Ismail - Cafe deGromiest
Pagi itu Kang Bejo pergi ke sawah dengan wajah sumringah sambil senyam-senyum sendiri. Padahal, baru kemaren sore padinya porak-poranda oleh tiupan Gatotkaca alias angin puting beliung. Hujan lebat mengguyuri seluruh permukaan desa. Maklum, lagi musim penghujan. Aneh, kalau mengharapkan kemarau. Melawan takdir, apa?
Ketika berpapasan di depan kuburan, satu-satunya jalan menuju sawahnya, aku tak bisa menahan diri untuk bertanya.
“Sugeng enjing Kang. Dungaren kok pagi ini senyam-senyum terus.”
“Pagi, Cak Mangil. Kalau ndak senyum, musti gimana Cak.”
“Bukannya sawah sampeyan lagi rusak dan panen terancam gagal?”
“Lha yo wis terjadi, mau gimana lagi Cak. Awake dewe kan cuma petani. Kalau Kanjeng Gusti punya maksud lain, mau apa kita.”
Wah, batinku, hebat tenan Kang Bejo ini. Berhektar-hektar sawahnya rusak, tapi tetap tenang.
Memang, di desa kami, Kang Bejo ini terkenal sebagai petani yang paling rajin dan ndak banyak keinginan. Yang bikin hebat lagi, dia ndak stress ketika panennya gagal. Soalnya, aku denger di desa sebelah, Kaji Somad bunuh diri karena stress. Ikan gurame di 10 tambaknya pada mati, terkena arus bawah yang naik ke atas ketika hujan lebat kemaren. Katanya sih karena modalnya masih pinjeman dari bank. Mungkin stress ndak tahu gimana ngembaliinnya. Padahal perhitungannya sudah matang. Menjelang lebaran, kebutuhan terhadap ikan tinggi. Jika penen tahun ini sukses, dia akan untung besar. Hutang langsung lunas, bisa berangkat haji, dan masih ada sisa untuk modal. Namun hujan lebat itu telah menghancurkan segala impian dan rencannya.
“Apa ndak sedih sampeyan Kang?”
“Kalau mau dibawa sedih ya jadi sedih, kalau dibawa enak ya enak. Tinggal milih siapa yang membawa.”
Wah, makin ndak ngerti saya apa maksud Kang Bejo.
“Tinggal milih gimana, Kang? Ndak mudeng saya.”
“Gimana bisa mudeng, lha sampeyan kalau jalan selalu buru-buru. Seperti ngejar setoran.”
“Kan musti kerja keras Kang. Waktu musti dimanfaatin dengan sungguh-sungguh. Hari ini harus lebih baik dari hari kemaren. Bener tho, Kang?”
“Iya, bener. Kalau pingin ngerti, monggo, coba perhatikan dan rasakan embun pagi yang menyentuh wajahmu setiap berangkat ke sawah. Jangan sawahnya mulu yang dipikirin sepanjang jalan.”
Hebat, Kang Bejo mulai mengeluarkan ilmunya, nih..
“Terus, apa hubungannya?”
“Kebanyakan tanya sampeyan itu Cak, he.he.. Wis, pokoknya begitu. Rasain aja sendiri. Maaf ya, aku musti belok ke kanan, ke sawahku. Pingin ndengerin suara gemericik air. Assalamu’alaikum Cak Mangil.”
“Walaikum salam Kang Bejo,” jawabku sambil bingung di akhir percakapan pagi itu. Bukannya dia sedih tanamannya rusak, tapi malah pingin ndengerin air. Apa asyiknya?
Sesampainya aku di sawahku, kulihat tanaman padi yang kemaren masih rapi dan subur, kini sudah patah-patah, rusak ndak karuan. “Duh Gusti, kenapa sawahku juga kena? Mau makan apa anak istriku?” Aku lupa kalau baru saja ketemu Kang Bejo yang tenang itu. Yang ada di pikiranku hanyalah kegagalan dan kerugian di depan mata. Tubuhku lemes, ndak ada harapan. Aku memang petani baru di desa itu, dan baru kali ini mendapatkan kegagalan panen.
Esok paginya, aku berangkat lagi ke sawah. Tiba-tiba aku ingat pesan Kang Bejo, “Coba rasakan embun pagi yang menyentuh wajahmu…”
Sambil memanggul cangkul, sebelum menyusuri jalan, aku merasakan titik-titik kecil embun di wajahku. Aku pejamkan mata dan bernafas dalam-dalam. Kurasakan udara pagi yang sejuk menyentuh setiap permukaan lobang hidung, mengisi paru-paru, dan kurasakan dada mengembang. Kutahan sebentar, dan aaahh… Serasa lepas semua beban pikiran. Yang kurasakan hanya kesejukan di dada. Berulang-ulang kulakukan, sambil berjalan ke sawah.
Aha.. ini rupanya yang dimaksud Kang Bejo.. Selama ini aku terlalu berpusat pada kesadaran atas, kesadaran pikiran, kepada rencana-rencana. Aku menelusuri jalan yang sama setiap hari, tapi aku tidak pernah memperhatikan jalan-jalan itu. Aku memandang pohon-pohon, tetapi aku tidak malihatnya. Aku lupa dan tidak mempedulikan sama sekali kepada kesadaran bawah, kesadaran hati, kepada embun dan udara pagi yang sejuk mengisi dadaku. Aku lupa, tanpa embun, tidak ada pagi yang sejuk. Tanpa udara sejuk dan bersih, tidak ada kesegaran dalam diri di pagi hari. Aku tidak mendengar suara-suara burung di sepanjang jalan itu.
Kini, aku pun menikmati segala yang ada di depanku, merasakannya hingga ke dalam hati. Aku berbincang dengan embun-embun itu, menanyakan kabarnya semalam. Aku resapi suara burung di pohon-pohon pinggir jalan, kurasakan kerikil-kerikil kecil memijit-mijit kaki ku yang telanjang.
Kurasakan sebuah pelepasan.. pelepasan yang sangat mendalam. Pelepasan pikiran. Dan kurasakan hatiku pun semakin sejuk terisi. Dalam pelepasan, kurasakan pengisian. Dalam pelepasan kurasakan keindahan. Kurasakan surga setiap hari, baik dikala sukses maupun gagal.
Dan aku pun tersenyum, seperti Kang Bejo…
“Sugeng enjing Cak Mangil. Tumben senyam-senyum…” sapa Kang Bejo pagi itu.
No comments:
Post a Comment