Wednesday, November 30, 2005

Guru-guru yang Terpinggirkan

P Bambang Wisudo dan Indira Permanasari
Sumber: Kompas

Sejak kecil Atrianil (42) bercita-cita menjadi guru. Selulusnya dari program diploma pendidikan akuntansi di IKIP Padang pada tahun 1986, ia mengajar sebagai tenaga honorer di SMP Negeri I Payakumbuh.

Gagal menjadi pegawai negeri karena pemerintah mengubah kebijakan kualifikasi guru SMA dan tidak memenuhi kriteria sebagai guru ekonomi di SMP, ia hijrah ke Jakarta.

Genap sebelas tahun Atrianil mencari peruntungan di Jakarta, tetapi nasibnya tidak berubah, tetap saja ia berstatus sebagai guru honorer. Ia bekerja dari pagi hingga petang hari dengan hitungan per jam mengajar yang hanya dibayar pada minggu pertama untuk satu bulan mengajar. Ia mengajar 80 jam per minggu dengan penghasilan total kurang dari Rp 1 juta. Tidak ada jaminan sosial, penggantian biaya berobat ketika sakit. Tidak ada tanda-tanda nasibnya akan membaik.

Niat baik
Di balik pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Guru dan Dosen yang hampir selesai dibahas di DPR, tebersit keinginan pemerintah untuk memperbaiki kesejahteraan dan profesionalisme guru. Akan tetapi, sejauh mana niat baik itu akan mengubah wajah suram nasib guru di Indonesia. Tidak dimungkiri ada sebagian guru sekolah negeri dan sekolah elite yang hidup berkecukupan, tetapi jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan jumlah guru yang mencapai 2,2 juta orang.

Andaikata nasib guru sekolah negeri diperbaiki, bagaimana dengan nasib ratusan ribu guru honorer, guru bantu, dan guru sekolah swasta menengah bawah yang berada dalam kasta paling rendah dalam sistem pendidikan di Tanah Air?

Atrianil hanya bisa menahan kesedihannya ketika saat mudik Lebaran baru-baru ini kedua anaknya menolak diajak pulang ke Jakarta.

"Mama realistis saja, kita tidak mungkin bertahan hidup dengan kondisi seperti ini. Bila ada duit buat Ari, kumpulin saja untuk betulin atap yang bocor," tutur Atrianil menirukan argumentasi anaknya menjelang ia kembali ke Jakarta.

Atrianil hampir-hampir tidak percaya ucapan itu keluar dari mulut anaknya, Ari Kurniawan (12), yang baru keluar dari masa kanak-kanaknya. Ari tergolong anak yang pandai di bangku sekolah. Di SD ia sering juara pertama, bahkan pernah menjadi juara II kompetisi anak cerdas di Tangerang.

Dengan penghasilan kurang dari Rp 1 juta memang hampir tidak mungkin Atrianil hidup layak dan sendirian membesarkan kedua anaknya. Suaminya, sejak dipecat dari perusahaannya beberapa tahun lalu, jarang pulang ke rumah.

Beban hidup mereka agak teringankan karena Atrianil tidak perlu mengeluarkan uang kontrak rumah. Ia memiliki rumah seluas 50 meter persegi di Kampung Gondrong, Tangerang. Tanah dibelinya dari uang tabungan yang diperoleh dari saudara- saudaranya.

Dulu Atrianil paling pandai di antara delapan bersaudara. Ia satu-satunya yang bertahan menjadi guru.

Bertahun-tahun Atrianil mengajar dari pagi sampai sekitar pukul 21.00. Pagi-pagi ia bertolak ke sekolah, mengajar dari sekolah satu ke sekolah lain, dan kadang-kadang baru pulang ke rumah saat larut malam.

Suatu hari ia terserang tifus. Belum sampai benar-benar sembuh, ia berangkat mengajar. Tiba-tiba ia hilang kesadaran, jatuh terantuk batu, pelipisnya robek. Oleh karena tidak punya uang, sesuai dengan saran sopir bus, ia mengoleskan oli mesin untuk menghentikan pendarahan.

Darah di bajunya belum kering saat ia ke sekolah, sekadar untuk mengetes kepedulian sekolah. Bukannya diberi ongkos berobat, ia justru disalahkan, dianggap kurang berhati-hati.

"Seminggu luka saya kering, tetapi luka di hati saya tidak pernah kering. Ternyata begitu perlakuan terhadap guru," kata Atrianil.

Jadi korban gusuran
Tidak berbeda dengan Atrianil, Deddy Sudardi (47) juga terpinggirkan oleh ketidakadilan dalam sistem pendidikan yang berlaku sampai hari ini. Ia telah mengajar selama 20 tahun. Ia mengajar 50 jam pelajaran dalam seminggu dengan upah total Rp 1,3 juta.

Untuk menutup defisit membesarkan tiga anak, kini istrinya bekerja sebagai buruh pabrik garmen dengan upah Rp 150.000 per minggu.

Dengan penghasilan seperti itu, Deddy tidak mampu tinggal di rumah yang layak. Selama 10 tahun di Jakarta, ia terpaksa berpindah- pindah tempat tinggal, dari rumah satu ke rumah yang lain di permukiman kumuh yang berdiri di atas tanah tak bertuan.

Deddy tidak hanya dipinggirkan oleh sistem, tetapi juga tergusur dalam arti sesungguhnya. Rumahnya seluas 30 meter persegi di Jembatan Besi, Jakarta Barat, diroboh paksa bersama ratusan rumah lainnya dalam peristiwa penggusuran tahun 2003. Bangunan, alat-alat elektronik, dan perabotan rumah tangga hilang tak berbekas. Akibat kasus penggusuran itu, Deddy yang mengajar akuntansi di tiga sekolah kejuruan swasta terpaksa absen mengajar selama dua minggu. Deddy bahkan sempat menginap satu malam di kantor polisi karena melakukan perlawanan. Kepalanya sempat dijahit karena pentungan petugas tramtib. Sampai sekarang ia mengaku masih sering pusing tiba-tiba.

"Kadang kepala saya berdenyut, sakit secara tiba-tiba. Seperti ditusuk jarum," tutur Deddy.

Deddy sampai sekarang tinggal di area tak bertuan demi sekolah anak-anaknya. Ia mengontrak rumah bedeng di pinggir rel kereta api di daerah Kalideres, Jakarta Barat. Bertetangga dengan para penjual makanan keliling, buruh, dan tukang becak. Ia sudah merasa nyaman tinggal di rumah kontrakan dengan dua kamar. Apalagi tiga anaknya tidak tinggal bersamanya. Anaknya yang pertama kuliah di perguruan tinggi Bina Sarana Informatika. Biaya per semester Rp 1,5 juta dan pengeluaran bulanan tidak kurang dari Rp 600.000. Biaya sebesar itu tidak mungkin terbayarkan bila anaknya tidak kuliah sambil bekerja. Dua anak Deddy yang lain tinggal di pondok pesantren dengan biaya Rp 400.000 per bulan.

Syarifudin (54), guru honorer yang lebih dari 20 tahun mengajar di SMP dan SMA PGRI Balaraja, Tangerang, selama ini hidup pas-pasan dengan empat anak. Ia mengajar 40 jam seminggu dengan penghasilan Rp 560.000 per bulan. Sebagai wakil kepala sekolah di SMP, ia mendapatkan tambahan tunjangan setara 40 jam mengajar.

Putri pertamanya tergolong anak pandai sehingga diterima di Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor. Uang masuknya hampir Rp 5 juta. Tiap bulan ia harus mengeluarkan uang Rp 665.000 per bulan untuk biaya hidup anaknya yang pertama. Jumlah itu separuh dari penghasilannya per bulan. Sisanya habis untuk kontrak rumah, listrik, keperluan dapur, dan transpor sehari-hari. Beruntung dua anaknya masih duduk di bangku SD.

Ia tidak berharap banyak akan disamakan status dan kesejahteraannya seperti pegawai negeri. Seperti Atrianil, Deddy, dan guru-guru nonpegawai negeri sipil yang selama ini dipinggirkan, mereka hanya berharap campur tangan pemerintah agar bisa hidup layak sebagai seorang guru.

Setahun lalu, pada peringatan Hari Guru 25 November di kabupaten, ia bersama belasan guru honor yang telah mengabdi selama 20 tahun diminta berdiri di depan. Disaksikan ribuan orang, Syarifudin menerima sebuah amplop sebagai tanda penghargaan. Isinya Rp 100.000.

Kajian 30 November 2005

Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang yang mendapat petunjuk.QS At Taubah 18.

Tuesday, November 29, 2005

Marah

Anda pernah marah? Sering marah? Namanya manusia pasti pernah marah (but mudah-mudahan nggak terlalu sering he3x). Menurut saya wajar dan ini merupakan salah sifat yang dikaruniakan Yang Maha Kuasa kepada kita. Yang mungkin jadi tantangan ialah bagaimana kita mengendalikan amarah ini sehingga bisa bermanfaat bagi kita.

Beberapa hari yang lalu saya sempat menonton film Batman Begin. Film ini cukup menarik (nanti saya bahas terpisah). Di bagian awal film ini menceritakan bagaimana proses amarah mempengaruhi hidup Bruce Wayne. Suasananya 'gelap', seram, kelam ... segelap hatinya Bruce ... mungkin ini juga yang menimpa hati dan otak kita ketika marah, gelap, mendung, halilintar menyambar, petir menggelegar ...

Jadi bagaimana kita bisa mengendalikan amarah ini agar menjadi hal yang positif? Menurut Jeffrey J Fox, pengarang buku How to Become CEO tipsnya adalah, stop, look, and think. Berhenti, melihat, mencari fakta, dan kemudian berfikir. Tidak ada kata-kata soal mengambil tindakan (action). Tapi semata-mata stop, look, and think. Mengapa? Langkah-langkah ini akan mendorong kita untuk menguasai diri dan emosi, berfikir jernih, dan berfikir berulang kali sebelum mengeluarkan sepatah kata maupun melakukan tindakan.

Arvan Pradiansyah memberikan tips lain. Tipsnya adalah SPP, stop, pikir, dan pilih. Langkah pertama adalah yang paling penting. Berhenti! Jangan berbuat apa-apa. Jangan berkata apa-apa. Kata Arvan, kalau perlu gigitlah bibir anda!

Rasulullah memberikan nasihat dalam mengendalikan marah. Jika kita marah dalam keadaan berdiri, maka duduklah. Kalau masih belum reda juga, maka berbaringlah. Bahkan kita disuruh berwudhu, agar amarah itu bisa mereda dan padam.

Kalau saya sendiri, biasanya kalau emosi itu naik ke hati dan kepala, hal pertama yang saya lakukan ialah menarik nafas panjang dan berhenti. Otak saya berjuang melawan amarah yang sudah mengental di dada. Kemudian berjuang sekuat tenaga agar bisa mengontrol diri dan berfikir dengan jernih sambil menatap orang/situasi yang menyebabkan kemarahan itu. Respon saya biasanya menjadi lambat, agak memutar-mutar, karena selain hati yang harus dikontrol, nada suara juga sangat sulit dijaga. Alhamdulillah, metode ini cukup berhasil sehingga tidak ada 'ledakan' yang terjadi.

Namun ada kalanya pertahanan ini 'jebol'. Meledak, runtuh, banjir, terlepas tanpa kendali. Biasanya setelah itu yang tertinggal hanya penyesalan ....

Bagaimana dengan anda, ada tips-tips ampuh menjaga amarah?

Kajian 29 November 2005

Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu. QS At Taubah 9.

Monday, November 28, 2005

Smart Talk Trap (4 of 4)

Tulisan ini (lagi-lagi) merupakan ringkasan dari paper Jeffrey Pfeffer dan Robert I Sutton di Harvard Business Review yang berjudul The Smart Talk Trap. Karena cukup panjang, maka saya buat dalam 4 bagian. Kenapa saya buat ringkasannya? Karena fenomena ini saya temukan dimana-mana ... :)

===
3. Para pemimpin itu bertanya – selain dengan ’kenapa’ – dengan menggunakan kata ’bagaimana’
Di perusahaan dimana kebiasaan mengkritik berkembang, tidak banyak orang yang mau menawarkan ide untuk suatu masalah, atau bahkan terjun langsung. Yang biasanya muncul justru kata-kata ”I told you so” yang biasanya muncul dari orang-orang yang hanya mampu mengkritik, tanpa memberikan solusi, atau bahkan terjun langsung membantu.

Beberapa perusahaan berhasil menerapkan metode yang agak berbeda. Orang tetap diperbolehkan untuk mengkritik, namun mereka tidak boleh berhenti di situ. Mereka harus memberikan solusi. Dengan kata lain, fokus diskusi adalah bagaimana menyelesaikan masalah tersebut.

Donald Regan dalam memimpin Merrill Lynch di 1970-an adalah contoh salah seorang pemimpin yang mampu menterjemahkan kata-kata ’bagaimana’ dengan baik. Saat itu ML sedang menghadapi kebijaksanaan Amerika yang baru (CMA Cash Management Account) dan mereka harus bisa beradaptasi dengan kebijaksanaan ini.

Dalam rapat terakhir, Regan mendengarkan seluruh masukan dari para Vice Presidentnya. Hampir seluruhnya mendeskripsikan masalah yang akan muncul, mulai dari operasi perusahaan, masalah legal, sistem informasi, pemasaran, dst.

Regan tidak menolak seluruh masukan ini. Namun ia menegaskan kalau mereka harus jalan terus dan beradaptasi. Katanya, ”The question is, how do we solve the problems you described so articulately?”

4. Para pemimpin itu memiliki mekanisme yang baik dalam memonitor perkembangan situasi
Sering kali keputusan telah dibuat, namun sampai disitulah ceritanya. Perusahaan yang baik memiliki mekanisme yang memastikan situasi itu diimplementasi hingga selesai.

Di Cypress Semiconductor misalnya, ketika seseorang menyatakan akan menyelesaikan suatu masalah pada tanggal tertentu, informasi itu akan dimasukkan ke sistem komputer. Ketika mereka gagal memenuhi target ini, komputer mereka secara otomatis tidak bekerja. Pembuatan Minutes of Meeting yang jelas menggambarkan tugas-tugas yang harus dilakukan, siapa yang melakukan, dan tanggal pelaksanaannya juga merupakan mekanisme yang baik.

5. Para pemimpin itu percaya pengalaman adalah guru terbaik.
Hanya dengan mencoba dan mencoba, perusahaan bisa mengetahui apakah yang mereka diskusikan benar-benar bisa menjawab permasalahan. Merangkai berbagai teori hanya akan berakhir dengan berbagai tulisan, presentasi, laporan, dan sama sekali tidak menyelesaikan masalah.

===
So, apakah ini terjadi di organisasi anda? Jika jawabannya ya, mudah-mudahan tulisan Pfeffer dan Sutton ini bisa membantu anda menganalisis situasi, membuat beberapa langkah untuk mengatasinya, mempresentasikannya ke para pucuk pimpinan. Dan oh ya, jangan lupa untuk mengimplementasikannya! :)

Kajian 28 November 2005

Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan memberikan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rizki (nikmat) yang mulia. QS Al Anfaal 74.

Smart Talk Trap (3 of 4)

Tulisan ini (lagi-lagi) merupakan ringkasan dari paper Jeffrey Pfeffer dan Robert I Sutton di Harvard Business Review yang berjudul The Smart Talk Trap. Karena cukup panjang, maka saya buat dalam 4 bagian. Kenapa saya buat ringkasannya? Karena fenomena ini saya temukan dimana-mana ... :)

===
1. Perusahaan itu memiliki para pemimpin yang mengetahui dan melakukan pekerjaan
Orang-orang ini biasanya menggunakan waktunya untuk benar-benar bekerja bersama timnya, memberikan pengarahan kepada mereka, dan berbicara langsung dengan pelanggannya.

Para pemimpin yang melakukan pekerjaan – dan tidak hanya membicarakannya – sangat membantu dari terjebak dalam situasi knowing-doing gap. Mereka bekerja di garis terdepan, sehingga mereka tahu persis apa yang terjadi, bagaimana timnya bekerja, dan masalah-masalah apa saja yang terjadi.

Yang tidak kalah pentingnya, dengan adanya pemimpin yang mengetahui persis pekerjaan, mereka akan sulit terjebak dengan smart-talk, complex ideas dan seterusnya. Mereka tahu apa yang persis terjadi dan mereka dapat dengan mendeskripsikannya dengan sederhana.

Sebagai contoh James Goodnight, CEO dari SAS Institute. Ia menghabiskan waktunya 40% untuk melakukan programming dan memimpin product development team. Ia mengetahui bahwa programmer yang bekerja hingga larut malam cenderung melakukan banyak kesalahan. Untuk mengatasi hal ini, Goodnight kemudian merubah jam kerja menjadi 35 jam/minggu. Hasilnya: SAS dapat mengurangi pekerjaan meng-QC hasil programming dan pelanggan merasa senang karena bugs pada software berkurang.

2. Para pemimpin itu memiliki kecenderungan untuk menggunakan kata-kata dan ide yang lurus serta sederhana.
Contoh pada kasus ini ialah Greg Brennemen, President dan COO Continental Airlines. Ketika ia melihat menurunnya kemampuan perusahaannya untuk bekerja tepat waktu, ia memperkenalkan program yang sangat sederhana. Ia membangun hubungan langsung dengan para pegawai yang bekerja di lapangan dan memastikan penerbangan tepat waktu, dan ia selalu menekankan pentingnya servis kepada pelanggan dan terbang tepat waktu. Program sederhana ini terbukti memberikan hasil yang lebih baik ketimbang program-program besar yang bisa menghabiskan uang banyak serta butuh waktu lama untuk mengimplementasikannya.

Rencana sederhana sangat berguna karena dengan mudah dapat diimplementasikan. Contoh lain ialah Apple Computer. Ketika Steve Jobs mulai bekerja di perusahaan ini pada tahun 1977, Apple Computer memiliki product line yang sangat bervariasi, tipe 1400, 2400, 3400, 4400, 5400, 5500, 6500, dan seterusnya hingga e-Mate, dan Newton. Setelah mencoba memahami ini selama 3 minggu, Jobs berkata, ”Saya tidak bisa memahaminya. Bahkan saya tidak tahu produk mana yang bisa saya rekomendasikan untuk teman saya.” Akhirnya ia memutuskan bahwa Apple akan memiliki 4 product line, business desktop & laptop, dan consumer desktops & laptop. Setelah 2 tahun berjuang dengan konsep ini, Apple berhasil menghasilkan keuntungan kembali.

Thursday, November 24, 2005

Smart Talk Trap (2 of 4)

Tulisan ini (lagi-lagi) merupakan ringkasan dari paper Jeffrey Pfeffer dan Robert I Sutton di Harvard Business Review yang berjudul The Smart Talk Trap. Karena cukup panjang, maka saya buat dalam 4 bagian. Kenapa saya buat ringkasannya? Karena fenomena ini saya temukan dimana-mana ... :)

===
Masalah lain yang kita temui sehari-hari ialah kenyataan bahwa agar terdengar ’smart’ kata-kata yang sifatnya kompleks digunakan seperti ’learning organization’ ’business process re-engineering’ ’paradigm’ dan seterusnya. Mengapa ini terjadi? Salah satu alasannya ialah agar tidak mudah ditiru orang. Jika strategi suatu perusahaan sangat sederhana, sangat mudah bagi perusahaan lain untuk menirunya. Dengan demikian strategi itu sudah menjadi senjata – competitive advantage – bagi perusahaan itu.

Padahal strategi yang ’sederhana’ tidak selalu mudah diimplementasikan (dan ditiru oleh perusahaan lain). Sebagai contoh 3 kata kunci, decentralization, information sharing, and treating people with respect. Decentralization artinya manajer harus mampu ‘menyerahkan’ sebagian dari kekuasaannya, satu hal yang tidak mudah. Information sharing artinya berbagi informasi dari yang mengetahui ke yang tidak mengetahui. Dan sudah sangat terbukti begitu banyaknya perusahaan yang memiliki motto ‘treating people with respect’ namun tidak mampu menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari.

Tentu ini tidak berarti bahwa ide, strategi yang kompleks tidak akan berhasil. Namun harus disadari bahwa hal ini tidak banyak memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Hasil riset tulisan ini membuktikan bahwa strategi yang kompleks umumnya menciptakan kebingungan.

So, apakah berarti kita harus berhenti berdiskusi, rapat, melakukan presentasi dll? Tentu tidak. Yang terpenting adalah tindak lanjut, implementasi dari diskusi ini. Kita tidak boleh membiarkan ‘smart-talk’ ini menggantikan pekerjaan yang sesungguhnya harus kita lakukan. Cukup banyak perusahaan yang berhasil keluar dari pitfall ini. Umumnya perusahaan-perusahaan ini memiliki 5 karakteristik berikut.

Kajian 24 November 2005

Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah lah pahala yang besar. QS Al Anfaal 28.

Smart Talk Trap (1 of 4)

Tulisan ini (lagi-lagi) merupakan ringkasan dari paper Jeffrey Pfeffer dan Robert I Sutton di Harvard Business Review yang berjudul The Smart Talk Trap. Karena cukup panjang, maka saya buat dalam 4 bagian. Kenapa saya buat ringkasannya? Karena fenomena ini saya temukan dimana-mana ... :)

===
Apa itu Smart talk trap? It is knowing too much and doing too little.

Apa itu smart-talk trap? Bayangkan pertandingan sepakbola. Ada 11 orang yang berjuang di lapangan, begitu banyak komentator, reviewer, penonton, koran, dst dst yang sibuk menganalis segala hal, mulai dari pertandingannya sendiri, kemampuan individu, strategi, kemampuan pelatih, kemampuan keuangan klub tersebut dst dst. Bayangkan juga negara kita ini, begitu banyak analis, komentator, bahkan presiden dan kabinetnya juga sibuk menjadi komentator. Banyak komentar, tapi tidak ada action. No action talk only. Hehehe sori jadi melantur ... :-P

Seperti apa smart talk itu? Pembicaraan yang kedengarannya meyakinkan, terartikulasi dengan baik, banyak informasi dan ide menarik. Namun di sisi lain biasanya punya kecenderungan negatif, dan biasanya rumit atau mengawang-awang.

Kenapa ini bisa terjadi? Pertama, seorang manajer terbiasa mensubstitusi aksi (action) dengan bicara (talk) karena memang itulah yang diajarkan pada mereka. Coba lihat program-program MBA, apa salah satu materi utama? Berbicara, memformulasikan ide, menuliskannya, dan mempresentasikannya, mendiskusikannya. Bagaimana cara mendapatkan nilai yang baik dari suatu program MBA? Tentunya dengan hal-hal di atas, terlepas apakah ini hanya terhenti pada ide dan tidak terealisasi atau terimplementasi.

Bagaimana dengan dunia pekerjaan sehari-hari. Buat anda yang sibuk, pasti anda mengakui bahwa hidup anda berputar dari suatu rapat ke rapat yang lain. Semakin banyak anda mengeluarkan ide anda, berdiskusi, dan seterusnya pada meeting itu, maka semakin pintar anda terlihat. Lebih jauh lagi, anda akan terlihat sangat berpengaruh dan penting – kriteria menjadi seorang pemimpin. Tentunya ini berarti kemungkinan anda akan dipromosikan akan semakin besar.

Lebih lanjut, situasi ini juga berkembang di bidang lain. Pada suatu organisasi besar, tidaklah mudah untuk mengetahui hasil pekerjaan seseorang. Suatu pekerjaan biasanya melibatkan banyak orang, dan mengasumsikan bahwa itu adalah hasil dari satu orang saja adalah kurang tepat. Akibatnya, yang terjadi ialah dalam pengambilan keputusan menaikkan posisi, gaji, hingga memecat seseorang dilakukan berdasarkan bagaimana orang itu ’pintar’ berbicara. Tentunya di rapat-rapat, presentasi, dan dalam percakapan sehari-hari. Bahkan kini juga terjadi bahwa dalam proses interview seorang eksekutif dalam tempo 1-5 menit sudah bisa 'menebak' kualitas calon pegawai berdasarkan ’kepintarannya’ berbicara.

Hasil studi yang dilakukan, di antaranya oleh Teresa Amabile, Harvard Business School, menunjukkan bahwa dengan melakukan kritisi negatif terhadap ide seseorang, membuat orang tersebut itu – meski kurang disukai – diakui lebih pintar dan kompeten. Comment Teresa, ”Only pessimism sounds profound. Optimism sounds superficial”

Tuesday, November 22, 2005

Proaktif

Melanjutkan seputar pemikiran saya soal remote control, kita tentunya kenal dengan istilah proaktif. Stephen Covey mengatakan kalau kalau pengertian proaktif itu tidak sekedar dalam hal kebiasaan mengambil inisiatif, namun kalau ditarik lebih dalam, berarti kita sebagai manusia bertanggung jawab atas hidup kita. Perilaku kita adalah hasil keputusan kita dan bukan hasil lingkungan kita. Kita menaruh nilai-nilai hidup di atas perasaan kita dan kita memiliki inisiatif dan tanggung jawab untuk mewujudkan sesuatu menjadi kenyataan.

Di sisi lain, orang yang reaktif adalah orang-orang tergantung pada situasi di sekelilingnya. Ketika orang-orang memperlakukannya dengan baik, ia pun baik. Ketika sebaliknya yang terjadi, ia akan menjadi defensif atau protective. Nilai-nilai hidupnya kerap 'kalah' dalam menghadapi berbagai situasi yang dialaminya.

Kemampuan untuk menaruh nilai-nilai hidup di atas segalanya inilah yang merupakan esensi proaktif. Orang yang reaktif hidupnya tergantung pada perasaannya, situasi lingkungannya, kondisi hidupnya. Sementara orang proaktif hidup berdasarkan nilai-nilai yang ia yakini dan percayai.

Gandhi pernah berkata "They cannot take away our self respect if we do not give it to them".

Kajian 22 November 2005

Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan RasulNya, dan janganlah kamu berpaling dari padaNya, sedang kamu mendengar (perintah-perintahNya). QS Al Anfaal 20.

Monday, November 21, 2005

Mang Endan

Dikutip dari Harian Republika, Minggu, 20 November 2005. Menyentuh hati ...

Mang Endan
Oleh : KH Didin Hafidhuddin

Mang Endan, demikian ia biasa dipanggil, adalah sosok yang mungkin tidak Anda kenal. Bahkan saya secara pribadi pun tidak terlalu mengenalnya secara dekat, hingga wajahnya muncul dalam sebuah acara reality show di sebuah stasiun televisi swasta pada bulan Ramadhan lalu. Ia mendapatkan kesempatan untuk menunaikan ibadah haji secara gratis pada tahun 2007 yang akan datang. Kemudian ia pun mendapatkan pula ''hadiah'' uang tunai dalam acara reality show lain yang diselenggarakan oleh stasiun televisi yang berbeda. Mungkin banyak yang bertanya-tanya, siapakah Mang Endan itu? Hal apa yang telah dilakukannya sehingga ia layak mendapat perhatian kita semua?

Satu hal pokok yang membuat saya sangat kagum terhadapnya adalah faktor kepribadiannya. Ternyata, berbagai hadiah yang diterimanya secara mendadak tersebut, bukanlah sesuatu yang "tiba-tiba" jatuh dari langit tanpa ada penyebabnya. Hadiah-hadiah tersebut sesungguhnya merupakan karunia dan rahmat dari Allah SWT sebagai balasan atas ketakwaan yang tercermin dalam akhlak dan perilaku hamba-hamba-Nya. Allah telah berjanji untuk memberikan rezeki kepada siapa saja yang Ia kehendaki, melalui pintu yang tidak diduga sebelumnya, sebagaimana firman-Nya dalam QS At-Thalaq:2-3.

Mang Endan adalah sosok pribadi sederhana, yang tinggal di sebuah kampung di daerah Kabupaten Bogor. Sosok yang memiliki nama asli Toyibal Ardani ini hidup di tengah-tengah kampung yang 90 persen masyarakatnya terkategorikan sebagai warga miskin yang layak mendapatkan dana kompensasi BBM. Ia dikenal oleh masyarakat di kampungnya sebagai ustadz yang terbiasa mengajar ngaji anak-anak dan membimbing pengajian majelis taklim ibu-ibu. Yang menarik adalah ia tidak pernah meminta bayaran tertentu kepada mereka yang ia bimbing, semuanya diserahkan kepada kemampuan masing-masing binaannya. Bahkan tidak sedikit yang tidak mampu memberikan apa pun dalam bentuk materi kepadanya.

Jiwa sosialnya pun luar biasa. Ia tidak segan-segan untuk membantu tetangganya yang sakit. Jika ada yang meninggal, dialah yang pertama mengurus jenazahnya hingga ke pemakaman, termasuk ikut menggali kubur. Sungguh, ini adalah fenomena yang sangat jarang. Seorang da'i sederhana yang keihklasannya mampu mengayomi masyarakatnya.

Hal lain yang membuat saya sangat respek kepadanya adalah ia tidak merasa takut terhadap rezeki yang didapatnya. Ia selalu merasa yakin akan kebesaran Allah, dan selalu merasa cukup atas apa yang telah Allah berikan kepadanya, meskipun untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, ia hanya berjualan bubur, yang dilakukannya selepas shalat subuh hingga menjelang waktu dzuhur setiap harinya. Sedangkan sisa harinya, ia habiskan untuk berdakwah kepada masyarakatnya. Yang mengagumkan juga, setiap hari ia selalu menabung sebesar 5 ribu rupiah, dengan tujuan agar pada bulan Ramadhan ia tidak perlu berjualan bubur, sehingga bisa berkonsentrasi penuh untuk ibadah.

Merasa cukup, itulah sikap mental yang dimilikinya, yang patut untuk dijadikan contoh. Sebuah sikap mental yang sangat langka dalam kehidupan yang serba materialistis seperti saat ini. Seorang tukang bubur, dengan seorang istri dan empat orang anak, memiliki perasaan yang demikian luhur. Inilah sesungguhnya makna "kaya" yang hakiki dalam ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda : "yang dikatakan kaya itu bukanlah semata-mata pada banyaknya harta, akan tetapi pada kekayaan batin (merasa cukup dengan haknya)" (HR Bukhari-Muslim).

Yang tidak kalah penting, Mang Endan pun mengembalikan kartu kompensasi BBM yang diterimanya. Alasannya sederhana, ia melihat banyak yang lebih miskin darinya yang tidak mendapatkan kartu tersebut, sehingga ia merasa tidak layak dan tidak patut untuk memanfaatkannya. Padahal, menurut petugas BPS yang melakukan survei, ia termasuk yang berhak menerimanya. Luar biasa! Apalagi hal tersebut ia lakukan di tengah-tengah kondisi masyarakat yang berebut untuk mendapatkan dana kompensasi BBM, yang bahkan di beberapa daerah sampai menimbulkan konflik berdarah. Kerelaan untuk mendahulukan orang lain (itsar), merupakan salah satu akhlak yang selalu dipraktikkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya, sebagaimana dinyatakan dalam QS Al-Hasyr:9.

Di tengah-tengah situasi bangsa dan negara yang semakin sulit dan terpuruk, kita membutuhkan Mang Endan-Mang Endan dalam seluruh level kehidupan. Kita yakin, apabila para pejabat, birokrat, politisi, alim ulama, cendekiawan, tokoh masyarakat, dan rakyat secara keseluruhan memiliki mental dan jiwa seperti Mang Endan, maka berbagai problematika tersebut, insya Allah, akan dapat diatasi, karena sesungguhnya esensi persoalan bangsa sekarang ini terletak pada rusaknya sikap mental yang tercermin dalam perilaku keseharian yang destruktif. Wallahu'alam bi ash-shawab.

Sunday, November 20, 2005

Prihatin ...

Prihatin ....

Terlepas pendapat saya, anda, orang-orang mengenai keseluruhan situasi terorisme di Indonesia, saya kira kita harus makin dan makin prihatin dengan kejadian belakangan ini. Berita terakhir pelaku pembom bunuh diri di R Aja's Cafe, Kuta, Bali awal Oktober 2005 kemarin berasal dari Dusun Karangsari, Ciamis, Jawa Barat. Kita dengar juga kalau belakangan ini orang-orang yang dicurigai melakukan kegiatan terorisme ini ditangkap di berbagai tempat di pelosok tanah Jawa.

Saya prihatin untuk mereka. Saya tidak tahu persis apa sebab mereka melakukan ini semua.

Kenapa orang-orang yang dari berbagai tempat di Indonesia ini melakukan kegiatan terorisme? Kenapa? Apa mereka tidak mempertimbangkan nasib saudara-saudara mereka yang bisa terkena dampak kegiatan mereka? Orang-orang yang terbunuh. Istri yang kehilangan suami dan anak-anaknya. Anak yang kehilangan orang tuanya. Keluarga yang kehilangan tempat tinggalnya. Orang-orang yang kehilangan nafkahnya.
Apa mereka sudah mempertimbangkan masak-masak kegiatan mereka? Apa mereka sudah mempertimbangkan rasa jika keluarga mereka sendiri yang terkena musibah?
Apakah mereka sudah mengetahui sesuatu yang saya tidak tahu? Sesuatu yang membuat mereka yakin akan kebenaran kegiatan mereka?
Atau mereka hanyalah pion-pion dari sesuatu yang lebih besar lagi?

Saya jelas sangat prihatin dengan saudara-saudara kita yang mengalami musibah karena kegiatan terorisme. Saya prihatin dengan saudara-saudara kita yang terkena imbas kegiatan terorisme. Saya prihatin dengan nasib kita, bangsa kita, negara kita. Namun pertanyaan-pertanyaan di atas kembali menggelitik fikiran saya, kenapa, mengapa?

Rasanya seperti semua ini hanyalah sandiwara belaka. Mungkin ada skenario besar yang memayungi ini semua. Mungkin semua yang kita lihat mengarah ke A, ternyata sebenarnya B. Atau mungkin memang semua ini A dan B tidak ada sangkut pautnya sama sekali.

Apa yang bisa kita lakukan? Kita mungkin hanyalah pion kecil dalam skenario besar ini. Ya mungkin kembali pada nasihat Aa Gym, mulailah dari yang kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari sekarang. Perbaiki, tingkatkan, kuatkan sesuatu yang masih dalam jangkauan kita ...

Sewaktu menulis ini pun saya prihatin. Saya pun tidak tahu judul apa yang pas, prihatin? Sedih? Bingung?

Saturday, November 19, 2005

Kualitas Pemimpin Sejati (bagian 10)

Tulisan ini berdasarkan buku karangan John C Maxwell, The 21 Indispensable Qualities of a Leader. Tiada maksud untuk menulis ulang buku ini (takut kena urusan copyright hehehe ...), tapi lebih berupa ringkasan berdasarkan pemahaman saya .. :-O

10. Inisiatif: Tanpanya, Anda Takkan Kemana-mana

Sukses tampaknya berhubungan dengan tindakan. Orang-orang yang sukses terus bergerak. Mereka membuat berbagai kekeliruan, namun mereka tidak menyerah - Conrad Hilton, Eksekutif Hotel

Kalau Maxwell memberikan contoh Kemmons Wilson yang tidak pernah berhenti bekerja, termasuk mendirikan jaringan hotel Holiday Inn, kita mungkin bisa melirik Aa Gym. Sepanjang yang saya tahu, beliau sejak kecil tidak pernah berhenti untuk bergerak dan mengambil inisiatif. Selalu ada hal yang baru yang muncul, mungkin dari 10 yang 9 berakhir dengan kegagalan, namun dari 10 itu ada 1 keberhasilan!

Menurut Maxwell, seorang pemimpin harus memiliki 4 kualitas yang membuat segalanya bisa menjadi kenyataan.

- mereka tahu apa yang mereka inginkan
Anda harus tahu apa yang anda inginkan. Itulah satu-satunya cara bagi anda untuk mengenali peluang yang datang dan mewujudkannya menjadi kenyataan
- mereka mendorong diri mereka sendiri untuk bertindak
Para pemimpin tidak membutuhkan orang untuk memotivasinya. Mereka tahu bahwa tanggung jawab mereka sendirilah untuk mendorong diri sendiri keluar dari wilayah kenyamanannya (comfort zone). Dan mereka membiasakan diri melakukannya. T Roosevelt, salah satu pemimpin besar abad ke-20 mengatakan, "Tidak ada yang brillian atau menonjol dalam rekor saya, kecuali mungkin satu hal: saya melakukan hal-hal yang saya percaya harus dilakukan ... Dan setelah mengambil keputusan untu melakukan sesuatu, sayapun bertindak".
- mereka lebih berani ambil resiko
Orang-orang proaktif selalu mengambil resiko. Namun salah satu alasan mengapa para pemimpin yang baik bersedia mengambil resiko ialah karena mereka sadar bahwa tidak mengambil inisiatif juga ada harganya. John F Kennedy menyatakan, "Setiap tindakan itu ada risiko dan harganya, namun jauh lebih kecil daripada risiko dan harga jangka panjang jika kita tidak mengambil tindakan apa-apa, walaupun terasa nyaman".
- mereka membuat lebih banyak kekeliruan
Pendiri IBM, Thomas J Watson mengatakan, "Cara meraih sukses adalah melipatgandakan tingkat kegagalan anda".

Jadi, apakah kita selalu mencari peluang, atau kita menunggu hingga peluang itu datang? Apakah kita bersedia mengambil langkah-langkah yang menurut naluri kita yang terbaik? Atau kita selalu berada dalam fase analisis? Kapankah terakhir kalinya kita menginisiatifkan sesuatu yang penting dalam hidup kita?

Ada beberapa tips yang bisa kita pakai untuk mengasah inisiatif kita:
- Ubahlah cara berfikir
Kita mungkin lupa bahwa inisiatif itu harus datang dari diri sendiri. Jadi kenapa kita ragu, takut risiko, memikirkan kegagalan di masa lalu, tidak bisa melihat peluang yang ada? Cari sumber hal-hal ini dan atasi. Perubahan harus dimulai dari diri sendiri.
- Jangan menunggu hingga peluang mengetok pintu
Inventarisasikanlah aset kita, kemampuan kita, dan sumber daya yang kita miliki. Kemudian luangkan waktu secara rutin untuk mencari peluang. Siapa yang mencari ketrampilan yang kita miliki? Kelompok apa yang mati-matian membutuhkan sesuatu yang bisa kita tawarkan?
- Ambil langkah berikutnya
Sia-sia semua yang anda lakukan kalau kita tidak melakukannya. Ambil peluang itu, lakukan, dan tindaklanjuti semampu kita. Dan jangan berhenti sampai kita bisa mewujudkannya menjadi kenyataan.

Tuesday, November 15, 2005

Setiap Habis Ramadhan

Lewat sudah bulan Ramadhan. Tiada terasa. Setelah hiruk pikuk Idul Fitri, akhirnya kita kembali ke ritme sehari-hari. Buat yang masuk kantor, sudah mulai ke kantor. Yang sekolah, mulai lagi buka-buka buku. Yang berdagang, mulai lagi membuka toko dan warungnya. Yang sibuk mengurus rumah tangga, kembali bebenah seusai kesibukan selama 1-2 bulan terakhir.

Namun ada yang hilang .... kesibukan kita mengejar ibadah. Sibuk mengejar target bacaan Al Qur'an. Sibuk menyiapkan diri menjelang saat-saat sholat. Suasana bergegas seusai berbuka puasa, yang diteruskan dengan sholat magrib, dan kemudian bersiap-siap untuk sholat Isya dan Tarawih. Malam-malam yang diisi dengan pendekatan diri padaNya, suasana letih dan ngantuk yang mewarnai saat sahur. Suasana siang di kantor, jam istirahat yang bisa digunakan untuk membaca ayat-ayatNya, untuk tafakur dan refleksi, hingga untuk beristirahat sejenak untuk kemudian kembali mengejar akhirat dan dunia ini.

Buat saya kesibukan ramadhan sungguh nikmat. Memang melelahkan, namun berbagai ritual yg kita lakukan mampu 'memabukkan' saya, merubah fokus kehidupan selama 11 bulan yg disibukkan oleh urusan duniawi.

Di bulan penuh rahmat ini saya bisa penuh berkonsentrasi, 'membuang' berbagai urusan yg lain, dan bersenang-senang dan bergembira dengan berbagai ibadah kepadaNya.

Di minggu terakhir ramadhan saya mendapat tugas keluar kota. Boleh dibilang kini saya sekarang menyesal mendapat tugas ini. Irama yg telah terbentuk, kenikmatan yg semakin memuncak, mendadak terganggu dan terputus ...

Namun kalau ditanya, apa mau seluruh tahun itu ramadhan. Wah, nggak tahu, mungkin badan nggak kuat. Tapi kalau diingat-ingat nikmatnya .... aduh enak banget ...


Setiap Habis Ramadhan
Bimbo

Setiap habis Ramadhan
Hamba rindu lagi Ramadhan
Saat - saat padat beribadah
Tak terhingga nilai mahalnya

Setiap habis Ramadhan
Hamba cemas kalau tak sampai
Umur hamba di tahun depan
Berilah hamba kesempatan

Setiap habis Ramadhan
Rindu hamba tak pernah menghilang
Mohon tambah umur setahun lagi
Berilah hamba kesempatan

Reff:
Alangkah nikmat ibadah bulan Ramadhan
Sekeluarga, sekampung, senegara
Kaum muslimin dan muslimat se dunia
Seluruhnya kumpul di persatukan
Dalam memohon ridho-Nya

Wednesday, November 02, 2005

Selamat hari raya idul fitri 1426H

Mohon maaf lahir dan batin.

Taqobbalallahu Minnaa Wa Minkum
Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan kalian.


Wassalam
Zuki