Thursday, July 21, 2005

Jalan Raya - Eep Saefulloh Fatah

Tulisan ini diambil dari buku beliau berjudul Mencintai Indonesia dengan Amal: Refleksi atas Fase Awal Demokratisasi. Tulisan sangat menarik. Maaf kalau terlalu panjang ... worth to read lho ...

Jalan Raya

Di jalan raya kerap kali saya bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan remeh yang jawabannya terkadang tak seremeh yang saya bayangkan sebelumnya. Inilah salah satu contohnya.

Di ruas jalan raya Tanah Baru dan jalan Mohammad Kahfi II yang membentang dari Depok ke Jagakarsa, saya kerap bertemu dengan sejumlah pemuda yang mengacung-acungkan ember atau tempat lain, sambil menunjuk-nunjuk bopeng jalan yang telah mereka tutup seadanya dengan bongkaran batubata, tanah, atau batu. Mereka mengklaim diri sebagai pemberi jasa bagi pengguna jalan dengan menutup ala kadarnya ini. Dan mereka meminta kita, pemakai jalan, untuk menyisihkan seratus atau beberapa ratus rupiah untuk 'membayar' jasa mereka.

Saya terkadang tak memberi mereka uang. Atau, jika pun saya tergerak untuk memberinya, biasanya dalam keadaan seolah-olah terpaksa. Ada semacam ketidakikhlasan. Padahal, saya tahu bahwa anak-anak muda itu adalah bagian dari para penganggur ang hidupnya pasti semakin terpuruk akibat krisis ekonomi berkepanjangan. Mereka boleh jadi, meminjam istilah Karl Marx, adalah kaum lumpen proletariat, yakni kelas bawah yang tak punya pekerjaan, tak tertampung oleh lapangan kerja yang semakin terbatas, yang kualitas hidupnya lebih buruk dibandingkan kaum pekerja atau proletariat yang ditindas di pabrik-pabrik dan di lapangan kerja lainnya.

Dan bergelutlah saya dengan pertanyaan remah-remah seperti yang saya katakan di awal tulisan: Mengapa terasa berat memberi anak-anak muda itu uang sekedarnya? Mengapa saya - dan mungkin juga banyak orang lain - tidak ikhlas mengeluarkan sedikit uang untuk mereka yang berpanas-panas, kadangkala berhujan-hujan, di jalan hampir sepanjang siang itu?

Ternyata, kemungkinan-kemungkinan jawaban yang saya temukan tak seremeh-remeh yang saya bayangkan sebelumnya. Bisa jadi, sebagaimana banyak orang lain, saya tidak menemukan layanan jasa apa pun dari mereka. Saya atau kita tidak rela menyaksikan mereka berpura-pura telah bekerja untuk kami, padahal faktanya tidak. Ketidak-ikhlasan memberi mereka uang adalah refleksi dari sikap kita untuk semakin menolak kepura-puraan yang belakangan semakin marak di sekitar kita. Coba saja hitung, berapa banyak orang yang mengais uang di perempatan-perempatan jalan Jakarta dengan berpura-pura mengerjakan sesuatu: mengamen tanpa mengeluarkan suara, memetik gitar tanpa menimbulkan melodi yang paling sederhana pun, mengelap kaca kendaraan tanap membersihkan kaca itu, mengemis sementara badannya segar bugar penuh tenaga.

Saya sendiri punya kemungkinan jawaban lain. Saya amelihat mereka melakukan kesia-siaan yang nyata, dan saya tidak bersedia terlibat di dalamnya. Mereka mencontek cara penyelesaian masalah yang sia-sia yang dipertontonkan lama oleh elite-elite politik negeri ini, yakni mengatasi masalah secara simptomatik, permukaan, parsial, alias sepotong-potong dengan mengabaikan akar masalahnya. Mereka menutup lobang jalan dengan bongkahan batubata , tanah, dan batu, yang sebentar saja akan kembali tergerus ban mobil dan akhirnya membuka kembali. Setiap kali terjadi terus seperti itu, sambil bopeng-bopeng baru bertambah dari waktu ke waktu. Alangkah celakanya kita mesti ikut membayar - meski dalam jumlah kecil - pendekatan yang ujungnya jelas kesia-siaan itu.

Kemungkinan jawaban lain ternyata lebih serius. Perbaikan jalan adalah kewajiban pemerintah melalui Dep. PU. Saya, sebagaimana kita semua warga negara, telah ikut menanggung pembiayaan negara dengan beragam cara. Adalah Dep. PU yang mestinya bertanggung jawab dan dituntut untuk mengatasi bopeng-bopeng ini. Ketika ada anak-anak muda menutupi sementara bopeng-bopeng itu ala kadarnya, mereka sebetulnya mengaburkan mekanisme pertanggungjawaban yang semestinya dipikul pemerintah ke tangan rakyat. Anak-anak muda ini dan pengguna jalan raya adalah dua 'wakil' rakyat yang menjadi pemikul tanggung jawab itu. Saya tentu menolak mengambil posisi yang sangat keliru ini. Saya tidak bersedia menjadi bagian dari mafia diam-diam tanpa sadar untuk mengaburkan keharusan tanggung jawab pemerintah.

Begitulah, dari sekedar menemukan anak-anak muda yang mengacungkan ember kotor, saya dipaksa bergelut dengan soal remeh-remeh yang tatkala ditelusuri ternyata bisa sampai ke penjelasan yang tak remeh-remeh. Kadang kala, setelah bergelut dengan soal semacam ini, terbit kekhawatiran pada saya. Apakah jawaban-jawaban serius itu menunjukkan bahwa saya - bersama banyak orang lain - merupakan representasi publik kritis yang sedang tumbuh dalam masyarakat kita; ataukah itu justru menandaskan bahwa saya sebagaimana banyak orang lain sudah semakin tidak bisa berempati pada penderitaan orang lain.

7 comments:

Uyet said...

makasih dah mampir pak.. salam kenal kembali, welcome to the family yaa.. :)

jalan bopeng2, lebih parah lagi kalo musim hujan.. nambah banyak bopeng2nya :(

Lili said...

Jadi ingat kata mbak Nila.

Kalau di London kan ada tulisan "Jangan kasih uang kepada Pengemis".

Pasti pak Zuki pernah lihat kan?

Nah kalau di negara kita emang serba susah.

Sama pak, Ummi jg kadang2 ngasih, kadang2 enggak. Liat2 orangnya...duh dosa gak yah?

dinasony said...

bingung klo gak ngasih takutnya mereka memang benar2 perlu, tapi klo ngasih takut jadi kebiasaan.
pernah gak ngasih pengamen cilik, eh anakku protes "kenapa umi pelit kan kakak itu kasian", padahal saat itu ak sdang mengajarkan anakku menjadi orang yg mau berbagi, duh bingung euy...

wawa said...

Hi, artikelnya menarik.
Gua pingin nanya, waktu di kalimat terakhir, apa pak pengarang ingin menyindir kita? Maksud saya, apakah sebenernya pengarang ingin menerapkan reverse psychology? (sori, gua ga bermaksud sok kritis, dan melupakan makna utama ceritanya).
Kesannya, kita seperti dibawa ke suatu fakta2 yang terasa benar, tapi entah kenapa hati-nurani sedikit susah menerima (atau cuman gua saja?) dan pada akhirnya pembaca dikasih ending dengan pertanyaan yang selaras dengan hati-nurani - menurut gua sungguh menarik.

Gua ada sedikit tulisan yang ada hubungannya ama ini topik, tapi lagi engga sempet nyari, lain kali gua bagiin, siapa tahu bisa menambah perspekif mengenai topik ini.

Salam - Kabul

zuki said...

Bang Kabul, mungkin ini kembali ke perspektif masing-masing. Kalau saya sih rasanya sepaham betul dengan yang ditulis Eep.
Jadi ingat ada kata-kata mutiara (hadits?) kalau tangan kanan memberi tangan kiri tidak perlu tahu ...
Penafsiran saya di sini, kalau mau ngasih ya kasih aja, jangan mikir terlalu panjang. Cuma ya yang diurut oleh Eep logis dan itulah yang bermunculan di kepala saya ...
Thanks for comment!

wawa said...

Hi, Bang Zuki.
Gua udah ketemu tulisan gua yang kemarin gua ceritain, gua udah posting di blog-gua, gua kasih judul 'Minggu Sore - Tentang Pengemis.'
Mampir baca aja kalo lagi iseng. Itung-itung buat tambah perspektif tentang topik ini kali.
:P

Rahadian P. Paramita said...

Uhm... Siapa yang dukung Eep jadi Presiden? Saya mau dukung ah... :D Salam!