Kemarin sore saya mendapat undangan dari teman kantor untuk berkaraoke dan makan malam dalam rangka syukuran masa kerjanya. Oke lah, Jum'at malam, sekali-sekali ikut acara begini asyik juga ... juga ini adalah undangan yang sebaiknya diterima untuk kemaslahatan dunia dan akhirat ... :-P
Lokasi karaoke dan makan malam ini tidak jauh, hanya 5 menit berjalan kaki dari kantor, sepanjang salah satu jalan utama di Jakarta. Saya fikir ini kenikmatan sendiri. Berjalan santai di sore hari, hari Jum'at lagi. Membuang kepenatan bekerja seminggu dengan menyusuri jalan Jakarta, menikmati suasana lalu lintas, kesibukan orang naik turun bis, pedagang di halte bis, dan yang lainnya hingga 'nikmatnya' debu hutan belantara beton ini ...
Sewaktu saya belum jauh melangkah dari kantor, saya berpapasan dengan seorang bapak. Ia seorang penjual koran. Seperti lazimnya yang lainnya, ia memakai topi, badan kurus hitam, dan dengan baju sebagaimana layaknya seorang penjual koran. Koran-koran tidak ia bawa, namun ditaruh di atas semacam 'trolley' berukuran sekitar 50 x 50 cm dan ditarik dengan seutas tali. Yang membuat saya kaget ialah di atas tumpukan koran di atas trolley ada seorang anak berbaring. Dengan pengamatan sepintas (karena sambil lewat) anak itu tidak memiliki kaki (hanya sampai sebatas ujung paha) dan berbaring tertelungkup di atas koran itu. Mungkin anaknya, dan si bapak itu mungkin menaruh anaknya situ agar memudahkan geraknya.
Saya sempat terhenti dan tercenung. Apalagi seketika itu juga saya sadar kalau saya sedang menuju suatu tempat untuk bersenang-senang. Sempat bingung juga ... apa yang harus dilakukan? Terus melangkah, memanggil sang bapak, atau tidak dua-duanya dan langsung pulang saja ke rumah? Akhirnya saya putuskan untuk terus menelusuri keputusan saya sebelumnya, yakni memenuhi undangan syukuran ini.
Terus terang selama berkaraoke dan makan malam bayang-bayang ini hilang dari pemikiran saya. Alhamdulillah masih ingat waktu sholat dan tidak makan berlebihan sewaktu makan malam ... but that's it ...
Baru dalam perjalanan pulang pemandangan tadi kembali muncul ...
Kelihatannya kalau kita selalu membantu orang yang dalam kesulitan, apa bisa ya? Tapi lalu saya teringat Amien Rais. Dalam salah satu biografinya yang berjudul Memimpin dengan Nurani beliau digambarkan sebagai seorang yang tidak pernah menolak harapan orang yang meminta bantuannya.
Jelas kita terlalu jauh jika dibandingkan dengan sosok Amien Rais, namun setidaknya kita harus bisa meluangkan waktu, tenaga, dan harta kita untuk membantu sesama. Kita juga harus bisa ber-empati pada orang, mencoba 'mendudukkan' diri kita pada posisi dan memahami kesulitan-kesulitan yang ada.
Apa kita bisa? Harus bisa ... harus bisa ... ya harus bisa!
No comments:
Post a Comment