Zaim Uchrowi
"Pernahkah hari-hari ini engkau ketemu orang yang tidak makan nasi?"
Saya menggeleng.
Berita kelaparan telah beberapa kali saya dengar. Foto anak-anak yang mencoba mengisap tetek ibunya yang telah kering menggelayut beberapa kali menyita perhatian saya. Juga mereka yang bersusah payah mencoba menelan bubur ransum bantuan lembaga-lembaga dunia. Atau yang terbaring sebagai kulit dan tulang dengan pandangan mata kosong. Sedangkan lalat berkerumun di sekitar bibirnya.
Potret-potret kelaparan dari Ethiopia dan belahan lain benua Afrika menyodok nurani kita di era 1980-an. Lalu dari Burundi dan Rwanda. Daerah-daerah yang sebagian kecil pemimpinnya 'sukses' memanipulasi masyarakat untuk mempertahankan permusuhan abadi.
Kisah kelaparan - di saat kita sering tak menghabiskan makanan di piring - itupun mendekat. Agustus dan September lalu tersiar kabar. Satu demi satu orang di Kabupaten Jayawijaya, Irian Jaya, mati lantaran kemarau. Angka itu terus merangkak naik hingga sekitar 330-an, atau bahkan lebih. Umumnya mereka adalah penduduk desa-desa di lembah terpencil pedalaman Irian.
"Tak semua mati karena kelaparan," demikian kabar yang tersiar. Sebagian meninggal lantaran penyakit. Wabah yang meluas akibat buruknya sanitasi air di musim kering lalu. Namun, sebagian yang lain, meninggal lantaran tidak makan. Sebuah cara mati yang saya tak membayangkan masih terjadi saat ini.
Begitu sering kita mendengar berita kelaparan. Sampai kita menganggap kematian demikian adalah hal biasa. Tidak istimewa. Tidak perlu dipersoalkan. Masih adanya orang yang tidak makan di sekitar kita bukan tragedi. Sama dengan kebakaran hutan, meruyaknya korupsi, atau bahkan kemerosotan rupiah.
Saya hampir hampir se-pekak dan sepayah itu pula. Berita kelaparan menjadi tak ubahnya berita pertandingan sepakbola. Atau berita pernikahan Tamara Blezinsky. Saya tak siap ketika Zainul - kawan kecil saya - bertanya:"Pernahkah hari-hari ini kau ketemu orang yang tak makan nasi?"
"Kalian orang-orang kota tak akan pernah ketemu mereka," kata peternak ayam itu. "Di desa-desa (Jawa sekalipun) masih sangat banyak."
Dituturkannya apa yang beberapa kali ia lakukan beberapa bulan terakhir. Dengan istri dan anak-anaknya ia acap berkeliling ke daerah-daerah tandus wilayah Selatan Jawa. Kijangnya ia penuhi dengan beras dan mie instant. Ia datang ke desa-desa dan bertanya" "Siapa yang paling kesulitan di desa itu?" Sedikit beras dan mie pun diulurkannya.
"Mereka cuma makan ketela dan sambal. Habis mau apa lagi. Pohon pisang - yang daunnya dapat dijual pula - mati karena kemarau." Saya pun teringat mereka yang sekarat di Irian (mudah-mudahan tidak ada lagi) karena ketela dan ubi pun tak ada. Saya teringat pada seorang kenalan (keluarga pegawai negeri) yang memindahkan milyaran uang pribadinya ke Singapura. Saya juga teringat pada diri saya sendiri yang ternyata belum berbuat apa-apa.
19 Desember 1997
No comments:
Post a Comment