Thursday, June 23, 2005

Belajar Hingga Ajal

Zaim Uchrowi

Ibu sepuh itu mengacungkan tangannya. Ia telah 2 hari menginap di Cipanas, Puncak. Ia tidak ingin ketinggalan dari yang muda untuk mengikuti lokakarya. Ia tidak mau melewatkan setiap kesempatan, "Nama saya Siti Aminah ...," ucapnya memperkenalkan diri, sebelum mengajukan sebuah pertanyaan.

Tidak cukup di situ, begitu acara usai, ia mendatangi saya. Ia tanyakan berbagai hal. Berbagai pertanyaannya mengundang penasaran.

"Sekarang aktif di mana, Bu?"
"Saya hanya aktif di pengajian-pengajian. Tetapi sekarang saya menyusun skripsi."
"Skripsi?"
"Iya"
"Di mana, Bu?"
Di IAIN Jakarta."
"Usia Ibu berapa?"
"67 tahun."
"67 tahun? Menyusun skripsi?"
"Iya. Dulu kuliah saya terhenti karena harus mengurus anak-anak. Sekarang ank saya sudah selesai semua, juga dari paskasarjana."

Belum lenyap keterkesimaan saya, Bu Aminah bercerita tentang perjalanan skripsinya. Ia katakan telah mengajukan sebuah judul. Namun, pembimbingnya menyarankannya mengganti judul itu. "Katanya, materi yang dulu seperti ceramah. Jadi, harus saya rubah." Ada nuansa riang dari kata-katanya itu.

Lebih dari 15 tahun yang lalu saya tersentak ketika seorang teman senior Tuti Kakiailatoe, di usia 40-an, mengundurkan diri dari kerja. Ia ingin berkonsentrasi menyelesaikan S1-nya. Ia berhasil melakukannya. Sesudahnya, ia bahkan ke Amerika untuk menempuh program master hingga PhD. Ia tuntaskan semua itu, ketika usianya sudah 50-an.

Kini, "rekor" itu hendak dipecahkan oleh Bu Aminah. Ia akan menyelesaikan program S1 di saat usianya mendekati 70 tahun. Sebuah prestasi yang layak mendapatkan penghargaan "Pembelajar Sejati" dari negara.

Bayangkan bila semua orang seantusias Bu Aminah untuk terus belajar. Negeri dan bangsa ini tidak akan seporak-poranda sekarang. Negeri ini tentu sudah dapat bangkit kembali dari hantaman krisis, seperti Korea Selatan, atau setidaknya, seperti Thailand. Negeri ini tidak akan menjadi bulan-bulanan, baik oleh kepentingan politik asing, maupun oleh penjarah-penjarah lokal.

Rasul, secara sangat jelas, mengatakan bahwa mencari ilmu adalah "wajib" bagi setiap muslim, laki-laki maupun perempuan. Mencari ilmu adalah tuntutan. Sejak dari buaian ibu hingga masuk liang lahat. Tetapi, kata-kata Rasul itu berlalu begitu saja.

Banyak orang lebih sibuk mencari posisi. Posisi yang akan membuatnya dapat mengeruk harta lebih banyak lagi. Mungkin saja ia seorang intelektual, politikus, pejabat, atau pemimpin umat. Apakah dengan posisi terhormat itu masih harus menjadi "murid"?
Saya teringat almarhum Pak Makagiansar. Mantan pejabat penting lembaga dunia di bawah PBB itu acap menyebut diri sebagai "siswa". Ia tidak segan belajar dari orang lain, siapa pun, tentang apa pun. Ia telah melatih diri untuk menjadi "pendengar" yang baik, sebuah ketrampilan yang sangat dikuasai Muhammad sang Rasul. Bagi para pembelajar, seperti pak Max, panggilan akrab sosok itu, posisi dan harta sama sekali bukan tujuan. Keduanya hanya akibat logis. Yang lebih penting adalah kita terus belajar.

Seorang siswa SMU pun bertanya, "Dulu pemimpin kita, seperti Soekarno, Sjahrir, dan Hatta hebat-hebat ..., mengapa sekarang menurun?"

"Mungkin para pemimpin sekarang perlu belajar dari Bu Aminah agar tidak melulu sibuk mengumpulkan kekuasaan dan kekayaan," bisik saya di dalam hati.

No comments: