Sebagai pemimpin, kita bertanggung jawab dalam banyak hal. Kelangsungan organisasi/perusahaan/rumah tangga atau apapun yang kita pimpin, keberhasilan mencapai sasaran yang dicanangkan, manajemen kita dalam mengelola keuangan maupun resource lainnya, pengelolaan sumber daya manusia dan banyak hal lainnya.
Kali ini saya mau coba belajar bahas soal pengelolaan sumber daya manusia. Sedikit aja ... maklum masih belajar ... ;-P
Dalam mengelola sumber daya manusia, sering kali kita 'terjebak' dan menganggap manusia itu seperti layaknya resource yang lain (uang, alat-alat, teknologi). Dengan pola pikir yang sama, manusia dikelompokkan menjadi sekelompok manusia, dibagi-bagi dan diarahkan mengerjakan suatu hal. Manusia-manusia itu menjadi 'sesuatu' yang sama dan mudah dikenali dengan si-A, si-B, si-C dan seterusnya. Jika si-A berhasil mengerjakan tugasnya, maka kita akan beri penghargaan dan seterusnya. Namun jika si-B gagal, seperti layaknya alat-alat/teknologi, maka si-B kita kesampingkan atau kita 'buang'. Setiap tahun si-si-si ini kita berikan tugas/goals, kita berikan job description. Untuk menunjang pekerjaannya, jika perlu si-si-si ini kita berikan pelatihan dan training. Di akhir tahun kita evaluasi, jika berhasil maka manusia tersebut itu mendapat reward dan jika tidak berhasil maka kita akan mulai 'mengelompokkannya' dalam kelompok 'sesuatu' yang gagal dan perlu dipertimbangkan tindakan lanjutan (seperti layaknya pasien yang masuk ICU ...).
Yang sering kita lupa ialah manusia adalah 'sesuatu' yang unik. Setiap manusia diciptakan dengan keunikan masing-masing. Diciptakan dengan sifat-sifat yang berbeda, penampakan fisik yang berbeda, ditempa oleh perjalanan hidup yang berlainan, akhirnya membentuk seseorang dengan keunikannya. Kita percaya bahwa Yang Maha Pencipta menciptakan segala sesuatu di muka bumi ini dengan tujuannya masing-masing. Demikian pula dengan manusia, masing-masing dari kita diciptakan dengan maksud dan tujuan yang berbeda.
Akibat keterlupaan ini, kita cenderung mengabaikan keunikan. Kita menerapkan standar yang sama bagi setiap orang dan mengharapkan setiap orang berperilaku sesuai standar yang kita berikan. Kita mengharapkan semua orang berperilaku seperti layaknya suatu robot, alat yang sudah memiliki standar. Jika seseorang tidak memenuhi standar yang kita tetapkan, artinya sederhana saja. Seperti layaknya suatu alat, artinya sudah saatnya diperbaiki (jika bisa), atau lebih sederhana diganti dan dibuang 'saja'.
Karena kita yakin akan standar kita, meluangkan waktu untuk mengenal orang lain, keunikannya, prinsip-prinsip hidupnya, maupun standar-standar yang dimilikinya, bagi kita mungkin buang-buang waktu saja. Kita lupa, (meminjam perumpamaan Aa Gym) layaknya sebuah bangunan, kita perlu batu bata, semen, pasir, batu kali, besi, kusen dan lain-lain. Kita tidak bisa membangun dengan hanya bermodalkan batu bata. Kita juga tidak akan bisa membangun bangunan yang kokoh jika kita tidak mengetahui persis kualitas pasir yang ada, batu bata yang kita pakai, maupun ketebalan besi yang kita baru saja beli.
Akibat dari 'keterlupaan' bisa saja menjadi fatal. Suatu organisasi bisa saja tidak stabil karena banyaknya arus keluar-masuk pegawainya. Kehangatan, semangat kerja, rasa memiliki, adalah hal lain yang juga mungkin akan hilang. Sebagaimana layaknya diperlakukan sebagai suatu robot/alat, sang manusia pun akan bekerja sesuai batas-batas yang dituntut. Ia tidak akan berusaha kreatif, melakukan inisiatif, ia tidak merasa ia 'bagian', ia tidak memiliki rasa memiliki dan seterusnya.
Hmm ... sekarang bagaimana kalau lihat tanggung jawab ini dari sisi lain?
Kita tahu negara ini sedang krisis moral. Salah satu penyebabnya ialah rendahnya tingkat pendidikan yang bukan sekedar 'pendidikan'. Kita tahu juga negara ini mengalami krisis teladan. Lalu bagaimana tanggung jawab kita sebagai pemimpin di sini?
Saya fikir salah satu tugas kita ialah dengan tidak mudah menyerah pada keadaan. Meminjam istilah di atas, mudah-mudahan kita tidak terlalu mudah untuk mengganti ataupun 'membuang'. Adalah tugas kita untuk melakukan seluruh cara yang kita ketahui - yang terutama dimulai dengan mengenal manusia, orang, si-A, si-B dan seterusnya itu - untuk memperbaiki keadaan. Jelas bahwa ini adalah tugas dan komitmen dua arah, dari kita maupun dari si-si-si itu. Namun sudah jelas, namanya juga pemimpin, inisiatif harus datang dari kita. Akan banyak konsekuensi yang harus kita pikul seperti tugas-tugas yang tertunda, proyek yang tidak memenuhi jadwal dan lain-lain. Namun jangan lupa pepatah,"Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang kemudian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian."
Adalah tanggung jawab kita untuk memimpin dan memberikan contoh bagaimana untuk belajar, belajar dari siapa saja, termasuk dari orang-orang yang kita pimpin. Adalah tanggung jawab kita untuk memimpin dan memberikan contoh bagaimana mengenal orang lain, mengetahui keunikannya, maupun standar-standar yang ia miliki. Adalah tanggung jawab kita untuk memikul segala konsekuensi dari seluruh proses pembelajaran ini. Percayalah, dengan berjalannya proses ini, orang-orang dan manusia-manusia yang kita pimpin akan jauh lebih bersemangat memikul segala konsekuensi ini .. karena mereka percaya, mereka tidak berjalan sendirian ... ada kita yang saling menemani dan menyemangati sepanjang perjalanan ... perjalanan pun akan tidak terasa berat karena kita tidak lagi bersama si-si-si, tapi bersama Abdul yang senang main bola, Rani yang suaranya bagus, Rahman yang senang olahraga, Susi yang anaknya kembar dan cantik-cantik dan seterusnya dan seterusnya.
Adalah tugas kita sebagai pemimpin, pemimpin kecil apalagi besar, untuk menyumbangkan sesuatu bagi negeri ini. Pimpin dan bimbing teman-teman kita agar mereka menjadi manusia-manusia yang berkualitas dan patut dicontoh. Berat? Seperti kata Maxwell tentang ciri-ciri pemimpin sejati, "Jadilah batu karang!"
Jadilah batu karang yang kokoh, tempat bersandar bagi orang-orang yang kita pimpin ...
Good luck para pemimpin!
No comments:
Post a Comment