, masalah cinta dalam sastra hanya merupakan bunga-bunganya saja. Persoalan yang terkandung di dalam sebuah novel sebenarnya berada di balik "cinta" itu.

Masalah lain yang ditampilkan di dalam novel teenlit adalah masalah ramalan dan kepercayaan (bukan agama). Dalam novel Summer Triable diciptakan suatu kepercayaan hubungan antara kehidpan manusia di bumi ini dengan keberadaan bintang-bintang yang ada di langit. Bintang-bintang yang ada di langit itu akan mempengaruhi orang-orang yang ada di bumi.

Nama-nama bintang itu pun mewakili nama dewa-dewa di jagat raya, seperti kepercayaan yang dipakai pada masa kejayaan Yunani dahulu. Ramalan dan kepercayaan seperti memenuhi isi novel. Para tokoh dibawa ke alam supranatural, dipaksa untuk mempercayainya, serta diajak untuk bertindak seperti dewa pada masa Yunani kuno.

Apa yang dapat dirunut dari isi novel? Hanya masalah cinta remaja, cinta yang berlarut-larut. Kalaupun kita harus menantikan tema atau amanatnya di belakang masalah cinta itu, tentu saja kita akan menemukannya, tetapi tema atau amanat itu adalah tema dan amanat paksaan. Tema dan amanat itu seperti temuan yang dipaksanakan bagi seorang pengawas, karena pengawas itu harus membawa temuan itu ke kantornya sekecil apapun.

Memang teenlit merupakan jenis novel kita yang muncul pada tahun 2000-an. Dengan keberlainannya dari novel-novel sebelumnya itulah yang membuat novel jenis ini menarik minat pembaca, terutama pembaca remaja. Novel jenis ini mudah dipahami, tidak berat, alurnya sebagian besar lurus, dengan tokoh yang berdarah daging seperti kita yang masih remaja. Walaupun ada teknik sorot balik pada alur, hal itu tidak membawa kesulitan pemahaman cerita.

Hal penting lain yang perlu diperbincangkan di sini adalah bahasa yang dipakai dalam teenlit. Selama ini kita memang mengatakan bahwa dialog yang terdapat di dalam novel adalah ragam lisan yang ditulis. Dalam dialog itu diizinkan menggunakan kata-kata percakapan sehingga novel tersebut akan terasa lebih hidup.

Itu memang benar. Akan tetapi, ragam lisan yang dimaksudkan sebaiknya mempunyai daya didik yang tinggi sehingga ragam yang dipakai itu mendekati ragam sekolah. Dalam novel-novel kita terdahulu, hal itu sangat terjaga. Coba lihat bagaimana Hamka, Di Bawah Lindungan Kakbah, membentuk dialog antara Zainab dan Rosna dengan bahasa yang dapat dikatakan baku. Bagus sekali nuansa makna yang dibangkitkan oleh kata-kata itu. Kata nggak dan kata gue tidak pernah muncul.

Hal itulah yang menarik dan menggelisahkan kita terhadap bahasa yang dipakai di dalam novel teenlit. Bahasa gaul dan dialek Jakarta (Betawi) merupakan bahasa yang utama. Keberadaan bahasa Indonesia di dalamnya tidak terencana, tidak terpola dengan baik, apa saja bisa masuk. Baik pada percakapan (dialog) maupun pada deskripsi, bahasa yang dipakai adalah bahasa gaul, bahasa prokem, bahasa slang, yang hanya dimengerti oleh anak remaja. Keberagaman bahasa dan warna-warni percakapan tidak dapat dipola dan hampir tidak terkendali.

Dalam pola kebijakan politik bahasa nasional, novel tersebut bukan saja tidak mempedulikan kehidupan bahasa Indonesia, tetapi dapat membahayakan pertumbuhan bahasa pada daerah-daerah tertentu. Bagi orang yang baru melek bahasa Indonesia, bagi daerah-daerah yang baru belajar bahasa Indonesia, seperti daerah-daerah yang terpencil, bahasa yang ada di dalam novel itu akan dianggapnya sebagai bahasa yang baku.

Dengan demikian, pada tempat-tempat resmi mereka akan menggunakan bahasa seperti itu. Ini jelas membahayakan kehidupan berbahasa Indonesia di tanah air kita. Coba saja, kata tembak, umpamanya, dipakai untuk mengatakan bahwa seorang perempuan sudah menyatakan dengan terus-terang rasa cintanya kepada seorang pria. Umpamanya, "Andi sudah gue tembak," kata Kara.

Namun, novel jenis teenlit sudah mencuat ke permukaan. Itu tentu saja novel Indonesia. Tentang mutunya dan kelompoknya, masalah lain. Mau apa lagi. Barangnya sudah hadir di depan kita.

19 comments:

Tatz Sutrisno said...

saya termasuk yang suka melahap semua jenis novel ,dari yg terjemahan,sampai novel lokal, dari lupus waktu jaman saya SD-SMP sampe gosebumps, dari karyanya Asma nadia sampai djenar M. makanya waktu bnyknya novel model teenlit atau chicklit, ataupun metropop muncul, awalnya saya girang, karena saya pikir perkembangan penulis di indo meningkat pesat. tapi lama2 temanya jadi seragam, dan banyak juga yang kedodoran dalam segi cerita. mudah2an para pembaca teenlit ini ga sekedar menyerap plek2an smua isi novelnya, tapi juga banyak2 baca referensi lain...hehehe panjang bener ni komen.

Anonymous said...

Fenomenanya lagi teenlit ya? hehe, abegeh bangetzz.. Aku sih males baca kaya gitu, serasa ga berada di bumi.. Pengennya sih yang real2 aja, lebih suka karya2 yang membumi..

Minarwan (Min) said...

Kalo cakmin baru mulai baca The Fifth Miracle-nya Paul Davies nih. Penasaran sama asal usul kehidupan.

Anonymous said...

yah, namanya jg lagi booming teenlit, jadinya ya banyak penulis sini yg ikut2an memakai tema itu. untungnya saya ga gitu suka baca teenlit, hehe.. tapi biar gimana jadi banyak juga orang yang belajar nulis ^^

Dini said...

hehehe saya lebih suka baca komik detektif conan! hidup conan! :P

Fitra Irawan said...

Sama Ma Dini....HIDUP CONAN!!! Daku juga males banget baca teenlit, sinetron antah berantah banget!

Anonymous said...

yah, teenlit dan roman tetap akan disukai pak, karena menawarkan mimpi dan pelarian diri dari kehidupan sehari-hari. saya juga suka mimpi - tapi bukan lewat chicklit (dari dulu memang nggak suka). saya suka mimpi lewat The Lord of the Rings atau Harry Potter.

Anonymous said...

Ya emang sich, bahasanya tidak mendidik remaja untuk menggunakan basa Indonesia yang benar. Tapi jamannya emang begini kali ?
Cuma kenapa para ahli bahasa kita cuek aja ya ?

Anonymous said...

Saya kira ahli bahasa kita bukannya cuek. Tapi penulis teenlit-nya saja yang cuek.

Anonymous said...

permisi...

saya juga sudah baca banyak novel teenlit (semuanya terjemahan). gak tau kenapa kalo baca novel teenlit indonesia bawaannya ngakak melulu, abisnya bahasanya ngaco dan adegan2nya sinetron banget.

huuh sebel..
kapan ya ada novel teenlit karangan remaja indonesia yang bagus?? mungkin aku harus angkat tangan nih! nyoba bikin novel sendiri! hehehe

Feelcholic said...

Salah satu sisi positif dari maraknya teenlit adalah minat baca dan menulis dari para remaja yang mulai meningkat. Menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan bukanlah hal yang mudah. Bahasa memang penting untuk diperhatikan dalam hal penulisan. Tapi menurut saya, motivasi untuk membaca dan menulis yang harus ditingkatkan terlebih dahulu. Tidak ada salahnya jika pada tahap awal, para penulis teenlit itu hanya bisa bergelut dengan tema-tema yang seragam(seputar cinta dan kehidupan remaja lainnya. Selain itu, tidak adil rasanya bila kita menyamaratakan semua kemampuan penulis teenlit yang memang pada umumnya remaja tersebut. Saya yakin di antara mereka ada yang memiliki ide tulisan yang juga cemerlang.
Yang perlu kita lakukan adalah terus memberi dukungan kepada mereka untuk terus menulis dan berlatih mengasah kemampuan mereka. Hal ini tentunya akan membuat dunia kepenulisan di tanah air lebih semarak.

Anonymous said...

gw sih suka baca apa aja...dari komik ampe teenlit tp kadang kadeng gw kangen ama bacaan yang berbobot kya novel2nya mba dee...(LOVE IT)pengen baca yang touching banget bikin gw ingat ama tu buku,kalau bisa tu buku gw banget deh....apa gw nulis sendiri aja kali ya...

Anonymous said...

Bukan sekadar tema teenlit Barat dibukukan tetapi juga filem Indonesia dipenuhi dengan tema teenlit Barat. Buktinya banyak filem Indonesia yang dipaparkan di TV Malaysia. Kanak-kanak kecil juga gemar membaca dan menontonnya kerana bentuknya yang ringkas, bersahaja dan kelakar. Bila saya membuat perbandingan dengan filem teenlit Barat yang anak-anak saya suka tonton, ternyata banyak persamaan. Walau bagaimanapun, tema teenlit Barat memang tidak sesuai untuk orang Asia dan remaja Timur. Persoalannya bagaimana dan siapa yang mahu mengisi bahan bacan / filem teenlit berwajah timur/Islami?

Anonymous said...

Gak,all novel teenlint kyk gt!!That tergantung remaja..!q termasuk orng yg suka memilih -milih novel ...!

Anonymous said...

Menurut gue sih teenlit itu bagus karena bener-bener bercerita langsung tentang kehidupan remaja dari sudut pandang remaja itu sendiri. Jadi lebih real. Bahasanya ya mau nggak mau jadi bahasa "gue-elu." Aneh kali kalo pake bahasa baku. Gue pernah baca satu teenlit dengan bahasa baku dan hasilnya.. duh males banget deh..
Masalahnya disini mungkin soal penerbit. Akhir2 ini banyak penerbit baru bermunculan dan mereka berlomba-lomba untuk membuat buku yang menarik kalangan remaja. Akibatnya, novel-novel yang diterbitkan tidak diperhatikan mutunya. Ada yang alurnya ngga jelas, lompat-lompat, nggak masuk logika eeh diterbitkan juga. Akhirnya gini deh.

netoe said...

gw suka teenlit, tp kadang ceritanya udah bisa d tebak aja endingnya. pgn cari sesuatu yg lbih interesting to read

Anonymous said...

saya suka baca buku teenlit, karena saya masih remaja, saya pikir isinya refreshing saja untuk dibaca tapi memang harus diakui kalau jalan cerita semua novel teenlit selalu dangkal dan bahasanya terkadang aneh. yang harus diakui juga itu adaptasi cerita teenlit orang barat ke teenlit indonesia benar-benar mempengaruhi gaya hidup anak remaja indonesia. memang benar dari yang saya alami kalau remaja barat suka life style yang hura-hura, tetapi sayangnya remaja indonesia menilai itu sebagai gaya hidup yang bisa membuat diri mereka terlihat "cool" di kalangan sebayanya dan meniru gaya hidup itu. lalu muculah remaja matrealistis yang hanya mementingkan penampilan dari pada otak. sebenarnya kalu novel teenlit itu lebih diisi nilai moral yang lebih berguna dari pada sekedar kisah cinta, sastra indonesia tidak akan hancur.

Anonymous said...

setuju.. tapi tidak 100%, ada juga novel teenlit yang tidak hanya menceritakan percintaan dan kehidupan remaja yang hanya bisa terjadi di dunia khayalan, melainkan menceritakan tentang kehidupan remaja sesungguhnya, real banget, juga banyak dijumpai pada kehidupan remaja-remaja sekarang, seperti teenlit karangan Ken Terate, judulnya jurnal jo, jurnal jo online, 57 detik dll. ceritanya masih masuk akal.

Anonymous said...

Kupikir, ini sebenarnya bukan masalah besar. Fenomena teenlit, biar bagaimanapun, adalah fenomena yang bagus dan perlu mendapat dukungan yang positif.

Toh pada kenyataannya nggak ada bayi baru lahir yang langsung bisa berjalan, kan? Pastinya mereka akan belajar merangkak dulu baru bisa belajar berjalan.. ^__^

Kurasa, yang penting sekarang adalah bagaimana meningkatkan minat baca dulu (minat baca bangsa ini tergolong masih rendah dibandingkan dengan negara lain).. Nah, setelah minat baca bangsa ini meningkat, barulah nanti pemahaman masyarakat juga akan berkembang dengan sendirinya dan kebutuhan akan bahan bacaan yang semakin baik pun semakin bertambah..

Penulis pun nggak semuanya langsung bisa menghasilkan karya masterpiece.. Semua pasti butuh waktu dan proses. Salah satunya bisa dimulai dengan tulisan teenlit ini.

Intinya, kita ga bisa selalu mengharapkan kehebatan spontan, apalagi kalau selalu membanding-bandingkannya dengan negara lain yang sudah lebih dulu mampu meningkatkan minat baca dan budaya tulis pada bangsa mereka.

Daan, buat yang (masih) suka teenlit, mampir-mampir ke sini, yuk.. ;)

http://nayacorath.wordpress.com

#numpangpromosisekalian
#janganditimpukyah

^____^