Sunday, July 03, 2005

Sembilan 'Dosa'

Zaim Uchrowi

Di laut celah Pulau Muna dan Buton saya punya waktu sedikit untuk merenung, "Ini tanggal 1 Muharram," kata saya pada diri sendiri. Ini saat untuk berhijrah.

Laut tidak selalu damai. Sesekali sekelompok ikan kecil melenting ke udara. "Itu pasti sedang dikejar ikan besar," kata seorang teman. Itu tak mengganggu saya membuat catatan. Sebuah catatan tentang 'dosa' yang pasti, pada kadar tertentu telah saya lakukan. Dosa yang besar kemungkinan juga diperbuat bangsa kita. Termasuk umat.

'Dosa-dosa' itu adalah:

Linear vs holistik
Kita acap berfikir dengan 'kacamata kuda'. Satu arah. Jika logika kita telah mengantar pada satu pandangan tertentu, dengan cepat kita menganggapnya sebagai kebenaran. Apalagi bila kita menemukan pendukung (berupa ayat atau teori) pandangan itu. Yang berbeda segera kita anggap salah. Filosofi Ibnu SIna mengajarkan agar menggunakan pendekatan banyak arah untuk mencari kebenaran. Mengapa kita suka filosofi 'kacamata kuda' Rene Descartes?

Berbicara vs berbuat
Kita acap merasa lega karena sukses berdiskusi. Apalagi bila orang mengangguk-angguk dan bertepuk tangan mendengar perkataan kita. Persoalannya, apa yang telah kita perbuat?

Masalah vs solusi
90 persen waktu kita gunakan untuk mencari-cari masalah. Kita gali soal-soal yang menunjukkan betapa korup pemerintah, betapa tidak becus para anggota DPR, betapa tidak tertib para supir angkot. Sungguh akan menakjubkan bila 90 persen waktu, tenaga, dan pikiran itu kita alokasikan untuk solusi.

Pesimis vs optimis
"Perlu waktu 25 tahun lagi untuk mengembalikan Indonesia ke jalur normal," kata kita. Percayalah Allah akan memenuhi pernyataan itu sebagaimana bila kita mengatakan "cukup 5 tahun untuk membangun negeri ini."

Berceramah vs mendengar
Muhammad Sang Rasul hampir tidak pernah berceramah. Khutbahnya pun tak lebih dari 10 menit. Ia lebih banyak mendengar dan mendengar. Kita?

Pihak lain vs diri sendiri
Sukses atau tidak suatu keadaan seolah ditentukan orang lain. Maka kita sibuk mengecam yang satu dan mendewakan yang lain. Kita lalu sibuk menuntut atau mengagungkan kiri-kanan. Kita lupa wasiat nabi. Ingin perubahan? "Mulai dari dirimu sendiri"

Rumit dan berbelit vs sederhana
Paul Sutmuller, staf ahli UNDP, berkata pada saya, "Orang suka berbelit-belit dan berpanjang-panjang karena ia ingin menutupi bahwa sebenarnya dirinya tak punya gagasan yang jelas."

Prasangka buruk vs prasangka baik
"Allah adalah sesuai persangkaan hambaNya" Saya memang agak terlambat untuk mulai berprasangka baik. Lebih baik terlambat 'kan daripada tidak sama sekali. Prasangka saya: hidup, insya Allah, bakal sukses dunia-akhirat, dan akan lebih banyak orang yang membantu ketimbang menyulitkan.

Resmi vs senyum
Bersungguh-sungguh, kata orang harus diekspresikan dengan mimik serius, kaku, dan resmi. Nabi lebih banyak tersenyum ketimbang berekspresi serius. Apakah Nabi tidak cukup bersungguh-sungguh?

Di jernih air pantai Buton, saya tersenyum pada sekelompok ikan yang sibuk menghindari seekor ikan layur. Senyum ini, mudah-mudahan menjadi awal hijrah saya menghapus sembilan 'dosa' ini di tahun baru ini.

No comments: