Akhirnya berita yang saya tunggu-tunggu keluar juga. Mungkin ini 'menjawab' topik di blog Dan, JaF, dan yang lainnya mengenai hal yang sama ... Oh ya berita dikutip dari DetikNews.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menegaskan sikapnya soal rencana kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS) dan pejabat negara tinggi negara. PKS mendukung kenaikan gaji PNS dan anggota TNI/Polri golongan rendah, tapi menolak kenaikan gaji pejabat.
Sikap ini merupakan hasil pembahasan sikap politik dalam Munas PKS yang sedang berlangsung di Hotel Atlet Century, Senayan, Jakarta, Senayan, Sabtu (30/7/2005). Hasil pembahasan sikap politis PKS ini disampaikan Ketua umum PKS Tifatul Sembiring.
PKS juga penyelesaian damai di Aceh dalam rangka NKRI. Namun PKS meminta kepada pemerintah untuk tetap memenuhi prosedur politik sebagaimana diatur dalam UU terkait hasil kesepakatan Helsinki, Finlandia.
Prosedur yang dimaksud adalah melakukan konsultasi dengan DPR untuk isu-isu sensitif yang memerlukan persetujuan DPR, yakni seputar pembentukan partai lokal di Aceh sebagaimana diusulkan oleh Gerakan Aceh Merdeka.
Sikap politik PKS lainnya adalah menilai perlunya dilakukan revisi dan peninjauan kritis terhadap UU dan pemerintah pemerintah yang mengatur kedudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan KPU Daerah. Sebab kedudukan KPU atau KPUD dalam UU membuka peluang terjadinya penyimpangan, baik dalam masalah keuangan atau penyelenggaraan pemilu.
PKS juga mendukung kerja keras KPK dan Timtas Tipikor. Namun ke depan usaha tersebut perlu ditingkatkan baik kualitas perkara, kecepatan penanganan, maupun kasusnya.
Kemudian PKS mendesak pemerintah memperhatikan tindak lanjut penanganan dampak kenaikan BBM, seperti penyaluran dana kompensasi BBM kepada masyarakat.
Aaah ... tempat 'berhenti' sejenak ntuk mikir-mikir mau dibawa kemana sih hidup ini ... :-)
Sunday, July 31, 2005
Kajian 31 Juli 2005
Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan. QS Al An'Aam 3.
Book Tag
Melanggar petuah mpu Dan, saya posting 1 artikel(??) di weekend ini. Dan, nggak papa ya? Lagi pula kaya'nya ini utang sama sama Dan ... :-)
Book tag, apakah tulisan ini book tag? Nggak tahu hehehe ... Kalau saya perhatiin kaya'nya kita disuruh nge-list buku-buku yang sedang kita baca, begitu ya? Ya mudah-mudahan benar lah ... kalo nggak tulung dikoreksi hehehe ...
Saat ini saya lagi baca beberapa buku secara paralel. Biasanya setiap kali selesai satu bab/topik yang menarik, saya berhenti untuk membuat ringkasannya (dan tentu 'memuatnya' di blog ini). Di satu sisi ini bagus karena saya jadi punya catatan yang bisa saya pakai di kemudian hari. Di sisi lain, kadang nggak sabar bacanya, kepingin ngebut hehehe ... anyway, buku-buku ini dalam urutan sembarang.
1. Harvard Business Review on Organizational Learning
2. The 21 Indispensable Qualities of A Leader - John C Maxwell
3. Mencintai Indonesia dengan Amal; Refleksi atas Fase Awal Demokratisasi - Eep Saefulloh
4. The 7 Habits of Highly Effective People - Stephen R Covey
5. Life is Beautiful - Arvan Pradiansyah
6. How to Become CEO - Jeffry J Fox
Masih ada 1-2 buku baru yang belum di baca. Belum lagi kalau ke toko buku mata jelalatan kian kemari. Tapi harus menahan diri, soalnya buku-buku di atas masih jauh dari selesai .. :-)
Sebagai selingan, saya suka baca yang berikut:
1. Komik Calvin dan Hobbes
2. Komik Far Side Gallery
3. Komik Lat
4. Komik Garfield
5. Komik Dilbert (yang ini langganan online juga)
6. Majalah ComputerWorld
7. Majalah CIO Magazine
8. Majalah eWeek
9. Majalah E&P dari Hart Energy
Sementara sebagai senjata pemungkas (hehehe), inilah bacaan saya:
1. Hidup ini
2. Al Qur'an
Hmmm ... mudah-mudahan tulisan ini memenuhi definisi book tag ... :-)
Book tag, apakah tulisan ini book tag? Nggak tahu hehehe ... Kalau saya perhatiin kaya'nya kita disuruh nge-list buku-buku yang sedang kita baca, begitu ya? Ya mudah-mudahan benar lah ... kalo nggak tulung dikoreksi hehehe ...
Saat ini saya lagi baca beberapa buku secara paralel. Biasanya setiap kali selesai satu bab/topik yang menarik, saya berhenti untuk membuat ringkasannya (dan tentu 'memuatnya' di blog ini). Di satu sisi ini bagus karena saya jadi punya catatan yang bisa saya pakai di kemudian hari. Di sisi lain, kadang nggak sabar bacanya, kepingin ngebut hehehe ... anyway, buku-buku ini dalam urutan sembarang.
1. Harvard Business Review on Organizational Learning
2. The 21 Indispensable Qualities of A Leader - John C Maxwell
3. Mencintai Indonesia dengan Amal; Refleksi atas Fase Awal Demokratisasi - Eep Saefulloh
4. The 7 Habits of Highly Effective People - Stephen R Covey
5. Life is Beautiful - Arvan Pradiansyah
6. How to Become CEO - Jeffry J Fox
Masih ada 1-2 buku baru yang belum di baca. Belum lagi kalau ke toko buku mata jelalatan kian kemari. Tapi harus menahan diri, soalnya buku-buku di atas masih jauh dari selesai .. :-)
Sebagai selingan, saya suka baca yang berikut:
1. Komik Calvin dan Hobbes
2. Komik Far Side Gallery
3. Komik Lat
4. Komik Garfield
5. Komik Dilbert (yang ini langganan online juga)
6. Majalah ComputerWorld
7. Majalah CIO Magazine
8. Majalah eWeek
9. Majalah E&P dari Hart Energy
Sementara sebagai senjata pemungkas (hehehe), inilah bacaan saya:
1. Hidup ini
2. Al Qur'an
Hmmm ... mudah-mudahan tulisan ini memenuhi definisi book tag ... :-)
Friday, July 29, 2005
Manajemen Stress
Dikutip dari salah satu milis ... mudah-mudahan bisa jadi pencerahan bagi yang sedang berjalan jauh menyusuri hidup ini ...
Bukan berat Beban yang membuat kita Stress, tetapi lamanya kita memikul beban tersebut. - Stephen Covey
Pada saat memberikan kuliah tentang Manajemen Stress, Stephen Covey mengangkat segelas air dan bertanya kepada para siswanya: "Seberapa berat menurut anda kira segelas air ini?" Para siswa menjawab mulai dari 200 gr sampai 500 gr.
"Ini bukanlah masalah berat absolutnya, tapi tergantung berapa lama anda memegangnya." kata Covey.
"Jika saya memegangnya selama 1 menit, tidak ada masalah. Jika saya memegangnya selama 1 jam, lengan kanan saya akan sakit. Dan jika saya memegangnya selama 1 hari penuh, mungkin anda harus memanggilkan ambulans untuk saya. Beratnya sebenarnya sama, tapi semakin lama saya memegangnya, maka bebannya akan semakin berat."
"Jika kita membawa beban kita terus menerus, lambat laun kita tidak akan mampu membawanya lagi. Beban itu akan meningkat beratnya." lanjut Covey. "Apa yang harus kita lakukan adalah meletakkan gelas tersebut, istirahat sejenak sebelum mengangkatnya lagi". Kita harus meninggalkan beban kita secara periodik, agar kita dapat lebih segar dan mampu membawanya lagi.
Jadi sebelum pulang ke rumah dari pekerjaan sore ini, tinggalkan beban pekerjaan. Jangan bawa pulang. Beban itu dapat diambil lagi besok. Apapun beban yang ada dipundak anda hari ini, coba tinggalkan sejenak jika bisa. Setelah beristirahat nanti dapat diambil lagi.
Hidup ini singkat, jadi cobalah menikmatinya dan memanfaatkannya...!! Hal terindah dan terbaik di dunia ini tak dapat dilihat, atau disentuh, tapi dapat dirasakan jauh di relung hati kita.
Start the day with smile and have a good day........
Bukan berat Beban yang membuat kita Stress, tetapi lamanya kita memikul beban tersebut. - Stephen Covey
Pada saat memberikan kuliah tentang Manajemen Stress, Stephen Covey mengangkat segelas air dan bertanya kepada para siswanya: "Seberapa berat menurut anda kira segelas air ini?" Para siswa menjawab mulai dari 200 gr sampai 500 gr.
"Ini bukanlah masalah berat absolutnya, tapi tergantung berapa lama anda memegangnya." kata Covey.
"Jika saya memegangnya selama 1 menit, tidak ada masalah. Jika saya memegangnya selama 1 jam, lengan kanan saya akan sakit. Dan jika saya memegangnya selama 1 hari penuh, mungkin anda harus memanggilkan ambulans untuk saya. Beratnya sebenarnya sama, tapi semakin lama saya memegangnya, maka bebannya akan semakin berat."
"Jika kita membawa beban kita terus menerus, lambat laun kita tidak akan mampu membawanya lagi. Beban itu akan meningkat beratnya." lanjut Covey. "Apa yang harus kita lakukan adalah meletakkan gelas tersebut, istirahat sejenak sebelum mengangkatnya lagi". Kita harus meninggalkan beban kita secara periodik, agar kita dapat lebih segar dan mampu membawanya lagi.
Jadi sebelum pulang ke rumah dari pekerjaan sore ini, tinggalkan beban pekerjaan. Jangan bawa pulang. Beban itu dapat diambil lagi besok. Apapun beban yang ada dipundak anda hari ini, coba tinggalkan sejenak jika bisa. Setelah beristirahat nanti dapat diambil lagi.
Hidup ini singkat, jadi cobalah menikmatinya dan memanfaatkannya...!! Hal terindah dan terbaik di dunia ini tak dapat dilihat, atau disentuh, tapi dapat dirasakan jauh di relung hati kita.
Start the day with smile and have a good day........
Thursday, July 28, 2005
Kualitas Pemimpin Sejati (bagian 7)
Tulisan ini berdasarkan buku karangan John C Maxwell, The 21 Indispensable Qualities of a Leader. Tiada maksud untuk menulis ulang buku ini (takut kena urusan copyright hehehe ...), tapi lebih berupa ringkasan berdasarkan pemahaman saya .. :-O
7. Pengertian: Tuntaskanlah misteri-misteri yang belum terselesaikan
Para pemimpin yang cerdik hanya mempercayai sebagian yang didengarnya. Para pemimpin yang memiliki pengertian mengetahui bagian mana yang harus dipercayainya - John C Maxwell.
Apa sih pengertian itu? Pengertian dapat digambarkan sebagai kemampuan untuk menemukan akar suatu persoalan, baik secara intuisi maupun nalar. Apa gunanya pengertian? Pengertian/pemahaman akan membantu dalam:
- Menemukan akar persoalan
Para pemimpin biasanya harus mengatasi berbagai kerumitan dan kekacauan di organisasi yang dipimpinnya setiap hari. Dalam hampir seluruh kasus, biasanya tidak seluruh informasi tersedia untuk mengatasi kesulitan ini. Periset Henry Mintzberg dari McGill University menyatakan, "Keefektifan organisasi bukan terletak pada konsep sempit yang disebut rasionalitas. Melainkan pada gabungan antara logika berpikir serta intuisi yang kuat."
Pengertian memungkinkan seorang pemimpin melihat sebagian gambaran situasi, melengkapinya secara intuitif, sehingga dapat menemukan akar persoalannya.
- Meningkatkan kemampuan mengatasi persoalan
Dengan bekerja di bidang yang menjadi kekuatan anda, anda akan lebih mudah mengembangkan intuisi anda untuk mengenal akar persoalan.
- Mengevaluasi pilihan-pilihan yang ada
Menurut Robert Heller, konsultan manajemen, "Jangan mengabaikan firasat, namun jangan juga percaya bahwa firasat itu cukup." Dengan menggunakan firasat dan kemampuan intelektual anda, anda dapat menemukan pilihan yang terbaik.
- Melipatgandakan kesempatan anda
Orang yang tidak memiliki pengertian jarang berada di tempat yang tepat pada saat yang tepat. Walaupun para pemimpin besar sering nampak beruntung, menurut Maxwell mereka menciptakan 'keberuntungan' ini berkat pengertian, kesediaan menggunakan pengalaman serta mengikuti naluri mereka.
Apakah anda seorang pemimpin yang berpengertian? Jika dihadapkan pada banyak persoalan yang rumit, dapatkah anda segera mengidentifikasi inti persoalannya? Dapatnya anda melihat akar masalah dari persoalan yang sulit tanpa harus mendapatkan semua informasinya dulu? Apakah anda percaya pada intuisi anda dan mengandalkannya sebanyak anda mengandalkan intelektual serta pengalaman anda?
So, bagaimana melatih pengertian kita?
- analisa sukses masa lalu. Bagaimana anda berhasil mengatasinya? Apa yang bisa dipelajari dari sukses itu?
- pelajari bagaimana orang lain berfikir. Bacalah biografi orang-orang besar yang sebidang dengan anda, pelajarilah cara berfikir mereka
- dengarkan firasat anda. Ingat-ingatlah ketika intuisi anda 'berbicara' dan ternyata benar. Apakah ada pola yang bisa anda pelajari?
7. Pengertian: Tuntaskanlah misteri-misteri yang belum terselesaikan
Para pemimpin yang cerdik hanya mempercayai sebagian yang didengarnya. Para pemimpin yang memiliki pengertian mengetahui bagian mana yang harus dipercayainya - John C Maxwell.
Apa sih pengertian itu? Pengertian dapat digambarkan sebagai kemampuan untuk menemukan akar suatu persoalan, baik secara intuisi maupun nalar. Apa gunanya pengertian? Pengertian/pemahaman akan membantu dalam:
- Menemukan akar persoalan
Para pemimpin biasanya harus mengatasi berbagai kerumitan dan kekacauan di organisasi yang dipimpinnya setiap hari. Dalam hampir seluruh kasus, biasanya tidak seluruh informasi tersedia untuk mengatasi kesulitan ini. Periset Henry Mintzberg dari McGill University menyatakan, "Keefektifan organisasi bukan terletak pada konsep sempit yang disebut rasionalitas. Melainkan pada gabungan antara logika berpikir serta intuisi yang kuat."
Pengertian memungkinkan seorang pemimpin melihat sebagian gambaran situasi, melengkapinya secara intuitif, sehingga dapat menemukan akar persoalannya.
- Meningkatkan kemampuan mengatasi persoalan
Dengan bekerja di bidang yang menjadi kekuatan anda, anda akan lebih mudah mengembangkan intuisi anda untuk mengenal akar persoalan.
- Mengevaluasi pilihan-pilihan yang ada
Menurut Robert Heller, konsultan manajemen, "Jangan mengabaikan firasat, namun jangan juga percaya bahwa firasat itu cukup." Dengan menggunakan firasat dan kemampuan intelektual anda, anda dapat menemukan pilihan yang terbaik.
- Melipatgandakan kesempatan anda
Orang yang tidak memiliki pengertian jarang berada di tempat yang tepat pada saat yang tepat. Walaupun para pemimpin besar sering nampak beruntung, menurut Maxwell mereka menciptakan 'keberuntungan' ini berkat pengertian, kesediaan menggunakan pengalaman serta mengikuti naluri mereka.
Apakah anda seorang pemimpin yang berpengertian? Jika dihadapkan pada banyak persoalan yang rumit, dapatkah anda segera mengidentifikasi inti persoalannya? Dapatnya anda melihat akar masalah dari persoalan yang sulit tanpa harus mendapatkan semua informasinya dulu? Apakah anda percaya pada intuisi anda dan mengandalkannya sebanyak anda mengandalkan intelektual serta pengalaman anda?
So, bagaimana melatih pengertian kita?
- analisa sukses masa lalu. Bagaimana anda berhasil mengatasinya? Apa yang bisa dipelajari dari sukses itu?
- pelajari bagaimana orang lain berfikir. Bacalah biografi orang-orang besar yang sebidang dengan anda, pelajarilah cara berfikir mereka
- dengarkan firasat anda. Ingat-ingatlah ketika intuisi anda 'berbicara' dan ternyata benar. Apakah ada pola yang bisa anda pelajari?
Kajian 28 Juli 2005
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. QS Al Maaidah 120.
Wednesday, July 27, 2005
Menurunkan tempo ...
Setelah mikir-mikir akhirnya saya putuskan untuk menurunkan tempo publikasi di blog ini .. :-). Kegiatan menulis tapi tetap berjalan, tapi saya turunkan masa publikasinya menjadi 1-2 buah per hari. Kenapa? Karena semakin lama saya semakin 'tenggelam' di sini ... repot, ntar lama-lama nggak kerja tapi kebanyakan melamun ... :-). Belum lagi si lost-in-thoughts yang harus saya urus juga.
Stay tune ya kawan-kawan sekalian ... :-D
Stay tune ya kawan-kawan sekalian ... :-D
Jaringan/Network expertise
Kalau kita biasa bermain-main di mailing-list, terutama milis teknis, kita tentunya tahu mengenal jaringan expertise ini. Mungkin penamaannya berbeda, namun pada intinya ialah sekumpulan orang-orang yang paham/ahli pada bidang tertentu. Misalnya bidang Linux. Orang-orang ini berkumpul bersama dengan orang-orang yang memiliki interest yang sama, Linux, dan membentuk mailing-list linux. Bukan itu saja, bisa saja sekumpulan orang ini kemudian melakukan 'temu darat', menerbitkan majalah, dan lain sebagainya ... tujuannya ialah berbagi ilmu dan pengetahuan.
Di dunia bisnis hal ini juga terjadi. Orang-orang dari berbagai cabang suatu perusahaan membentuk suatu jaringan untuk berbagi ilmu dan pengetahuan. Anggotanya bisa seluruhnya berasal dari perusahaan tersebut, namun bisa pula merupakan kombinasi internal dan eksternal.
Berdasarkan hasil penelitian Etienne C Wenger dan William M Snyder (hasil baca buku Harvard Business Review on Organizational Learning hehehe) yang dituangkan dalam makalah Communities of Practice: The Organizational Frontier, bentuk-bentuk seperti ini ternyata bisa memberikan hasil lebih dari berbagi ilmu dan pengetahuan. Menurut Wenger dan Snyder, kegiatan ini ternyata bisa men-drive strategi perusahaan, menimbulkan peluang baru bisnis, menyelesaikan masalah, mempromosikan best practices, mengembangkan kemampuan teknis pesertanya, hingga membantu perusahaan dalam perekrutan tenaga baru maupun dalam menjaga (retain) pegawai yang saat ini bekerja pada perusahaan tersebut.
Di perusahaan saat ini saya bekerja saja kita punya berbagai jaringan ekspertise. Mengenai drilling misalnya, mengenai IS, mengenai document management dan sebagainya.
Satu hal yang menarik menurut Wenger dan Snyder ialah belum banyak perusahaan yang menyadari pentingnya hal ini. Salah satu sebabnya ialah karena memang kegiatan ini tidak mudah dibentuk dan dipertahankan. Mengapa? Karena jaringan ini terbentuk keinginan para pesertanya sendiri, terlepas dari ada tidaknya dukungan manajemen perusahaan.
Sekarang bagaimana suatu perusahaan dapat memanfaatkan jaringan ini secara optimal? Seperti layaknya suatu tanaman, agar tumbuh subur dan menghasilkan buah, perlu dipupuk, diberi air, dan dijaga dari hama tanaman.
Wenger dan Snyder memberikan 3 langkah yang perlu dilakukan untuk mengembangkan jaringan ini, yaitu:
- Mengidentifikasi potensi dan kesulitan yang (akan) muncul
Manajemen harus membantu mengidentifikasi bidang-bidang mana yang kira-kira dapat dikembangkan, memiliki banyak peminat, dan dapat menyumbangkan sesuatu yang signifikan bagi perusahaan.
- Menyediakan infrastruktur yang diperlukan
Ini artinya diperlukan investasi waktu dan biaya untuk membangun dan menyingkirkan halangan yang mungkin muncul.
Perusahaan mungkin harus mengeluarkan biaya-biaya untuk pertemuan darat yang diperlukan di awal pembentukan komunitas ini. Perusahaan juga harus 'merelakan' salah seorang manajernya untuk berperan aktif di masa-masa awal pembentukan komunitas ini.
Cara lain misalnya ialah dengan menyediakan sponsor maupun support team. Tim ini berperan aktif dalam memfasilitasi kegiatan komunitas ini, misalnya dalam bentuk conference, perpustakaan, dan lain-lain.
Perusahaan juga harus memikirkan cara untuk memberikan penghargaan bagi peserta komunitas ini. Bentuknya bisa berupa finansial maupun non-finansial.
- Mengukur hasil (value) dari komunitas ini
Cara terbaik mengukur hasil komunitas ini ialah dengan dengan sistematis mencatat kesuksesan dari komunitas ini. Di beberapa perusahaan, hal ini dilakukan secara rutin. Hasilnya kemudian diumumkan di berbagai media internal.
Inti dari tulisan ini (serius banget yakh ...) ialah jaringan expertise dapat memberikan kontribusi yang besar bagi perusahaan. Namun untuk mendapatkan suatu jaringan expertise yang bisa memberikan kontribusi besar, diperlukan support yang kontinyu dari manajemen perusahaan.
Di dunia bisnis hal ini juga terjadi. Orang-orang dari berbagai cabang suatu perusahaan membentuk suatu jaringan untuk berbagi ilmu dan pengetahuan. Anggotanya bisa seluruhnya berasal dari perusahaan tersebut, namun bisa pula merupakan kombinasi internal dan eksternal.
Berdasarkan hasil penelitian Etienne C Wenger dan William M Snyder (hasil baca buku Harvard Business Review on Organizational Learning hehehe) yang dituangkan dalam makalah Communities of Practice: The Organizational Frontier, bentuk-bentuk seperti ini ternyata bisa memberikan hasil lebih dari berbagi ilmu dan pengetahuan. Menurut Wenger dan Snyder, kegiatan ini ternyata bisa men-drive strategi perusahaan, menimbulkan peluang baru bisnis, menyelesaikan masalah, mempromosikan best practices, mengembangkan kemampuan teknis pesertanya, hingga membantu perusahaan dalam perekrutan tenaga baru maupun dalam menjaga (retain) pegawai yang saat ini bekerja pada perusahaan tersebut.
Di perusahaan saat ini saya bekerja saja kita punya berbagai jaringan ekspertise. Mengenai drilling misalnya, mengenai IS, mengenai document management dan sebagainya.
Satu hal yang menarik menurut Wenger dan Snyder ialah belum banyak perusahaan yang menyadari pentingnya hal ini. Salah satu sebabnya ialah karena memang kegiatan ini tidak mudah dibentuk dan dipertahankan. Mengapa? Karena jaringan ini terbentuk keinginan para pesertanya sendiri, terlepas dari ada tidaknya dukungan manajemen perusahaan.
Sekarang bagaimana suatu perusahaan dapat memanfaatkan jaringan ini secara optimal? Seperti layaknya suatu tanaman, agar tumbuh subur dan menghasilkan buah, perlu dipupuk, diberi air, dan dijaga dari hama tanaman.
Wenger dan Snyder memberikan 3 langkah yang perlu dilakukan untuk mengembangkan jaringan ini, yaitu:
- Mengidentifikasi potensi dan kesulitan yang (akan) muncul
Manajemen harus membantu mengidentifikasi bidang-bidang mana yang kira-kira dapat dikembangkan, memiliki banyak peminat, dan dapat menyumbangkan sesuatu yang signifikan bagi perusahaan.
- Menyediakan infrastruktur yang diperlukan
Ini artinya diperlukan investasi waktu dan biaya untuk membangun dan menyingkirkan halangan yang mungkin muncul.
Perusahaan mungkin harus mengeluarkan biaya-biaya untuk pertemuan darat yang diperlukan di awal pembentukan komunitas ini. Perusahaan juga harus 'merelakan' salah seorang manajernya untuk berperan aktif di masa-masa awal pembentukan komunitas ini.
Cara lain misalnya ialah dengan menyediakan sponsor maupun support team. Tim ini berperan aktif dalam memfasilitasi kegiatan komunitas ini, misalnya dalam bentuk conference, perpustakaan, dan lain-lain.
Perusahaan juga harus memikirkan cara untuk memberikan penghargaan bagi peserta komunitas ini. Bentuknya bisa berupa finansial maupun non-finansial.
- Mengukur hasil (value) dari komunitas ini
Cara terbaik mengukur hasil komunitas ini ialah dengan dengan sistematis mencatat kesuksesan dari komunitas ini. Di beberapa perusahaan, hal ini dilakukan secara rutin. Hasilnya kemudian diumumkan di berbagai media internal.
Inti dari tulisan ini (serius banget yakh ...) ialah jaringan expertise dapat memberikan kontribusi yang besar bagi perusahaan. Namun untuk mendapatkan suatu jaringan expertise yang bisa memberikan kontribusi besar, diperlukan support yang kontinyu dari manajemen perusahaan.
Kajian 27 Juli 2005
Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dngan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertaqwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan. QS Al Maiidah 100.
Tuesday, July 26, 2005
Tips menjadikan perusahaan terburuk di bidang IT
Ya ... kemarin saya sudah posting cerita mengenai best places to work in IT. Kali ini ada tips-tips mgenai bagaimana kalau kita kepingin hal sebaliknya ... :-P. Dikutip dai tulisan Frank Hayes di ComputerWorld edisi 27 Juni 2005.
1. Sembunyikan informasi
Knowledge is power, so hide them as much as possible from your staff as you do not want them to have power.
2. Blame
Ya ... salahkan orang di setiap kesempatan. Kalau bisa di depan rekan-rekannya atau lebih baik lagi di depan customer.
3. Go slow
Terutama dalam pengambilan keputusan. Kalau kita terlalu cepat, ekspektasi akan bertambah. Siapa yang mau bekerja dalam tuntutan/pressure yang terus naik?
4. Distrust
Asumsikan para developer tidak mengerti pekerjaan mereka. Asumsikan project manager gagal dalam mengatur jadwal dan budget mereka. Asumsikan staff yang bekerja di daily operation tidak bisa menjaga situasi ...
5. Kurangi jarak pandang
Jangan biarkan staff IT melihat dunia bisnis dan sebaliknya. Jika staff IT sempat 'bersentuhan' dengan sistem, mereka mungkin akan mengusulkan cara memperbaiki sistem yang ada - artinya penambahan pekerjaan, budget, dan tenaga kerja.
6. Batasi kesempatan
Promosi? Teknologi baru? Pekerjaan yang menarik? Lupakan semua itu, lebih baik staff IT berkonsentrasi pada apa yang mereka kerjakan dari tahun ke tahun.
7. Larang argumen
Dunia ini sudah cukup rusuh dan berisik, jangan ditambah oleh argumen antara staff IT mengenai teknologi yang harus dipakai.
8. Tegakkan hukum dengan keras
Staff IT harus bekerja, bekerja, bekerja. Jangan melakukan hal lain. Mungkin saja mereka bisa menyembunyikan beberapa hal dari pandangan kita. Tapi disiplin harus ditegakkan. Kalau tidak berhubungan dengan pekerjaan, larang!
9. Hindari eksperimen
Dalam skala sekecil apa pun. Beresiko. Tidak pasti. Hindari saja.
10. Jangan mendengar
Jangan dengar staff anda, user anda, rekan anda. Hanya dengarkan bos anda.
Sounds familiar to you? Mudah-mudahan tidak. Tapi kalau ya, masih ada kesempatan untuk memperbaikinya .. :-)
1. Sembunyikan informasi
Knowledge is power, so hide them as much as possible from your staff as you do not want them to have power.
2. Blame
Ya ... salahkan orang di setiap kesempatan. Kalau bisa di depan rekan-rekannya atau lebih baik lagi di depan customer.
3. Go slow
Terutama dalam pengambilan keputusan. Kalau kita terlalu cepat, ekspektasi akan bertambah. Siapa yang mau bekerja dalam tuntutan/pressure yang terus naik?
4. Distrust
Asumsikan para developer tidak mengerti pekerjaan mereka. Asumsikan project manager gagal dalam mengatur jadwal dan budget mereka. Asumsikan staff yang bekerja di daily operation tidak bisa menjaga situasi ...
5. Kurangi jarak pandang
Jangan biarkan staff IT melihat dunia bisnis dan sebaliknya. Jika staff IT sempat 'bersentuhan' dengan sistem, mereka mungkin akan mengusulkan cara memperbaiki sistem yang ada - artinya penambahan pekerjaan, budget, dan tenaga kerja.
6. Batasi kesempatan
Promosi? Teknologi baru? Pekerjaan yang menarik? Lupakan semua itu, lebih baik staff IT berkonsentrasi pada apa yang mereka kerjakan dari tahun ke tahun.
7. Larang argumen
Dunia ini sudah cukup rusuh dan berisik, jangan ditambah oleh argumen antara staff IT mengenai teknologi yang harus dipakai.
8. Tegakkan hukum dengan keras
Staff IT harus bekerja, bekerja, bekerja. Jangan melakukan hal lain. Mungkin saja mereka bisa menyembunyikan beberapa hal dari pandangan kita. Tapi disiplin harus ditegakkan. Kalau tidak berhubungan dengan pekerjaan, larang!
9. Hindari eksperimen
Dalam skala sekecil apa pun. Beresiko. Tidak pasti. Hindari saja.
10. Jangan mendengar
Jangan dengar staff anda, user anda, rekan anda. Hanya dengarkan bos anda.
Sounds familiar to you? Mudah-mudahan tidak. Tapi kalau ya, masih ada kesempatan untuk memperbaikinya .. :-)
Kajian 26 Juli 2005
Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepadaNya. QS Al Maaidah 88.
Monday, July 25, 2005
Dimanakah derajat kedewasaan kita?
Balik ke buku 7 Habits Stephen Covey, beliau menulis mengenai proses pertumbuhan kita dari dependence/bergantung, kemudian ke tahap independence/berdiri sendiri hingga tahap interdependence/saling bergantung.
Orang yang berada pada tahap dependence bergantung pada orang lain untuk mendapatkan yang ia perlukan. Contoh paling mudah ya bayi.
Orang yang berada pada tahap independence dapat mendapatkan yang ia perlukan dengan usahanya sendiri. Misalnya kita pada saat telah hidup mapan. Secara fisik kita sehat, begitu juga mental, dan finansial (misalnya sudah bekerja tapi belum berkeluarga).
Sementara orang yang berada pada tahap interdependence ialah orang yang mampu menggabungkan usahanya dengan usaha orang lain untuk mendapatkan sukses besar secara bersama. Biasanya ini adalah orang-orang yang terlibat dalam usaha-usaha kerjasama di perusahaan, organisasi, dan seterusnya.
Ini menarik sekali. Kita mungkin tidak sadar kalau kita berada dalam salah satu fase kedewasaan ini. Beberapa tahun yang lalu saya tidak sadar kalau saya berada dalam tahap independence. Slogan saya saat itu adalah "Eagle flies alone". Wuiih ... udah merasa burung elang, pinginnya terbang sendiri pula. Kenapa merasa jadi burung elang? Karena saya merasa saya telah mampu mencukupi kebutuhan diri sendiri. Terus kok pinginnya terbang sendiri? Karena saya merasa saya tidak memerlukan bantuan orang lain, tidak merasa bahwa dengan bekerjasama dengan orang lain saya bisa mencapai sesuatu yang lebih.
Waktu itu ada rekan di kantor yang sempat bertanya, "Bang, kok mottonya gitu sih? Kalau saya mottonya 'burung pipit terbang bersama-sama' atau 'bersatu kita teguh bercerai kita runtuh (atau kawin lagi? kek kek kek)' ... kok egois banget sih?"
Waktu itu jawaban saya ya seperti di atas, saya tidak melihat pentingnya untuk bekerjasama. Ya pasti kalau mengerjakan proyek kita harus bersama-sama. Cuma kalau anda terbangnya terlalu lambat ... ya maaf aja, terpaksa saya tinggal. Anda cuma membebani saya saja ... begitulah kira-kira. Kejam sekali ...
Tapi dengan seiringnya waktu, saya mendapat tugas memimpin suatu tim. Di saat itu baru saya sadar kalau saya tidak bisa terbang sendirian. Lha kalau terbang sendirian ya jelas tugasnya gagal, wong tujuan utamanya ya memimpin tim tersebut .. :-). Akhirnya saya melambatkan 'terbang' saya dan mencoba terbang bersama, meski dengan konsekuensi (yang saya rasakan) bahwa kita semua terbang lebih lambat ketimbang ketika saya terbang sendirian.
Namun yang terjadi ialah saya mendapatkan pencerahan. Ternyata dengan 'terbang' bersama-sama ini banyak sekali hal-hal yang bisa kita capai. Hal-hal yang tidak bisa saya capai sendirian. Dengan terbang bersama-sama akhirnya kami mendapatkan suatu kecepatan yang ideal bagi setiap orang yang notabene nggak kalah jauh dibandingkan dengan terbang sendirian (ini omongan jadi soal terbang melulu .. he3x). Saya juga mendapatkan kenyamanan dan kenikmatan sebagai anggota keluarga terbang yang besar, suatu hal yang saya tidak dapatkan ketika terbang sendirian (bengong, sepi, merasa 'terbuang, sedih, dll ...). Satu hal lagi, ternyata dengan terbang bersama-sama, saya baru mengetahui bahwa setiap insan dalam kelompok terbang ini memiliki keunikan dan kelebihan sendiri-sendiri. Banyak sekali persoalan hidup yang selama ini saya tanggung sendiri, yang ternyata hampir semuanya bisa dipecahkan karena banyaknya tim expert di kelompok terbang ini!
Ya ... baru beberapa waktu saya sadar dan mengerti betapa nikmat dan indahnya berada dalam tahap interdependence. Motto saya kini berubah, sang elang sudah menghilang ditembaki oleh tentara. Lho ... kok tentara? Iya, soalnya motto sekarang mengutip punya tentara, "Leave no one behind ..."
Indah ya ... "Leave no one behind" ... ada suasana magis di dalamnya. Kekuatan perjuangan bersama-sama, tekad bulat untuk tidak meninggalkan seorang pun, baik dalam saat kesenangan maupun kesedihan ... yes! (tangan dikepalkan dan diacungkan dengan semangat!)
Bagaimana dengan anda? Banyak sekali yang kita bisa pelajari dari hidup ini, jika saja kita mau terus membuka mata hati kita ... :-)
Orang yang berada pada tahap dependence bergantung pada orang lain untuk mendapatkan yang ia perlukan. Contoh paling mudah ya bayi.
Orang yang berada pada tahap independence dapat mendapatkan yang ia perlukan dengan usahanya sendiri. Misalnya kita pada saat telah hidup mapan. Secara fisik kita sehat, begitu juga mental, dan finansial (misalnya sudah bekerja tapi belum berkeluarga).
Sementara orang yang berada pada tahap interdependence ialah orang yang mampu menggabungkan usahanya dengan usaha orang lain untuk mendapatkan sukses besar secara bersama. Biasanya ini adalah orang-orang yang terlibat dalam usaha-usaha kerjasama di perusahaan, organisasi, dan seterusnya.
Ini menarik sekali. Kita mungkin tidak sadar kalau kita berada dalam salah satu fase kedewasaan ini. Beberapa tahun yang lalu saya tidak sadar kalau saya berada dalam tahap independence. Slogan saya saat itu adalah "Eagle flies alone". Wuiih ... udah merasa burung elang, pinginnya terbang sendiri pula. Kenapa merasa jadi burung elang? Karena saya merasa saya telah mampu mencukupi kebutuhan diri sendiri. Terus kok pinginnya terbang sendiri? Karena saya merasa saya tidak memerlukan bantuan orang lain, tidak merasa bahwa dengan bekerjasama dengan orang lain saya bisa mencapai sesuatu yang lebih.
Waktu itu ada rekan di kantor yang sempat bertanya, "Bang, kok mottonya gitu sih? Kalau saya mottonya 'burung pipit terbang bersama-sama' atau 'bersatu kita teguh bercerai kita runtuh (atau kawin lagi? kek kek kek)' ... kok egois banget sih?"
Waktu itu jawaban saya ya seperti di atas, saya tidak melihat pentingnya untuk bekerjasama. Ya pasti kalau mengerjakan proyek kita harus bersama-sama. Cuma kalau anda terbangnya terlalu lambat ... ya maaf aja, terpaksa saya tinggal. Anda cuma membebani saya saja ... begitulah kira-kira. Kejam sekali ...
Tapi dengan seiringnya waktu, saya mendapat tugas memimpin suatu tim. Di saat itu baru saya sadar kalau saya tidak bisa terbang sendirian. Lha kalau terbang sendirian ya jelas tugasnya gagal, wong tujuan utamanya ya memimpin tim tersebut .. :-). Akhirnya saya melambatkan 'terbang' saya dan mencoba terbang bersama, meski dengan konsekuensi (yang saya rasakan) bahwa kita semua terbang lebih lambat ketimbang ketika saya terbang sendirian.
Namun yang terjadi ialah saya mendapatkan pencerahan. Ternyata dengan 'terbang' bersama-sama ini banyak sekali hal-hal yang bisa kita capai. Hal-hal yang tidak bisa saya capai sendirian. Dengan terbang bersama-sama akhirnya kami mendapatkan suatu kecepatan yang ideal bagi setiap orang yang notabene nggak kalah jauh dibandingkan dengan terbang sendirian (ini omongan jadi soal terbang melulu .. he3x). Saya juga mendapatkan kenyamanan dan kenikmatan sebagai anggota keluarga terbang yang besar, suatu hal yang saya tidak dapatkan ketika terbang sendirian (bengong, sepi, merasa 'terbuang, sedih, dll ...). Satu hal lagi, ternyata dengan terbang bersama-sama, saya baru mengetahui bahwa setiap insan dalam kelompok terbang ini memiliki keunikan dan kelebihan sendiri-sendiri. Banyak sekali persoalan hidup yang selama ini saya tanggung sendiri, yang ternyata hampir semuanya bisa dipecahkan karena banyaknya tim expert di kelompok terbang ini!
Ya ... baru beberapa waktu saya sadar dan mengerti betapa nikmat dan indahnya berada dalam tahap interdependence. Motto saya kini berubah, sang elang sudah menghilang ditembaki oleh tentara. Lho ... kok tentara? Iya, soalnya motto sekarang mengutip punya tentara, "Leave no one behind ..."
Indah ya ... "Leave no one behind" ... ada suasana magis di dalamnya. Kekuatan perjuangan bersama-sama, tekad bulat untuk tidak meninggalkan seorang pun, baik dalam saat kesenangan maupun kesedihan ... yes! (tangan dikepalkan dan diacungkan dengan semangat!)
Bagaimana dengan anda? Banyak sekali yang kita bisa pelajari dari hidup ini, jika saja kita mau terus membuka mata hati kita ... :-)
Best Places to Work in IT 2005
Good article from ComputerWorld. It is not all about money!
Best Places to Work in IT 2005
News Story by Mary Brandel
What's the secret to building a strong and satisfied IT workforce? More than money and benefits, it's the value of the work itself.
JUNE 27, 2005 (COMPUTERWORLD) - For the past two years, Bill McDonough has been a project lead on one of the most stressful projects he's ever worked on in his IT career. Formerly an IT consultant, he is now senior systems analyst at Publix Super Markets Inc., an $18.6 billion supermarket chain based in Lakeland, Fla., that is ranked No. 56 on Computerworld's 2005 list of the Best Places to Work.
The project -- still in its pilot phase -- involves replacing the point-of-sale (POS) systems in Publix's 852 grocery stores in Florida and four other Southern states. So far, five stores are live, with 120 more planned for completion by the end of the year. The remaining stores will go live by the end of 2006.
So why does McDonough sound so happy? "It's been one heck of a project -- high visibility, high stress, lots of hours but a ton of fun," he says. "Getting that point-of-sale system into the store has been a real achievement."
And McDonough isn't the only one feeling satisfied with his job. To work at one of this year's Best Places is to know the rewards of challenging projects, competitive salaries and career development. In fact, our survey of 20,435 IT workers at this year's Best Places showed higher satisfaction ratings than the 2004 Best Places employees reported in a variety of areas, including bonuses, morale, corporate culture and job security.
How to account for this increase in optimism? Certainly the economy has yet to hit its stride - although the job market is improving, growth is sluggish at best, with the jobless rate holding steady at 5.1%. And the offshoring trend continues unabated, with this year's Best Places respondents reporting an increase in their companies' use of offshore contractors, up from an average of 47 contractors last year to 69 today. Meanwhile, Forrester Research Inc. expects growth in IT spending to remain at 2004's 7% level.
But McDonough's satisfaction has very little to do with economic indicators. He says the answer may have something to do with living in Central Florida itself, as well as the stability of Publix, a 75-year-old, employee-owned organization where nearly a quarter of the IT staff has tenure of 10 years or more and where no one from IT was laid off during the downturn.
A bigger factor, though, is McDonough's experience of working on a meaningful project with a team of IT and business people who are fully vested in the project mission and what it takes to achieve a successful outcome. Despite the stress, he says, it's the best project he's ever worked on.
"There was great synergy between us," McDonough says. "Everyone was focused on solving problems, and everyone wanted to hit a home run."
Beyond the Basics
While IT workers are content with their compensation, it's becoming clear that monetary rewards alone won't catapult a company into the Best Places to Work elite. Of course, financial stability is important to IT workers, and there's good news on that front among the Best Places, where hiring, salaries and bonuses are expected to climb. Meanwhile, the percentage of Best Places that laid off IT employees in the previous year dropped, from 46% in the 2004 survey to 43% in the 2005 survey.
In fact, the looser job market probably played a role in the increased satisfaction levels, says Paul Glen, an IT management consultant in Los Angeles and author of Leading Geeks: How to Manage and Lead the People Who Deliver Technology. "For the past three or four years, people were not quitting their jobs because no one was hiring," says Glen, who's a Computerworld columnist. "I'm willing to bet people have been able to leave jobs they hate." In addition, he says, organizations seem to be starting new projects, affording IT people new opportunities.
But fair compensation just gets you in the game, Glen says. "I'm not sure satisfaction comes from the lowest levels of Maslow's hierarchy -- it's when you can forget about them that it's exciting," he says.
And that's what CIOs and rank-and-file employees at the Best Places like to emphasize: The satisfaction of doing meaningful work that clearly correlates with business goals is valued by management and business peers alike and is rewarded as such. Some even say that in an age when corporate loyalty is all but nonexistent, contributing value is the new job security.
"People have turned toward thinking that as long as they're part of a critical component of the organization that is having true bottom-line impact, that's something secure they can hold on to -- a benchmark they can see," says Jo Ann Boylan, chief technology officer at Ohio Savings Bank in Cleveland, which is ranked No. 33 on the list. "Everyone wants to know where they stand."
This will remain the case even as the economy heats up, says Chris Avery, a principal at Cutter Consortium in Arlington, Mass. "Although they want to be competitive, most companies are concentrating on creating engaged work environments to let [IT workers] feel like they're creating value, sharing responsibility and working in a community that's an enjoyable place to spend eight or 10 hours of the day," he says.
Visible Evidence of Value
So how do the companies on the Best Places to Work list foster this type of atmosphere? One way is to structure projects so that IT staffers have front-line visibility into the usefulness and importance of what they're building. "People love to see their technology get used," Glen says.
At Novartis Pharmaceuticals Corp. in East Hanover, N.J., which is No. 20 on the list, IT groups work directly with the various business units, as directed by a business information manager who focuses on the strategic issues of a particular unit. For example, when members of the IT group responsible for online marketing development see a TV commercial for Novartis' Take Action for Healthy BP program and a link to its Web site, "we get satisfaction that we contributed to making that happen," says Al DelloRusso, executive director of e-business professional services.
This type of connection doesn't just happen. At bimonthly meetings, the IT staff listens to the latest customer testimonials about Novartis' products. "The people in the audience really get that they're working for a health care company," says Rob James, CIO at Novartis.
At the University of Pennsylvania -- where projects are led by a joint team that includes a technology and a business project manager -- IT staffers are intimately intertwined with the functions of the university, be it the research department, the admissions department or student services, says Robin Beck, vice president of IS at Penn, which is ranked No. 8 on the list.
Penn makes sure the fruits of IT staffers' labor are visible by, for instance, creating a public record of how much money it saves by using the Web-based e-procurement system, developed in part by IT. "If you isolate IT people, they wonder, 'What am I doing here?' " Beck says. "But if they're working closely with their clients, they find a bond and see how what they're doing contributes to the organization."
At the California State Automobile Association in San Francisco, which is No. 54 on the list, the IT staff had a dramatic entree this year into how technology affects not only the lives of their business counterparts but also those of CSAA members.
The organization just completed redoing its membership system, moving from a 15-year-old system to one based on a new Web-based infrastructure. IT developed the system but also partnered with the training department to develop e-learning modules to enable everyone (including IT staffers) to understand how people in the call center and district offices would interact with members on the new system.
This intensive interaction grew out of CSAA's 3-year-old Vision & Values program, intended to bring about a cultural transformation at the organization, according to CIO Sally Grant. "It's aligned us and given us a charter," she says. "The IT organization is feeling more valued now than it ever has, at least in my time at CSAA."
Business and IT: Joined at the Hip
Visibility can happen only when IT comes out of isolation and works directly with business peers. During the POS project at Publix, two former store managers worked with McDonough's team full time, from requirements through final testing. This ensured that the system would meet store associates' needs, and it also made the managers completely sympathetic about what it took technology-wise to develop a bulletproof POS system, McDonough says.
At Partners Healthcare Systems Inc. in Boston, which is ranked No. 42, IT workers interact with all levels of the organization, from senior executives to medical directors and staffers in patient registration and the labs. "Teamwork is promoted here, and that allows you to learn the business and operations so you can put value on the work you do," says Lisa Adragna, a senior project manager and 20-year veteran at Partners. Adragna says she also enjoys Partners' leading-edge use of technology. "We get to work on stuff that folks across the nation haven't done yet," such as an enterprise master patient index, which Partners was among the first to develop, she says.
Seating IT workers with the people they support is a key part of the agile workforce that Cutter Consortium's Avery sees forward-thinking corporations trying to develop. In those companies, clients come "live" with the IT team to work together in real time, he says. But the fact is, successful teams can only be encouraged -- not forced. The key ingredient: allowing them to focus on important work.
And that's just what Ohio Savings Bank's Boylan plans to emphasize as she sees the job market in Cleveland heating up. "IT folks want to know they're not doing discretionary work, and that's been one of the biggest things we use when we're talking to job candidates," she says.
Meaningful Rewards
Just as work needs to be meaningful, so do the ways in which you reward the work. Best Places have a variety of rewards programs, ranging from glitzy ceremonies where employees are honored by the CEO to performance-related bonuses, team parties, handwritten thank-you notes and gift cards.
But peer recognition is perhaps even more meaningful. Employees at CSAA are encouraged to hand out nonmonetary awards to peers whom they see living out the organization's six defined core values, and through CSAA's Quick Hits program, they can give out a total of four $25 gift certificates to one another in a year.
And it helps to make it fun. In large group meetings at Novartis, IT staffers have watched colleagues and managers perform parodies of American Idol and The Apprentice, and sing karaoke "very badly," James reports.
Great Relationships
But just as you can't force good teamwork, you also can't force fun. As Glen says, if people are worried about job security, having Friday pizza parties is like planning a beer bash on Death Row to get people's spirits up.
At the same time, good relationships can make or break the quality of your corporate culture. The quality of office relationships is an important ingredient for employees at the Best Places, with 94.8% reporting that they have good relationships with co-workers.
At Penn, positive relationships are forged in part by the university's open communication environment, as well as its willingness to confirm the value of individual contributions through tangible action, according to Marion Campbell, an IT director there. For instance, when her group wanted to emphasize the importance of preparing end users for new technology, it coined the phrase "community readiness," which is now used on all projects.
Similarly, the IT staff at Novartis has adopted "open space" meetings to encourage a "speak-up" culture. The meetings are often shaped around a single question for employees to probe. The purpose, James says, is to "get the moose on the table," or in other words, put out a difficult issue for people to discuss without fear of repercussions.
Of course, the only way a company can be a "best place" is if IT staffers who work there perceive it that way. And that can happen only when there's a good fit between the employer and the employed. "It's like asking, 'What's the best country to live in?' " says Glen. "It's really a matter of who's managed to put together the best fit between the environment and the staff."
For instance, Beck lets job applicants know about Penn's flat, team-based setup. "I absolutely know you will not like Penn if you measure your career development linearly," she says.
The key is to be really good at choosing employees who will fit in.
For his part, McDonough says that although he might prefer to fish all day if he didn't need a paycheck, happiness comes from knowing he has completed a project that delivered what people really needed, without losing sleep at night. "I want to work at a stable company with a decent salary," he says, "where I can walk in with a smile on my face."
Brandel is a Computerworld contributing writer in Grand Rapids, Mich. Contact her at mary.brandel@comcast.net.
Best Places to Work in IT 2005
News Story by Mary Brandel
What's the secret to building a strong and satisfied IT workforce? More than money and benefits, it's the value of the work itself.
JUNE 27, 2005 (COMPUTERWORLD) - For the past two years, Bill McDonough has been a project lead on one of the most stressful projects he's ever worked on in his IT career. Formerly an IT consultant, he is now senior systems analyst at Publix Super Markets Inc., an $18.6 billion supermarket chain based in Lakeland, Fla., that is ranked No. 56 on Computerworld's 2005 list of the Best Places to Work.
The project -- still in its pilot phase -- involves replacing the point-of-sale (POS) systems in Publix's 852 grocery stores in Florida and four other Southern states. So far, five stores are live, with 120 more planned for completion by the end of the year. The remaining stores will go live by the end of 2006.
So why does McDonough sound so happy? "It's been one heck of a project -- high visibility, high stress, lots of hours but a ton of fun," he says. "Getting that point-of-sale system into the store has been a real achievement."
And McDonough isn't the only one feeling satisfied with his job. To work at one of this year's Best Places is to know the rewards of challenging projects, competitive salaries and career development. In fact, our survey of 20,435 IT workers at this year's Best Places showed higher satisfaction ratings than the 2004 Best Places employees reported in a variety of areas, including bonuses, morale, corporate culture and job security.
How to account for this increase in optimism? Certainly the economy has yet to hit its stride - although the job market is improving, growth is sluggish at best, with the jobless rate holding steady at 5.1%. And the offshoring trend continues unabated, with this year's Best Places respondents reporting an increase in their companies' use of offshore contractors, up from an average of 47 contractors last year to 69 today. Meanwhile, Forrester Research Inc. expects growth in IT spending to remain at 2004's 7% level.
But McDonough's satisfaction has very little to do with economic indicators. He says the answer may have something to do with living in Central Florida itself, as well as the stability of Publix, a 75-year-old, employee-owned organization where nearly a quarter of the IT staff has tenure of 10 years or more and where no one from IT was laid off during the downturn.
A bigger factor, though, is McDonough's experience of working on a meaningful project with a team of IT and business people who are fully vested in the project mission and what it takes to achieve a successful outcome. Despite the stress, he says, it's the best project he's ever worked on.
"There was great synergy between us," McDonough says. "Everyone was focused on solving problems, and everyone wanted to hit a home run."
Beyond the Basics
While IT workers are content with their compensation, it's becoming clear that monetary rewards alone won't catapult a company into the Best Places to Work elite. Of course, financial stability is important to IT workers, and there's good news on that front among the Best Places, where hiring, salaries and bonuses are expected to climb. Meanwhile, the percentage of Best Places that laid off IT employees in the previous year dropped, from 46% in the 2004 survey to 43% in the 2005 survey.
In fact, the looser job market probably played a role in the increased satisfaction levels, says Paul Glen, an IT management consultant in Los Angeles and author of Leading Geeks: How to Manage and Lead the People Who Deliver Technology. "For the past three or four years, people were not quitting their jobs because no one was hiring," says Glen, who's a Computerworld columnist. "I'm willing to bet people have been able to leave jobs they hate." In addition, he says, organizations seem to be starting new projects, affording IT people new opportunities.
But fair compensation just gets you in the game, Glen says. "I'm not sure satisfaction comes from the lowest levels of Maslow's hierarchy -- it's when you can forget about them that it's exciting," he says.
And that's what CIOs and rank-and-file employees at the Best Places like to emphasize: The satisfaction of doing meaningful work that clearly correlates with business goals is valued by management and business peers alike and is rewarded as such. Some even say that in an age when corporate loyalty is all but nonexistent, contributing value is the new job security.
"People have turned toward thinking that as long as they're part of a critical component of the organization that is having true bottom-line impact, that's something secure they can hold on to -- a benchmark they can see," says Jo Ann Boylan, chief technology officer at Ohio Savings Bank in Cleveland, which is ranked No. 33 on the list. "Everyone wants to know where they stand."
This will remain the case even as the economy heats up, says Chris Avery, a principal at Cutter Consortium in Arlington, Mass. "Although they want to be competitive, most companies are concentrating on creating engaged work environments to let [IT workers] feel like they're creating value, sharing responsibility and working in a community that's an enjoyable place to spend eight or 10 hours of the day," he says.
Visible Evidence of Value
So how do the companies on the Best Places to Work list foster this type of atmosphere? One way is to structure projects so that IT staffers have front-line visibility into the usefulness and importance of what they're building. "People love to see their technology get used," Glen says.
At Novartis Pharmaceuticals Corp. in East Hanover, N.J., which is No. 20 on the list, IT groups work directly with the various business units, as directed by a business information manager who focuses on the strategic issues of a particular unit. For example, when members of the IT group responsible for online marketing development see a TV commercial for Novartis' Take Action for Healthy BP program and a link to its Web site, "we get satisfaction that we contributed to making that happen," says Al DelloRusso, executive director of e-business professional services.
This type of connection doesn't just happen. At bimonthly meetings, the IT staff listens to the latest customer testimonials about Novartis' products. "The people in the audience really get that they're working for a health care company," says Rob James, CIO at Novartis.
At the University of Pennsylvania -- where projects are led by a joint team that includes a technology and a business project manager -- IT staffers are intimately intertwined with the functions of the university, be it the research department, the admissions department or student services, says Robin Beck, vice president of IS at Penn, which is ranked No. 8 on the list.
Penn makes sure the fruits of IT staffers' labor are visible by, for instance, creating a public record of how much money it saves by using the Web-based e-procurement system, developed in part by IT. "If you isolate IT people, they wonder, 'What am I doing here?' " Beck says. "But if they're working closely with their clients, they find a bond and see how what they're doing contributes to the organization."
At the California State Automobile Association in San Francisco, which is No. 54 on the list, the IT staff had a dramatic entree this year into how technology affects not only the lives of their business counterparts but also those of CSAA members.
The organization just completed redoing its membership system, moving from a 15-year-old system to one based on a new Web-based infrastructure. IT developed the system but also partnered with the training department to develop e-learning modules to enable everyone (including IT staffers) to understand how people in the call center and district offices would interact with members on the new system.
This intensive interaction grew out of CSAA's 3-year-old Vision & Values program, intended to bring about a cultural transformation at the organization, according to CIO Sally Grant. "It's aligned us and given us a charter," she says. "The IT organization is feeling more valued now than it ever has, at least in my time at CSAA."
Business and IT: Joined at the Hip
Visibility can happen only when IT comes out of isolation and works directly with business peers. During the POS project at Publix, two former store managers worked with McDonough's team full time, from requirements through final testing. This ensured that the system would meet store associates' needs, and it also made the managers completely sympathetic about what it took technology-wise to develop a bulletproof POS system, McDonough says.
At Partners Healthcare Systems Inc. in Boston, which is ranked No. 42, IT workers interact with all levels of the organization, from senior executives to medical directors and staffers in patient registration and the labs. "Teamwork is promoted here, and that allows you to learn the business and operations so you can put value on the work you do," says Lisa Adragna, a senior project manager and 20-year veteran at Partners. Adragna says she also enjoys Partners' leading-edge use of technology. "We get to work on stuff that folks across the nation haven't done yet," such as an enterprise master patient index, which Partners was among the first to develop, she says.
Seating IT workers with the people they support is a key part of the agile workforce that Cutter Consortium's Avery sees forward-thinking corporations trying to develop. In those companies, clients come "live" with the IT team to work together in real time, he says. But the fact is, successful teams can only be encouraged -- not forced. The key ingredient: allowing them to focus on important work.
And that's just what Ohio Savings Bank's Boylan plans to emphasize as she sees the job market in Cleveland heating up. "IT folks want to know they're not doing discretionary work, and that's been one of the biggest things we use when we're talking to job candidates," she says.
Meaningful Rewards
Just as work needs to be meaningful, so do the ways in which you reward the work. Best Places have a variety of rewards programs, ranging from glitzy ceremonies where employees are honored by the CEO to performance-related bonuses, team parties, handwritten thank-you notes and gift cards.
But peer recognition is perhaps even more meaningful. Employees at CSAA are encouraged to hand out nonmonetary awards to peers whom they see living out the organization's six defined core values, and through CSAA's Quick Hits program, they can give out a total of four $25 gift certificates to one another in a year.
And it helps to make it fun. In large group meetings at Novartis, IT staffers have watched colleagues and managers perform parodies of American Idol and The Apprentice, and sing karaoke "very badly," James reports.
Great Relationships
But just as you can't force good teamwork, you also can't force fun. As Glen says, if people are worried about job security, having Friday pizza parties is like planning a beer bash on Death Row to get people's spirits up.
At the same time, good relationships can make or break the quality of your corporate culture. The quality of office relationships is an important ingredient for employees at the Best Places, with 94.8% reporting that they have good relationships with co-workers.
At Penn, positive relationships are forged in part by the university's open communication environment, as well as its willingness to confirm the value of individual contributions through tangible action, according to Marion Campbell, an IT director there. For instance, when her group wanted to emphasize the importance of preparing end users for new technology, it coined the phrase "community readiness," which is now used on all projects.
Similarly, the IT staff at Novartis has adopted "open space" meetings to encourage a "speak-up" culture. The meetings are often shaped around a single question for employees to probe. The purpose, James says, is to "get the moose on the table," or in other words, put out a difficult issue for people to discuss without fear of repercussions.
Of course, the only way a company can be a "best place" is if IT staffers who work there perceive it that way. And that can happen only when there's a good fit between the employer and the employed. "It's like asking, 'What's the best country to live in?' " says Glen. "It's really a matter of who's managed to put together the best fit between the environment and the staff."
For instance, Beck lets job applicants know about Penn's flat, team-based setup. "I absolutely know you will not like Penn if you measure your career development linearly," she says.
The key is to be really good at choosing employees who will fit in.
For his part, McDonough says that although he might prefer to fish all day if he didn't need a paycheck, happiness comes from knowing he has completed a project that delivered what people really needed, without losing sleep at night. "I want to work at a stable company with a decent salary," he says, "where I can walk in with a smile on my face."
Brandel is a Computerworld contributing writer in Grand Rapids, Mich. Contact her at mary.brandel@comcast.net.
Kajian 25 Juli 2005
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. QS Al Maaidah 87.
Sunday, July 24, 2005
Hobi
Kemarin Dan nanyain koleksi buku saya. Hmm ... terus terang selama beberapa tahun terakhir saya 'berhenti' baca buku.
Waktu itu hobi ngoprek linux (waktu habis gentayangan di internet nyari manual, how-to, dan sejenisnya). Hobi ini berkelanjutan jadi ngoprek berbagai jenis aplikasi yang running sebagai server applications di Linux seperti web server, database, intranet, portal, document management dan segala macamnya. Maklum cukup dengan modal PC lama dan dengan download segala macam tanpa harus repot beli license atau nge-crack .. hidup Linux!
Habis itu pindah ngutak-ngutik PDA dan berbagai OSnya (masih inget nge-flash PDA yang pertama, linux based, sampe keringet dingin takut PDAnya berubah fungsinya jadi ganjal kertas atau pintu hehehe ...).
Terus pindah belajar memahami orang, baik diri sendiri maupun orang lain (tahu Gung Ho?). Yang ini masih jauh dari selesai, baru aja mulai ... :-)
Awal tahun ini, hobi saya nambah satu lagi, tepatnya kembali ke hobi lama. Dengerin musik. Ternyata dengerin musik ini memberikan saya peluang untuk duduk tenang di depan peralatan musik dan tidak ngoprek macem-macem. Naah sambil denger musik kan bisa baca-baca.
Lalu muncul si blog ini ... :-). Tersalurkan deh hobi baca buku ini ... cuma sekarang agak kelabakan. Ada beberapa buku (yang berat-berat) semua yang sedang saya baca secara paralel. Karena saya kepingin setiap kali mendapat sesuatu dari buku yang saya baca, saya tulis summarynya di blog, kegiatan membaca ini berjalan cukup lambat (relatif sih). Pergerakannya pelan karena setiap kali mendapat ide saya menginginkan ide menuangkannya di blog.
Sebagai alternatif buku, saya juga mulai membuka-buka majalah (yang notabene biasanya lebih 'ringan') seperti CIO Magazine dan ComputerWorld. Sering juga dapat ide dari sini ... :-)
So rekans, what is your hobbies? Share it plz ... :-D
Waktu itu hobi ngoprek linux (waktu habis gentayangan di internet nyari manual, how-to, dan sejenisnya). Hobi ini berkelanjutan jadi ngoprek berbagai jenis aplikasi yang running sebagai server applications di Linux seperti web server, database, intranet, portal, document management dan segala macamnya. Maklum cukup dengan modal PC lama dan dengan download segala macam tanpa harus repot beli license atau nge-crack .. hidup Linux!
Habis itu pindah ngutak-ngutik PDA dan berbagai OSnya (masih inget nge-flash PDA yang pertama, linux based, sampe keringet dingin takut PDAnya berubah fungsinya jadi ganjal kertas atau pintu hehehe ...).
Terus pindah belajar memahami orang, baik diri sendiri maupun orang lain (tahu Gung Ho?). Yang ini masih jauh dari selesai, baru aja mulai ... :-)
Awal tahun ini, hobi saya nambah satu lagi, tepatnya kembali ke hobi lama. Dengerin musik. Ternyata dengerin musik ini memberikan saya peluang untuk duduk tenang di depan peralatan musik dan tidak ngoprek macem-macem. Naah sambil denger musik kan bisa baca-baca.
Lalu muncul si blog ini ... :-). Tersalurkan deh hobi baca buku ini ... cuma sekarang agak kelabakan. Ada beberapa buku (yang berat-berat) semua yang sedang saya baca secara paralel. Karena saya kepingin setiap kali mendapat sesuatu dari buku yang saya baca, saya tulis summarynya di blog, kegiatan membaca ini berjalan cukup lambat (relatif sih). Pergerakannya pelan karena setiap kali mendapat ide saya menginginkan ide menuangkannya di blog.
Sebagai alternatif buku, saya juga mulai membuka-buka majalah (yang notabene biasanya lebih 'ringan') seperti CIO Magazine dan ComputerWorld. Sering juga dapat ide dari sini ... :-)
So rekans, what is your hobbies? Share it plz ... :-D
Blogging again ...
Mikir iseng nih ... kegiatan nge-blog, baca banyak buku, bikin summary, rewrite summary, looking for feedback and so on. Apalagi nambah harus translate ke Inggris, ini apa udah mirip-mirip kaya' ngambil Master Degree kali ya? :-P
Emang sih, nggak ada ujian dan belajarnya nggak terstruktur. Cuma dari jumlah buku yang saya baca rasanya agak-agak mirip sama orang yang lagi belajar untuk Master Degree hehehe ... and with 136 posting dalam 3 bulan, artinya 45 posting per bulan, atau rata-rata 10 posting per minggu. Banyak juga ya ....
Keep blogging lah ... keep reading lah ... :-)
Emang sih, nggak ada ujian dan belajarnya nggak terstruktur. Cuma dari jumlah buku yang saya baca rasanya agak-agak mirip sama orang yang lagi belajar untuk Master Degree hehehe ... and with 136 posting dalam 3 bulan, artinya 45 posting per bulan, atau rata-rata 10 posting per minggu. Banyak juga ya ....
Keep blogging lah ... keep reading lah ... :-)
Kajian 24 Juli 2005
Maka Allah memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya). QS Al Maaidah 85.
Saturday, July 23, 2005
Lamunan Sejenak Edisi Bahasa Inggris
Memenuhi saran beberapa teman sekaligus mencoba meluaskan 'pemasaran' lamunan saya (hehehe ...), saya putuskan membuat edisi Lamunan Sejenak dalam bahasa Inggris. Setelah nyari-nyari kata yang pas akhirnya blog baru ini berjudul Lost in Thoughts ... tenggelam dalam pemikiran ... :-P
Rencananya sih tidak akan men-translate semua artikel. Namun hanya berfokus pada artikel-artikel yang menurut saya menarik dan bermanfaat. Doa'akan ya biar bisa jalan, tetap semangat, dan konsisten ... :-)
Rencananya sih tidak akan men-translate semua artikel. Namun hanya berfokus pada artikel-artikel yang menurut saya menarik dan bermanfaat. Doa'akan ya biar bisa jalan, tetap semangat, dan konsisten ... :-)
Lagi soal miskin vs kaya
Kemarin sore saya mendapat undangan dari teman kantor untuk berkaraoke dan makan malam dalam rangka syukuran masa kerjanya. Oke lah, Jum'at malam, sekali-sekali ikut acara begini asyik juga ... juga ini adalah undangan yang sebaiknya diterima untuk kemaslahatan dunia dan akhirat ... :-P
Lokasi karaoke dan makan malam ini tidak jauh, hanya 5 menit berjalan kaki dari kantor, sepanjang salah satu jalan utama di Jakarta. Saya fikir ini kenikmatan sendiri. Berjalan santai di sore hari, hari Jum'at lagi. Membuang kepenatan bekerja seminggu dengan menyusuri jalan Jakarta, menikmati suasana lalu lintas, kesibukan orang naik turun bis, pedagang di halte bis, dan yang lainnya hingga 'nikmatnya' debu hutan belantara beton ini ...
Sewaktu saya belum jauh melangkah dari kantor, saya berpapasan dengan seorang bapak. Ia seorang penjual koran. Seperti lazimnya yang lainnya, ia memakai topi, badan kurus hitam, dan dengan baju sebagaimana layaknya seorang penjual koran. Koran-koran tidak ia bawa, namun ditaruh di atas semacam 'trolley' berukuran sekitar 50 x 50 cm dan ditarik dengan seutas tali. Yang membuat saya kaget ialah di atas tumpukan koran di atas trolley ada seorang anak berbaring. Dengan pengamatan sepintas (karena sambil lewat) anak itu tidak memiliki kaki (hanya sampai sebatas ujung paha) dan berbaring tertelungkup di atas koran itu. Mungkin anaknya, dan si bapak itu mungkin menaruh anaknya situ agar memudahkan geraknya.
Saya sempat terhenti dan tercenung. Apalagi seketika itu juga saya sadar kalau saya sedang menuju suatu tempat untuk bersenang-senang. Sempat bingung juga ... apa yang harus dilakukan? Terus melangkah, memanggil sang bapak, atau tidak dua-duanya dan langsung pulang saja ke rumah? Akhirnya saya putuskan untuk terus menelusuri keputusan saya sebelumnya, yakni memenuhi undangan syukuran ini.
Terus terang selama berkaraoke dan makan malam bayang-bayang ini hilang dari pemikiran saya. Alhamdulillah masih ingat waktu sholat dan tidak makan berlebihan sewaktu makan malam ... but that's it ...
Baru dalam perjalanan pulang pemandangan tadi kembali muncul ...
Kelihatannya kalau kita selalu membantu orang yang dalam kesulitan, apa bisa ya? Tapi lalu saya teringat Amien Rais. Dalam salah satu biografinya yang berjudul Memimpin dengan Nurani beliau digambarkan sebagai seorang yang tidak pernah menolak harapan orang yang meminta bantuannya.
Jelas kita terlalu jauh jika dibandingkan dengan sosok Amien Rais, namun setidaknya kita harus bisa meluangkan waktu, tenaga, dan harta kita untuk membantu sesama. Kita juga harus bisa ber-empati pada orang, mencoba 'mendudukkan' diri kita pada posisi dan memahami kesulitan-kesulitan yang ada.
Apa kita bisa? Harus bisa ... harus bisa ... ya harus bisa!
Lokasi karaoke dan makan malam ini tidak jauh, hanya 5 menit berjalan kaki dari kantor, sepanjang salah satu jalan utama di Jakarta. Saya fikir ini kenikmatan sendiri. Berjalan santai di sore hari, hari Jum'at lagi. Membuang kepenatan bekerja seminggu dengan menyusuri jalan Jakarta, menikmati suasana lalu lintas, kesibukan orang naik turun bis, pedagang di halte bis, dan yang lainnya hingga 'nikmatnya' debu hutan belantara beton ini ...
Sewaktu saya belum jauh melangkah dari kantor, saya berpapasan dengan seorang bapak. Ia seorang penjual koran. Seperti lazimnya yang lainnya, ia memakai topi, badan kurus hitam, dan dengan baju sebagaimana layaknya seorang penjual koran. Koran-koran tidak ia bawa, namun ditaruh di atas semacam 'trolley' berukuran sekitar 50 x 50 cm dan ditarik dengan seutas tali. Yang membuat saya kaget ialah di atas tumpukan koran di atas trolley ada seorang anak berbaring. Dengan pengamatan sepintas (karena sambil lewat) anak itu tidak memiliki kaki (hanya sampai sebatas ujung paha) dan berbaring tertelungkup di atas koran itu. Mungkin anaknya, dan si bapak itu mungkin menaruh anaknya situ agar memudahkan geraknya.
Saya sempat terhenti dan tercenung. Apalagi seketika itu juga saya sadar kalau saya sedang menuju suatu tempat untuk bersenang-senang. Sempat bingung juga ... apa yang harus dilakukan? Terus melangkah, memanggil sang bapak, atau tidak dua-duanya dan langsung pulang saja ke rumah? Akhirnya saya putuskan untuk terus menelusuri keputusan saya sebelumnya, yakni memenuhi undangan syukuran ini.
Terus terang selama berkaraoke dan makan malam bayang-bayang ini hilang dari pemikiran saya. Alhamdulillah masih ingat waktu sholat dan tidak makan berlebihan sewaktu makan malam ... but that's it ...
Baru dalam perjalanan pulang pemandangan tadi kembali muncul ...
Kelihatannya kalau kita selalu membantu orang yang dalam kesulitan, apa bisa ya? Tapi lalu saya teringat Amien Rais. Dalam salah satu biografinya yang berjudul Memimpin dengan Nurani beliau digambarkan sebagai seorang yang tidak pernah menolak harapan orang yang meminta bantuannya.
Jelas kita terlalu jauh jika dibandingkan dengan sosok Amien Rais, namun setidaknya kita harus bisa meluangkan waktu, tenaga, dan harta kita untuk membantu sesama. Kita juga harus bisa ber-empati pada orang, mencoba 'mendudukkan' diri kita pada posisi dan memahami kesulitan-kesulitan yang ada.
Apa kita bisa? Harus bisa ... harus bisa ... ya harus bisa!
Thursday, July 21, 2005
Jalan Raya - Eep Saefulloh Fatah
Tulisan ini diambil dari buku beliau berjudul Mencintai Indonesia dengan Amal: Refleksi atas Fase Awal Demokratisasi. Tulisan sangat menarik. Maaf kalau terlalu panjang ... worth to read lho ...
Jalan Raya
Di jalan raya kerap kali saya bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan remeh yang jawabannya terkadang tak seremeh yang saya bayangkan sebelumnya. Inilah salah satu contohnya.
Di ruas jalan raya Tanah Baru dan jalan Mohammad Kahfi II yang membentang dari Depok ke Jagakarsa, saya kerap bertemu dengan sejumlah pemuda yang mengacung-acungkan ember atau tempat lain, sambil menunjuk-nunjuk bopeng jalan yang telah mereka tutup seadanya dengan bongkaran batubata, tanah, atau batu. Mereka mengklaim diri sebagai pemberi jasa bagi pengguna jalan dengan menutup ala kadarnya ini. Dan mereka meminta kita, pemakai jalan, untuk menyisihkan seratus atau beberapa ratus rupiah untuk 'membayar' jasa mereka.
Saya terkadang tak memberi mereka uang. Atau, jika pun saya tergerak untuk memberinya, biasanya dalam keadaan seolah-olah terpaksa. Ada semacam ketidakikhlasan. Padahal, saya tahu bahwa anak-anak muda itu adalah bagian dari para penganggur ang hidupnya pasti semakin terpuruk akibat krisis ekonomi berkepanjangan. Mereka boleh jadi, meminjam istilah Karl Marx, adalah kaum lumpen proletariat, yakni kelas bawah yang tak punya pekerjaan, tak tertampung oleh lapangan kerja yang semakin terbatas, yang kualitas hidupnya lebih buruk dibandingkan kaum pekerja atau proletariat yang ditindas di pabrik-pabrik dan di lapangan kerja lainnya.
Dan bergelutlah saya dengan pertanyaan remah-remah seperti yang saya katakan di awal tulisan: Mengapa terasa berat memberi anak-anak muda itu uang sekedarnya? Mengapa saya - dan mungkin juga banyak orang lain - tidak ikhlas mengeluarkan sedikit uang untuk mereka yang berpanas-panas, kadangkala berhujan-hujan, di jalan hampir sepanjang siang itu?
Ternyata, kemungkinan-kemungkinan jawaban yang saya temukan tak seremeh-remeh yang saya bayangkan sebelumnya. Bisa jadi, sebagaimana banyak orang lain, saya tidak menemukan layanan jasa apa pun dari mereka. Saya atau kita tidak rela menyaksikan mereka berpura-pura telah bekerja untuk kami, padahal faktanya tidak. Ketidak-ikhlasan memberi mereka uang adalah refleksi dari sikap kita untuk semakin menolak kepura-puraan yang belakangan semakin marak di sekitar kita. Coba saja hitung, berapa banyak orang yang mengais uang di perempatan-perempatan jalan Jakarta dengan berpura-pura mengerjakan sesuatu: mengamen tanpa mengeluarkan suara, memetik gitar tanpa menimbulkan melodi yang paling sederhana pun, mengelap kaca kendaraan tanap membersihkan kaca itu, mengemis sementara badannya segar bugar penuh tenaga.
Saya sendiri punya kemungkinan jawaban lain. Saya amelihat mereka melakukan kesia-siaan yang nyata, dan saya tidak bersedia terlibat di dalamnya. Mereka mencontek cara penyelesaian masalah yang sia-sia yang dipertontonkan lama oleh elite-elite politik negeri ini, yakni mengatasi masalah secara simptomatik, permukaan, parsial, alias sepotong-potong dengan mengabaikan akar masalahnya. Mereka menutup lobang jalan dengan bongkahan batubata , tanah, dan batu, yang sebentar saja akan kembali tergerus ban mobil dan akhirnya membuka kembali. Setiap kali terjadi terus seperti itu, sambil bopeng-bopeng baru bertambah dari waktu ke waktu. Alangkah celakanya kita mesti ikut membayar - meski dalam jumlah kecil - pendekatan yang ujungnya jelas kesia-siaan itu.
Kemungkinan jawaban lain ternyata lebih serius. Perbaikan jalan adalah kewajiban pemerintah melalui Dep. PU. Saya, sebagaimana kita semua warga negara, telah ikut menanggung pembiayaan negara dengan beragam cara. Adalah Dep. PU yang mestinya bertanggung jawab dan dituntut untuk mengatasi bopeng-bopeng ini. Ketika ada anak-anak muda menutupi sementara bopeng-bopeng itu ala kadarnya, mereka sebetulnya mengaburkan mekanisme pertanggungjawaban yang semestinya dipikul pemerintah ke tangan rakyat. Anak-anak muda ini dan pengguna jalan raya adalah dua 'wakil' rakyat yang menjadi pemikul tanggung jawab itu. Saya tentu menolak mengambil posisi yang sangat keliru ini. Saya tidak bersedia menjadi bagian dari mafia diam-diam tanpa sadar untuk mengaburkan keharusan tanggung jawab pemerintah.
Begitulah, dari sekedar menemukan anak-anak muda yang mengacungkan ember kotor, saya dipaksa bergelut dengan soal remeh-remeh yang tatkala ditelusuri ternyata bisa sampai ke penjelasan yang tak remeh-remeh. Kadang kala, setelah bergelut dengan soal semacam ini, terbit kekhawatiran pada saya. Apakah jawaban-jawaban serius itu menunjukkan bahwa saya - bersama banyak orang lain - merupakan representasi publik kritis yang sedang tumbuh dalam masyarakat kita; ataukah itu justru menandaskan bahwa saya sebagaimana banyak orang lain sudah semakin tidak bisa berempati pada penderitaan orang lain.
Jalan Raya
Di jalan raya kerap kali saya bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan remeh yang jawabannya terkadang tak seremeh yang saya bayangkan sebelumnya. Inilah salah satu contohnya.
Di ruas jalan raya Tanah Baru dan jalan Mohammad Kahfi II yang membentang dari Depok ke Jagakarsa, saya kerap bertemu dengan sejumlah pemuda yang mengacung-acungkan ember atau tempat lain, sambil menunjuk-nunjuk bopeng jalan yang telah mereka tutup seadanya dengan bongkaran batubata, tanah, atau batu. Mereka mengklaim diri sebagai pemberi jasa bagi pengguna jalan dengan menutup ala kadarnya ini. Dan mereka meminta kita, pemakai jalan, untuk menyisihkan seratus atau beberapa ratus rupiah untuk 'membayar' jasa mereka.
Saya terkadang tak memberi mereka uang. Atau, jika pun saya tergerak untuk memberinya, biasanya dalam keadaan seolah-olah terpaksa. Ada semacam ketidakikhlasan. Padahal, saya tahu bahwa anak-anak muda itu adalah bagian dari para penganggur ang hidupnya pasti semakin terpuruk akibat krisis ekonomi berkepanjangan. Mereka boleh jadi, meminjam istilah Karl Marx, adalah kaum lumpen proletariat, yakni kelas bawah yang tak punya pekerjaan, tak tertampung oleh lapangan kerja yang semakin terbatas, yang kualitas hidupnya lebih buruk dibandingkan kaum pekerja atau proletariat yang ditindas di pabrik-pabrik dan di lapangan kerja lainnya.
Dan bergelutlah saya dengan pertanyaan remah-remah seperti yang saya katakan di awal tulisan: Mengapa terasa berat memberi anak-anak muda itu uang sekedarnya? Mengapa saya - dan mungkin juga banyak orang lain - tidak ikhlas mengeluarkan sedikit uang untuk mereka yang berpanas-panas, kadangkala berhujan-hujan, di jalan hampir sepanjang siang itu?
Ternyata, kemungkinan-kemungkinan jawaban yang saya temukan tak seremeh-remeh yang saya bayangkan sebelumnya. Bisa jadi, sebagaimana banyak orang lain, saya tidak menemukan layanan jasa apa pun dari mereka. Saya atau kita tidak rela menyaksikan mereka berpura-pura telah bekerja untuk kami, padahal faktanya tidak. Ketidak-ikhlasan memberi mereka uang adalah refleksi dari sikap kita untuk semakin menolak kepura-puraan yang belakangan semakin marak di sekitar kita. Coba saja hitung, berapa banyak orang yang mengais uang di perempatan-perempatan jalan Jakarta dengan berpura-pura mengerjakan sesuatu: mengamen tanpa mengeluarkan suara, memetik gitar tanpa menimbulkan melodi yang paling sederhana pun, mengelap kaca kendaraan tanap membersihkan kaca itu, mengemis sementara badannya segar bugar penuh tenaga.
Saya sendiri punya kemungkinan jawaban lain. Saya amelihat mereka melakukan kesia-siaan yang nyata, dan saya tidak bersedia terlibat di dalamnya. Mereka mencontek cara penyelesaian masalah yang sia-sia yang dipertontonkan lama oleh elite-elite politik negeri ini, yakni mengatasi masalah secara simptomatik, permukaan, parsial, alias sepotong-potong dengan mengabaikan akar masalahnya. Mereka menutup lobang jalan dengan bongkahan batubata , tanah, dan batu, yang sebentar saja akan kembali tergerus ban mobil dan akhirnya membuka kembali. Setiap kali terjadi terus seperti itu, sambil bopeng-bopeng baru bertambah dari waktu ke waktu. Alangkah celakanya kita mesti ikut membayar - meski dalam jumlah kecil - pendekatan yang ujungnya jelas kesia-siaan itu.
Kemungkinan jawaban lain ternyata lebih serius. Perbaikan jalan adalah kewajiban pemerintah melalui Dep. PU. Saya, sebagaimana kita semua warga negara, telah ikut menanggung pembiayaan negara dengan beragam cara. Adalah Dep. PU yang mestinya bertanggung jawab dan dituntut untuk mengatasi bopeng-bopeng ini. Ketika ada anak-anak muda menutupi sementara bopeng-bopeng itu ala kadarnya, mereka sebetulnya mengaburkan mekanisme pertanggungjawaban yang semestinya dipikul pemerintah ke tangan rakyat. Anak-anak muda ini dan pengguna jalan raya adalah dua 'wakil' rakyat yang menjadi pemikul tanggung jawab itu. Saya tentu menolak mengambil posisi yang sangat keliru ini. Saya tidak bersedia menjadi bagian dari mafia diam-diam tanpa sadar untuk mengaburkan keharusan tanggung jawab pemerintah.
Begitulah, dari sekedar menemukan anak-anak muda yang mengacungkan ember kotor, saya dipaksa bergelut dengan soal remeh-remeh yang tatkala ditelusuri ternyata bisa sampai ke penjelasan yang tak remeh-remeh. Kadang kala, setelah bergelut dengan soal semacam ini, terbit kekhawatiran pada saya. Apakah jawaban-jawaban serius itu menunjukkan bahwa saya - bersama banyak orang lain - merupakan representasi publik kritis yang sedang tumbuh dalam masyarakat kita; ataukah itu justru menandaskan bahwa saya sebagaimana banyak orang lain sudah semakin tidak bisa berempati pada penderitaan orang lain.
Situs komik Indonesia
Karena penasaran dengan komentar rekan Sendja (puisi-puisinya asyik lho!) saya nge-google Gundala dan Hasmi. Eh langsung ketemu situs Komik Indonesia. Boleh juga ... bisa pesan komik Gundala juga! Tokonya juga ada di Mall ITC Kuningan.
Hmm ... musti ke sana nih ... :-)
Hmm ... musti ke sana nih ... :-)
Kajian 21 Juli 2005
Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepadaNya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. QS Al Maaidah 74.
Wednesday, July 20, 2005
Lagi ... gantung diri karena masalah kemiskinan
Trenyuh betul baca berita ini. Apa ya yang bisa kita lakukan? Mungkin kita sudah melakukan banyak hal. Mungkin usaha kita sudah maksimal sesuai dengan kemampuan kita. Tapi kenapa ini masih saja terjadi? Apa memang segala sesuatunya perlu waktu?
Atau kita sudah banyak berusaha tapi kurang banyak berdo'a dan menyerahkan hasilnya kepada Yang Maha Kuasa?
Atau kita sudah banyak berusaha tapi kurang banyak berdo'a dan menyerahkan hasilnya kepada Yang Maha Kuasa?
Oom Pasikom Kompas 20 Juli 2005
Karikatur Oom Pasikom hari ini benar-benar membuat saya miris ... (sedih teriris-iris?)
Dalam karikatur ini pada adegan pertama digambarkan Oom Pasikom dengan pakaian rapinya melewati seorang anak. Ia tercengang melihat anak itu. Kenapa? Karena anak itu, berbaju biasa, menyanyi dengan alat krencengan (apa sih namanya, rebana?), "Aku miskin karena judi ... aku judi karena miskin ..."
Sedih membacanya. Banyak orang terjebak menjadi miskin karena berjudi. Namun yang lebih parah lagi banyak orang yang berjudi karena dia miskin. Ia tak memiliki wawasan, cara berfikir yang jernih. Yang terlihat sepanjang mata fisik dan mata hati memandang hanyalah potret kemiskinan yang dipenuhi orang-orang yang berjudi karena mengharapkan 'keajaiban' terjadi dan mendadak merubah hidup mereka. Ini mungkin sebabnya kenapa judi togel dan sebagainya tetap laku di kalangan bawah masyarakat ... mereka miskin karena berjudi .. dan mereka berjudi karena mereka miskin ...
Adegan kedua menggambarkan sang anak yang giliran terbengong karena sekarang Oom Pasikom yang bernyanyi. Dengan wajah puas, Oom berdendang, "Aku kaya karena korupsi .. aku korupsi karena kaya ..."
Mikir-mikir benar juga. Banyak orang kaya karena korupsi. Dan semakin kaya ia, semakin serakah dan bernafsu ia untuk mengkorupsi. Bagai lingkaran setan yang tiada putusnya (kecuali udah diciduk KPK kali ya?)
Potret masyarakat kita ... yang satu mewakili golongan miskin papa, yang satu lagi mewakili golongan the-have ...
Dalam karikatur ini pada adegan pertama digambarkan Oom Pasikom dengan pakaian rapinya melewati seorang anak. Ia tercengang melihat anak itu. Kenapa? Karena anak itu, berbaju biasa, menyanyi dengan alat krencengan (apa sih namanya, rebana?), "Aku miskin karena judi ... aku judi karena miskin ..."
Sedih membacanya. Banyak orang terjebak menjadi miskin karena berjudi. Namun yang lebih parah lagi banyak orang yang berjudi karena dia miskin. Ia tak memiliki wawasan, cara berfikir yang jernih. Yang terlihat sepanjang mata fisik dan mata hati memandang hanyalah potret kemiskinan yang dipenuhi orang-orang yang berjudi karena mengharapkan 'keajaiban' terjadi dan mendadak merubah hidup mereka. Ini mungkin sebabnya kenapa judi togel dan sebagainya tetap laku di kalangan bawah masyarakat ... mereka miskin karena berjudi .. dan mereka berjudi karena mereka miskin ...
Adegan kedua menggambarkan sang anak yang giliran terbengong karena sekarang Oom Pasikom yang bernyanyi. Dengan wajah puas, Oom berdendang, "Aku kaya karena korupsi .. aku korupsi karena kaya ..."
Mikir-mikir benar juga. Banyak orang kaya karena korupsi. Dan semakin kaya ia, semakin serakah dan bernafsu ia untuk mengkorupsi. Bagai lingkaran setan yang tiada putusnya (kecuali udah diciduk KPK kali ya?)
Potret masyarakat kita ... yang satu mewakili golongan miskin papa, yang satu lagi mewakili golongan the-have ...
1 Kualitas Pemimpin Sejati (bagian 6)
Tulisan ini berdasarkan buku karangan John C Maxwell, The 21 Indispensable Qualities of a Leader. Tiada maksud untuk menulis ulang buku ini (takut kena urusan copyright hehehe ...), tapi lebih berupa ringkasan berdasarkan pemahaman saya .. :-O
6. Keberanian: Satu Orang dengan Keberanian Sama dengan Mayoritas
Keberanian secara tepat dianggap sebagai kualitas yang terutama dalam diri manusia ... karena kualitas inilah yang menjamin kualitas-kualitas lainnya - Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris
Apa kesamaan yang dimiliki oleh ketiga orang berikut ini: pembalap mobil yang memecahkan rekor dunia di Daytona pada tahun 1914, pilot yang mencatat kemenangan terbanyak melawan pasukan Jerman pada Perang Dunia I, dan sekretaris penasihat perang khusus, yang selamat dari kecelakaan pesawat serta 20 hari terapung-apung di samudera Pasifik ketika PD II? Mereka semua selamat dari keadaan berbahaya. Mereka semua memperlihatkan keberanian serta otot baja di bawah tekanan. Dan mereka kebetulan orang yang sama - Eddie Rickenbacker.
Menjawab tantangan tidak pernah menjadi persoalan baginya, entah itu tantangan fisik, mental, ataupun ekonomi. Ia memberi nafkah bagi keluarganya sejak usia muda, kemudian menjadi pembalap yang memecahkan rekor dunia. Setelah itu ia menjadi penerbang dan memperoleh berbagai medali kehormatan. Ketika ditanya tentang keberaniannya bertempur, ia mengakui bahwa iapun takut. "Keberanian" katanya, "adalah melakukan apa yang anda takut lakukan. Takkan ada keberanian kecuali anda takut."
Keberanian mudah dilihat dari para pahlawan perang, namun keberanian juga tampak pada para pemimpin besar dalam bidang lainnya. Setiap kali anda melihat suatu kemajuan pesat suatu organisasi, anda tahu bahwa pemimpinnya telah mengambil keputusan yang berani. Posisi pemimpin tidaklah memberikan keberanian, namun sebaliknya keberanianlah yang dapat mengantar kita pada posisi pemimpin.
Sadarilah hal-hal berikut:
- Keberanian dimulai dengan pergumulan batin
Setiap ujian yang anda hadapi sebagai pemimpin dimulai dalam diri anda. Keberanian ialah melakukan apa yang anda takut lakukan. Memiliki kuasa untuk merelakan apa yang sudah anda kenal dan maju terus ke dalam wilayah baru.
- Keberanian artinya merubah segala menjadi benar, bukan sekedar meredakannya saja
Martin Luther King Jr pernah mengatakan, "Ukuran tertinggi dari seseorang bukanlah dimana ia berdiri di masa-masa nyaman serta menyenangkan, melainkan dimana ia berdiri di masa-masa penuh tantangan dan kontroversi."
Para pemimpin besar memiliki ketrampilan baik dalam membina hubungan dengan sesama, dan mereka dapat membuat orang lain berkompromi dan bekerjasama. Namun mereka juga sanggup memegang prinsip jika perlu.
Keberanian adalah menyangkut prinsip, bukan persepsi. Jika anda tidak memiliki kemampuan untuk melihat kapan harus memegang teguh keyakinan anda dan melaksanakannya, anda akkan pernah dapat menjadi pemimpin yang efektif.
- Keberanian dalam diri seorang pemimpin menginspirasikan komitmen dari para pengikutnya
Keberanian itu menular, jika seorang pemberani memegang teguh prinsipnya, yang lainnya akan turut berani. Kita mungkin masih ingat keberanian Amien Rais semasa saat perjuangan sebelum reformasi. Ini adalah contoh jelas keberanian yang kemudian menular ke seluruh pelosok masyarakat negeri ini.
- Kehidupan anda berkembang menurut keberanian anda
Sejarawan Romawi, Tacitus, menulis, "Hasrat untuk selamat akan menghambat setiap prestasi besar dan mulia." Namun keberanian membawa efek sebaliknya. Seperti kata John Henry Newman, "Janganlah takut hidup anda berakhir, tapi takutlah hidup anda tidak pernah dimulai."
Eleanor Roosevelt mengakui, "Anda akan mendapatkan keberanian, kekuatan, dan keyakinan diri, dari setiap pengalaman dimana anda benar-benar berhenti untuk menatap langsung pada rasa takut itu. Anda dapat berkata pada diri sendiri, 'Toh horor ini berhasil kulalui juga. Yang selanjutnya juga pasti dapat kulalui'. Anda harus melakukan hal yang anda rasa tidak dapat anda lakukan."
Sekarang bagaimana cara meningkatkan keberanian?
- Hadapilah kenyataan. Keluar dan lakukan sesuatu yang menumbuhkan keberanian. Berbicara di depan orang banyak, mendaki gunung, mendaki gunung, dan lain sebagainya yang akan membuat anda menghadapi rasa takut yang sesungguhnya.
- Berbicaralah kepada orang itu. Kebanyakan orang menghindari konfrontasi dengan orang lain. Jika anda juga demikian, bicaralah dengan orang yang 'bersinggungan' dengan anda.
- Ambillah langkah raksasa. Berganti pekerjaan? Menghadapi masa sulit interview, penantian, suasana kerja baru, teman baru, atasan baru, tantangan baru?
Anda penggemar Harry Potter? Ia menunjukkan keberanian dalam hidup ini. Atau Frodo Baggins di LOTR? Ia juga menunjukkan keberanian dalam hidup ini ... anda mau kalah dengan mereka berdua?
:-D
6. Keberanian: Satu Orang dengan Keberanian Sama dengan Mayoritas
Keberanian secara tepat dianggap sebagai kualitas yang terutama dalam diri manusia ... karena kualitas inilah yang menjamin kualitas-kualitas lainnya - Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris
Apa kesamaan yang dimiliki oleh ketiga orang berikut ini: pembalap mobil yang memecahkan rekor dunia di Daytona pada tahun 1914, pilot yang mencatat kemenangan terbanyak melawan pasukan Jerman pada Perang Dunia I, dan sekretaris penasihat perang khusus, yang selamat dari kecelakaan pesawat serta 20 hari terapung-apung di samudera Pasifik ketika PD II? Mereka semua selamat dari keadaan berbahaya. Mereka semua memperlihatkan keberanian serta otot baja di bawah tekanan. Dan mereka kebetulan orang yang sama - Eddie Rickenbacker.
Menjawab tantangan tidak pernah menjadi persoalan baginya, entah itu tantangan fisik, mental, ataupun ekonomi. Ia memberi nafkah bagi keluarganya sejak usia muda, kemudian menjadi pembalap yang memecahkan rekor dunia. Setelah itu ia menjadi penerbang dan memperoleh berbagai medali kehormatan. Ketika ditanya tentang keberaniannya bertempur, ia mengakui bahwa iapun takut. "Keberanian" katanya, "adalah melakukan apa yang anda takut lakukan. Takkan ada keberanian kecuali anda takut."
Keberanian mudah dilihat dari para pahlawan perang, namun keberanian juga tampak pada para pemimpin besar dalam bidang lainnya. Setiap kali anda melihat suatu kemajuan pesat suatu organisasi, anda tahu bahwa pemimpinnya telah mengambil keputusan yang berani. Posisi pemimpin tidaklah memberikan keberanian, namun sebaliknya keberanianlah yang dapat mengantar kita pada posisi pemimpin.
Sadarilah hal-hal berikut:
- Keberanian dimulai dengan pergumulan batin
Setiap ujian yang anda hadapi sebagai pemimpin dimulai dalam diri anda. Keberanian ialah melakukan apa yang anda takut lakukan. Memiliki kuasa untuk merelakan apa yang sudah anda kenal dan maju terus ke dalam wilayah baru.
- Keberanian artinya merubah segala menjadi benar, bukan sekedar meredakannya saja
Martin Luther King Jr pernah mengatakan, "Ukuran tertinggi dari seseorang bukanlah dimana ia berdiri di masa-masa nyaman serta menyenangkan, melainkan dimana ia berdiri di masa-masa penuh tantangan dan kontroversi."
Para pemimpin besar memiliki ketrampilan baik dalam membina hubungan dengan sesama, dan mereka dapat membuat orang lain berkompromi dan bekerjasama. Namun mereka juga sanggup memegang prinsip jika perlu.
Keberanian adalah menyangkut prinsip, bukan persepsi. Jika anda tidak memiliki kemampuan untuk melihat kapan harus memegang teguh keyakinan anda dan melaksanakannya, anda akkan pernah dapat menjadi pemimpin yang efektif.
- Keberanian dalam diri seorang pemimpin menginspirasikan komitmen dari para pengikutnya
Keberanian itu menular, jika seorang pemberani memegang teguh prinsipnya, yang lainnya akan turut berani. Kita mungkin masih ingat keberanian Amien Rais semasa saat perjuangan sebelum reformasi. Ini adalah contoh jelas keberanian yang kemudian menular ke seluruh pelosok masyarakat negeri ini.
- Kehidupan anda berkembang menurut keberanian anda
Sejarawan Romawi, Tacitus, menulis, "Hasrat untuk selamat akan menghambat setiap prestasi besar dan mulia." Namun keberanian membawa efek sebaliknya. Seperti kata John Henry Newman, "Janganlah takut hidup anda berakhir, tapi takutlah hidup anda tidak pernah dimulai."
Eleanor Roosevelt mengakui, "Anda akan mendapatkan keberanian, kekuatan, dan keyakinan diri, dari setiap pengalaman dimana anda benar-benar berhenti untuk menatap langsung pada rasa takut itu. Anda dapat berkata pada diri sendiri, 'Toh horor ini berhasil kulalui juga. Yang selanjutnya juga pasti dapat kulalui'. Anda harus melakukan hal yang anda rasa tidak dapat anda lakukan."
Sekarang bagaimana cara meningkatkan keberanian?
- Hadapilah kenyataan. Keluar dan lakukan sesuatu yang menumbuhkan keberanian. Berbicara di depan orang banyak, mendaki gunung, mendaki gunung, dan lain sebagainya yang akan membuat anda menghadapi rasa takut yang sesungguhnya.
- Berbicaralah kepada orang itu. Kebanyakan orang menghindari konfrontasi dengan orang lain. Jika anda juga demikian, bicaralah dengan orang yang 'bersinggungan' dengan anda.
- Ambillah langkah raksasa. Berganti pekerjaan? Menghadapi masa sulit interview, penantian, suasana kerja baru, teman baru, atasan baru, tantangan baru?
Anda penggemar Harry Potter? Ia menunjukkan keberanian dalam hidup ini. Atau Frodo Baggins di LOTR? Ia juga menunjukkan keberanian dalam hidup ini ... anda mau kalah dengan mereka berdua?
:-D
Kajian 20 Juli 2005
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). QS Al Maaidah 55.
Tuesday, July 19, 2005
Sup sirip hiu ..
Hmmm ... istilah bahasa Inggrisnya Shark Fin Soup kali ya? Anyway, tadi siang saya makan siang di salah satu restoran terkemuka di Jakarta. Kebetulan ada tamu dari negeri antah berantah dan kami mengundangnya makan siang bersama.
Sebagai pembuka makan siang ini, kami disajikan sup di atas. Ueenak rasanya ... Suapan demi suapan mengalir melalui mulut, lidah mengecap-ngecap, masuk ke tenggorokan dan akhirnya bermuara di perut dengan rasa hangat. Ueenaak ... :-P
Ketika sedang asyiknya 'bercengkrama' dengan sup ini, salah seorang teman bercerita tentang pembuatan sup ini (saya tidak tahu awalnya kalau ini sup ikan hiu ... kirain sup seafood biasa). Rupanya daging ikan di sup ini diambil dari sirip ikan hiu. Sirip tersebut dipotong dan setelah itu ikan hiu dengan daging-dagingnya yang masih banyak tidak digunakan lagi. Entah benar atau tidak ... namun cerita ini seketika menghanguskan selera menikmati sup ini!
Kenapa? Saya bukan pecinta binatang seperti orang-orang lain yang menganggap bahwa kita tidak berkepribinatangan dengan memakan daging binatang, entah itu ayam, sapi, kambing, ikan, dan yang lainnya. Bagi saya, banyak binatang yang diciptakan untuk kita gunakan sebaik-baiknya. Mulai dari menggunakan kulitnya (kulit kambing), bulunya (domba), keindahannya (ikan di akuarium), hingga memakan dagingnya. Yang harus diingat ialah kita tidak boleh berlebih-lebihan. Kita juga harus memperlakukan binatang dengan baik (menyembelih/mencukur dengan pisau yang tajam). Kita memakan dagingnya agar kita bisa hidup dengan baik dan kita tidak berlebihan dalam memakannya.
Namun membunuh seekor binatang hanya untuk mengambil siripnya? Bagi saya ini adalah hal yang keterlaluan. Sama halnya kita memburu gajah misalnya hingga punah untuk memenuhi nafsu kita akan gadingnya. Prinsip keseimbangan yang saya harapkan di atas tidak ada lagi, yang ada hanyalah semata-mata memenuhi nafsu belaka ...
Mudah-mudahan cerita teman di atas tidak benar adanya. Yang pasti ... akhirnya sup itu mubazir di piring saya dan diambil kembali oleh sang pelayan restoran ....
Sebagai pembuka makan siang ini, kami disajikan sup di atas. Ueenak rasanya ... Suapan demi suapan mengalir melalui mulut, lidah mengecap-ngecap, masuk ke tenggorokan dan akhirnya bermuara di perut dengan rasa hangat. Ueenaak ... :-P
Ketika sedang asyiknya 'bercengkrama' dengan sup ini, salah seorang teman bercerita tentang pembuatan sup ini (saya tidak tahu awalnya kalau ini sup ikan hiu ... kirain sup seafood biasa). Rupanya daging ikan di sup ini diambil dari sirip ikan hiu. Sirip tersebut dipotong dan setelah itu ikan hiu dengan daging-dagingnya yang masih banyak tidak digunakan lagi. Entah benar atau tidak ... namun cerita ini seketika menghanguskan selera menikmati sup ini!
Kenapa? Saya bukan pecinta binatang seperti orang-orang lain yang menganggap bahwa kita tidak berkepribinatangan dengan memakan daging binatang, entah itu ayam, sapi, kambing, ikan, dan yang lainnya. Bagi saya, banyak binatang yang diciptakan untuk kita gunakan sebaik-baiknya. Mulai dari menggunakan kulitnya (kulit kambing), bulunya (domba), keindahannya (ikan di akuarium), hingga memakan dagingnya. Yang harus diingat ialah kita tidak boleh berlebih-lebihan. Kita juga harus memperlakukan binatang dengan baik (menyembelih/mencukur dengan pisau yang tajam). Kita memakan dagingnya agar kita bisa hidup dengan baik dan kita tidak berlebihan dalam memakannya.
Namun membunuh seekor binatang hanya untuk mengambil siripnya? Bagi saya ini adalah hal yang keterlaluan. Sama halnya kita memburu gajah misalnya hingga punah untuk memenuhi nafsu kita akan gadingnya. Prinsip keseimbangan yang saya harapkan di atas tidak ada lagi, yang ada hanyalah semata-mata memenuhi nafsu belaka ...
Mudah-mudahan cerita teman di atas tidak benar adanya. Yang pasti ... akhirnya sup itu mubazir di piring saya dan diambil kembali oleh sang pelayan restoran ....
Lenses on Leadership
Berikut adalah ringkasan saya dari tulisan Paul Glen di majalah ComputerWorld edisi 6 Juni 2005.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita terbiasa memiliki suatu sudut pandang terhadap kejadian hidup ini. Yang menarik, semakin berkembang kita, kita dituntut untuk bisa melihat dari berbagai sudut pandang. Dari sudut pandang sebagai seorang professional, sudut pandang sebagai perwakilan perusahaan, sudut pandang karyawan, atasan, bawahan, customer dan seterusnya. Kenapa berbagai sudut pandang ini perlu? Karena sering kali untuk melihat satu 'benda' secara utuh kita perlu melihat dari berbagai sudut pandang. Mungkin istilahnya 3 dimensi kali ya? (kalau perlu malah 4 dimensi dengan dimensi keempat berupa waktu).
Bagaimana seorang manajer/supervisor dalam memandang suatu tugas pekerjaan? Ada beberapa model:
- Dengan kacamata akuntan
Dengan kacamata ini, setiap persoalan akan dipandang dari sudut budget. Masalah schedule akan langsung dilihat sebagai masalah budget. Hasil pekerjaan akan menjadi prioritas kesekian, demikian pula masalah human resource.
- Dengan kacamata konduktor
Memakai ini, persoalan akan langsung dihubungkan dengan masalah schedule/jadwal. Dengan kacamata ini, jadwal adalah sesuatu yang keramat dan harus dipatuhi setiap saat.
- Kacamata perang
Segala persoalan akan dipandang sebagai usaha-usaha mengganggu kontrol dan kekuasaan sang manajer. Hanya ada teman atau musuh dan budget merupakan simbol kekuasaan dengan schedule sebagai senjatanya.
- Kacamata estetika
Dengan kacamata ini, setiap pekerjaan harus mengandung unsur keindahan dan estetika. Nilai moral akan dijunjung tinggi, di atas segalanya.
- Kacamata perjalanan perjuangan
Persoalan yang muncul dengan kacamata ini akan tampak sebagai bagian dari pekerjaan dan usaha yang berani. Persoalan merupakan bagian dari perjalanan sang jagoan (sang manajer tentunya) dalam menempuh hidup ini.
- Kacamata samurai
Setiap persoalan dan tantangan merupakan bagian dari skenario besar dan adalah kehormatan bagi sang manajer untuk berpartisipasi dalam skenario ini.
Apa yang terbaik? Tidak ada. Yang terbaik ialah jika kita mampu mengkombinasikan berbagai cara pandang di atas untuk mendapatkan pandangan yang terbaik terhadap situasi yang kita hadapi. Dan jika kita bersikeras memakai 1-2 cara pandang saja, niscaya kita akan kehilangan kemampuan melihat situasi yang sebenarnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita terbiasa memiliki suatu sudut pandang terhadap kejadian hidup ini. Yang menarik, semakin berkembang kita, kita dituntut untuk bisa melihat dari berbagai sudut pandang. Dari sudut pandang sebagai seorang professional, sudut pandang sebagai perwakilan perusahaan, sudut pandang karyawan, atasan, bawahan, customer dan seterusnya. Kenapa berbagai sudut pandang ini perlu? Karena sering kali untuk melihat satu 'benda' secara utuh kita perlu melihat dari berbagai sudut pandang. Mungkin istilahnya 3 dimensi kali ya? (kalau perlu malah 4 dimensi dengan dimensi keempat berupa waktu).
Bagaimana seorang manajer/supervisor dalam memandang suatu tugas pekerjaan? Ada beberapa model:
- Dengan kacamata akuntan
Dengan kacamata ini, setiap persoalan akan dipandang dari sudut budget. Masalah schedule akan langsung dilihat sebagai masalah budget. Hasil pekerjaan akan menjadi prioritas kesekian, demikian pula masalah human resource.
- Dengan kacamata konduktor
Memakai ini, persoalan akan langsung dihubungkan dengan masalah schedule/jadwal. Dengan kacamata ini, jadwal adalah sesuatu yang keramat dan harus dipatuhi setiap saat.
- Kacamata perang
Segala persoalan akan dipandang sebagai usaha-usaha mengganggu kontrol dan kekuasaan sang manajer. Hanya ada teman atau musuh dan budget merupakan simbol kekuasaan dengan schedule sebagai senjatanya.
- Kacamata estetika
Dengan kacamata ini, setiap pekerjaan harus mengandung unsur keindahan dan estetika. Nilai moral akan dijunjung tinggi, di atas segalanya.
- Kacamata perjalanan perjuangan
Persoalan yang muncul dengan kacamata ini akan tampak sebagai bagian dari pekerjaan dan usaha yang berani. Persoalan merupakan bagian dari perjalanan sang jagoan (sang manajer tentunya) dalam menempuh hidup ini.
- Kacamata samurai
Setiap persoalan dan tantangan merupakan bagian dari skenario besar dan adalah kehormatan bagi sang manajer untuk berpartisipasi dalam skenario ini.
Apa yang terbaik? Tidak ada. Yang terbaik ialah jika kita mampu mengkombinasikan berbagai cara pandang di atas untuk mendapatkan pandangan yang terbaik terhadap situasi yang kita hadapi. Dan jika kita bersikeras memakai 1-2 cara pandang saja, niscaya kita akan kehilangan kemampuan melihat situasi yang sebenarnya.
Kajian 19 Juli 2005
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu QS Al Maaidah 48.
Monday, July 18, 2005
Komik
Suka komik? Harusnya sih suka ya ... kalau ingat jaman dulu komik Gundala sampai Mahabrata. Atau komik Tintin, Asterix, sampai Lucky Luke (yang 3 ini sih masih suka juga baca sekarang hehehe). Salah satu hobi baca saya ialah baca komik. Koleksi saya antara lain Garfield (hampir lengkap), Calvin dan Hobbes (jadi ingat masa muda dulu kalau baca ini hehehe), Dilbert, Lagak Jakarta, dan Panji Koming. Selain itu saya mengkoleksi komik khas negara tertentu seperti karangan Jeff Foxworthy (Readneck - sindiran orang pedalaman Texas), Footroot (sindiran petani Australia), Larson - Far East Gallery (sindiran khas Inggris), dan Lat!
Buat yang belum tahu Lat, Lat adalah komikus (bener nggak istilah ini?) dari Malaysia. Komik-komiknya sangat khas, tidak detil tapi lengkap dan tajam. Dia banyak bercerita tentang masa kecilnya, tentang kehidupan di Malaysia, dan lain-lain. Baru saja saya membeli bukunya yang berjudul Kampung Boy: Yesterday & Today. Ceritanya tentang masa kecilnya di kampung, jauh dari kehidupan modern. Di buku ini diceritakan banyak hal (cerita maksudnya dalam bentuk gambar ya ...), antara lain permainan yang ia lakukan di masa kecilnya. Ternyata mirip juga dengan kita, main kelereng, gasing, layangan, petak umpet, ketapel, adu biji karet, bekel, congklak, dll. Sampai urusan undian dengan hom-pim-pa juga sama. Asyik juga bacanya ...
Suka komik? :-)
Buat yang belum tahu Lat, Lat adalah komikus (bener nggak istilah ini?) dari Malaysia. Komik-komiknya sangat khas, tidak detil tapi lengkap dan tajam. Dia banyak bercerita tentang masa kecilnya, tentang kehidupan di Malaysia, dan lain-lain. Baru saja saya membeli bukunya yang berjudul Kampung Boy: Yesterday & Today. Ceritanya tentang masa kecilnya di kampung, jauh dari kehidupan modern. Di buku ini diceritakan banyak hal (cerita maksudnya dalam bentuk gambar ya ...), antara lain permainan yang ia lakukan di masa kecilnya. Ternyata mirip juga dengan kita, main kelereng, gasing, layangan, petak umpet, ketapel, adu biji karet, bekel, congklak, dll. Sampai urusan undian dengan hom-pim-pa juga sama. Asyik juga bacanya ...
Suka komik? :-)
Merubah dunia!
Ya, mungkin ini keinginan masing-masing kita. Kita ingin merubah dunia. Dunia ini bisa kecil, bisa pula besar. Bisa artinya keluarga, adik, kakak, papa, mama atau anak, istri/suami. Bisa pula artinya lingkungan rumah, suasana jalan, kampus, lingkungan kerja, jenis pekerjaan, bawahan, atasan, rekan kerja. Bisa pula dunia dalam arti yang lebih besar lagi, soal lingkungan hidup, ekonomi, ketertiban dan keamanan dan lain-lain. (dalam hati mikir ... tulisan ane kok makin lama makin kebanyakan seriusssnya yakh??)
Bagaimana cara paling mudah merubah dunia? Mengaitkannya dengan bukti adanya Prima Causa (Sebab Utama), Yang Maha Pencipta, banyak orang kemudian berangan-angan, bagaimana jika dirinya menjadi Tuhan Yang Maha Berkuasa. Dengan demikian dengan mudahnya kita bisa mengatur dan merubah hidup dan dunia ini menjadi lebih baik (menurut versi kita). Contoh paling gampang ya pilemnya Michael Landon ketika dia menjadi malaikat - Highway to Heaven - atau yang terbaru Jim Carrey yang jadi Tuhan dalam Bruce Almighty ...... (btw, saya nggak nonton dan tidak berminat nonton film ini, menurut otak saya terlalu ‘jauh’ impian dan kengawurannya ... hehehe)
Padahal kita semua tahu ini adalah hil yang mustahal (hal yang mustahil). Jangankan merubah dunia, lha merubah diri sendiri aja butuh waktu, usaha, dan pengorbanan ... :-P
Stephen Covey mengajarkan prinsip yang ia sebut sebagai prinsip inside-out. Dalam mengatasi masalah hidup ini (soal papa-mama, istri, atasan, soal ekonomi dll di atas), kita harus mulai dari diri sendiri. Berikut kutipan dari tulisannya di buku 7 Habits:
It says if you want to have a happy marriage, be the kind of person who generates positive energy and sidesteps negative energy rather then empowering it. If you want to have a more pleasant, cooperative teenager, be a more understanding, empathic, consistent, loving parent. If you want to have more freedom, more latitude in your job, be a more responsible, a more helpful, a more contributing employee. If you want to be trusted, be a trustworthy. If you want the secondary greatness of recognized talent, focus first on primary greatness of character.
Kelihatannya memang rada ‘antik’ ya? Ketimbang merubah dunia, eh alih-alih kita malah harus sibuk merubah diri sendiri. Kembali lagi perputaran diskusi ini ialah pada pentingnya merubah diri sendiri sebelum mengharapkan orang lain berubah.
What do you think?
Bagaimana cara paling mudah merubah dunia? Mengaitkannya dengan bukti adanya Prima Causa (Sebab Utama), Yang Maha Pencipta, banyak orang kemudian berangan-angan, bagaimana jika dirinya menjadi Tuhan Yang Maha Berkuasa. Dengan demikian dengan mudahnya kita bisa mengatur dan merubah hidup dan dunia ini menjadi lebih baik (menurut versi kita). Contoh paling gampang ya pilemnya Michael Landon ketika dia menjadi malaikat - Highway to Heaven - atau yang terbaru Jim Carrey yang jadi Tuhan dalam Bruce Almighty ...... (btw, saya nggak nonton dan tidak berminat nonton film ini, menurut otak saya terlalu ‘jauh’ impian dan kengawurannya ... hehehe)
Padahal kita semua tahu ini adalah hil yang mustahal (hal yang mustahil). Jangankan merubah dunia, lha merubah diri sendiri aja butuh waktu, usaha, dan pengorbanan ... :-P
Stephen Covey mengajarkan prinsip yang ia sebut sebagai prinsip inside-out. Dalam mengatasi masalah hidup ini (soal papa-mama, istri, atasan, soal ekonomi dll di atas), kita harus mulai dari diri sendiri. Berikut kutipan dari tulisannya di buku 7 Habits:
It says if you want to have a happy marriage, be the kind of person who generates positive energy and sidesteps negative energy rather then empowering it. If you want to have a more pleasant, cooperative teenager, be a more understanding, empathic, consistent, loving parent. If you want to have more freedom, more latitude in your job, be a more responsible, a more helpful, a more contributing employee. If you want to be trusted, be a trustworthy. If you want the secondary greatness of recognized talent, focus first on primary greatness of character.
Kelihatannya memang rada ‘antik’ ya? Ketimbang merubah dunia, eh alih-alih kita malah harus sibuk merubah diri sendiri. Kembali lagi perputaran diskusi ini ialah pada pentingnya merubah diri sendiri sebelum mengharapkan orang lain berubah.
What do you think?
Kajian 18 Juli 2005
Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang QS Al Maaidah 39.
Sunday, July 17, 2005
Buku baru ..
Kemarin dalam perjalanan pulang, mata saya terpancang pada 2 buah buku di toko tempat kami transit. Penerbitnya memang 'berat' dan biasanya tidak pernah saya lirik, Harvard Business School Press. Bukunya berjudul Organizational Learning dan Knowledge Management.
Buku Organizational Learning berisi topik seperti Communities of Practice: The Organizational Frontier, How to Capture Knowledge Without Killing It, What is Your Strategy for Managing Knowledge, Coevolving: At Last, a Way to Make Synergies Work, Organigraphs: Drawing How Companies Really Work, Stop Fighting Fires, dan lain-lain.
Sementara buku Knowledge Management berisi topik seperti The Coming of the New Organization, The Knowledge-Creating Company, Building a Learning Organization, Teaching Smart People How to Learn, Putting Your Company's Whole Brain to Work, dan seterusnya.
Topik-topik di atas sangat-amat-luar-biasa menarik bagi saya. Sudah sering kita bicara mengenai knowledge sharing (blog ini salah satu medianya). Kita buat intranet di perusahaan kita, kita buat FAQ mengenai pekerjaan kita, kita sebarkan best practices. Kita coba buat Knowledge Base, kita selenggarakan pertemuan-pertemuan para expert untuk satu bidang tertentu sebagai bagian knowledge sharing, dan banyak lagi inisiatif yang telah kita lakukan atau sedang kita implementasikan.
Namun, mungkin goals knowledge management ini harus 'ditarik' lebih jauh lagi. Seperti kata Covey, "Begin with end in mind". Kita harus taruh cakrawala, jarak pandang kita lebih jauh lagi. Apakah hal-hal di atas sudah cukup? Atau kita harus aiming sesuatu yang lebih besar lagi?
Dari topik-topik di atas yang langsung menyentak otak saya sebagai cakrawala yang harus dicanangkan adalah:
- Putting Your Company's Whole Brain to Work
- Building Learning Organization
- Teaching Smart People How to Learn
Kemarin sore, saya sempat baca topik pertama, "Communities of Practice: The Organizational Frontier". Seperti saya duga, isinya bagus sekali. Namun juga 'berat' sekali hehehe .... perlu dibaca berulang kali agar bisa diambil sari-madunya untuk diimplementasikan pada pekerjaan sehari-hari.
Di toko buku itu saya lihat juga banyak buku lain yang juga menarik dari penerbit ini, misalnya mengenai leadership, innovation, management. Untung juga nggak beli buku-buku ini. Selain 2 buku ini bakal menyedot energi saya, kantong juga sudah tipis ... :-P
Bagaimana dengan anda, anda penggemar buku terbitan Harvard Business School Press?
Buku Organizational Learning berisi topik seperti Communities of Practice: The Organizational Frontier, How to Capture Knowledge Without Killing It, What is Your Strategy for Managing Knowledge, Coevolving: At Last, a Way to Make Synergies Work, Organigraphs: Drawing How Companies Really Work, Stop Fighting Fires, dan lain-lain.
Sementara buku Knowledge Management berisi topik seperti The Coming of the New Organization, The Knowledge-Creating Company, Building a Learning Organization, Teaching Smart People How to Learn, Putting Your Company's Whole Brain to Work, dan seterusnya.
Topik-topik di atas sangat-amat-luar-biasa menarik bagi saya. Sudah sering kita bicara mengenai knowledge sharing (blog ini salah satu medianya). Kita buat intranet di perusahaan kita, kita buat FAQ mengenai pekerjaan kita, kita sebarkan best practices. Kita coba buat Knowledge Base, kita selenggarakan pertemuan-pertemuan para expert untuk satu bidang tertentu sebagai bagian knowledge sharing, dan banyak lagi inisiatif yang telah kita lakukan atau sedang kita implementasikan.
Namun, mungkin goals knowledge management ini harus 'ditarik' lebih jauh lagi. Seperti kata Covey, "Begin with end in mind". Kita harus taruh cakrawala, jarak pandang kita lebih jauh lagi. Apakah hal-hal di atas sudah cukup? Atau kita harus aiming sesuatu yang lebih besar lagi?
Dari topik-topik di atas yang langsung menyentak otak saya sebagai cakrawala yang harus dicanangkan adalah:
- Putting Your Company's Whole Brain to Work
- Building Learning Organization
- Teaching Smart People How to Learn
Kemarin sore, saya sempat baca topik pertama, "Communities of Practice: The Organizational Frontier". Seperti saya duga, isinya bagus sekali. Namun juga 'berat' sekali hehehe .... perlu dibaca berulang kali agar bisa diambil sari-madunya untuk diimplementasikan pada pekerjaan sehari-hari.
Di toko buku itu saya lihat juga banyak buku lain yang juga menarik dari penerbit ini, misalnya mengenai leadership, innovation, management. Untung juga nggak beli buku-buku ini. Selain 2 buku ini bakal menyedot energi saya, kantong juga sudah tipis ... :-P
Bagaimana dengan anda, anda penggemar buku terbitan Harvard Business School Press?
Spirited Away
Ada yang sudah pernah nonton film animasi Spirited Away? Film ini disutradarai oleh Hayao Miyazaki. Bercerita tentang anak perempuan, 10 tahun, yang berjuang di dunia sihir dan monster untuk menyelamatkan orang tuanya yang berubah menjadi babi.
Film ini memenangkan Oscar tahun 2003 untuk kategori Animasi. Film ini juga memenangkan berbagai penghargaan lain.
Saya sudah menontonnya 3 kali. Kenapa? Bagus sekali ... :-). Di film ini dilukiskan bagaimana perjuangan seorang anak perempuan, Chihiro, untuk mengatasi ketakutannya untuk berjuang hidup di dunia sihir dan monster, dunia yang tidak terbayangkan olehnya sebelumnya Tidak saja berjuang hidup, ia harus menolong orang yang telah menolongnya, sekaligus mengembalikan orang tuanya yang telah disihir menjadi babi di dunia ini.
Meski animasi, film ini seakan 'menyihir' kita dan menjadikan tokoh-tokohnya hidup. Kita bisa merasakan pergulatan ketakutan, kesedihan, penderitaan Chihiro. Dunia sihir dan monster yang ditampilkan juga menakjubkan, tidak terbayangkan oleh saya sebelumnya. Mungkin khas Jepang kali ya yang suka berkhayal kemana-mana ... :-P
Musik film ini juga menarik. Salah satu theme yang saya sukai ialah ketika Chihiro berangkat naik kereta (yang penumpangnya hantu semua ...), pergi ke satu tempat untuk mencari bantuan bagi temannya. Shoot yang ditampilkan seakan-akan 'hidup', kereta yang melintasi cakrawala yang datar, air yang tersibak, kesepian dan keheningan, suasana menjelang gelap dengan lampu penerang kereta yang muncul satu per satu sepanjang perjalanan, serta pergantian siang ke malam. Musik yang lambat laun mengikuti seakan meresap dan menyatu .... indah sekaligus sedih dan mencekam ...
Kalau anda belum nonton ini, saya rekomendasikan untuk segera mencari DVD nya dan mencarinya. Bagus ... dan akan membuat kita termangu-mangu di akhir film ... seakan-akan baru saja melalui satu babak pergulatan hidup ...
Film ini memenangkan Oscar tahun 2003 untuk kategori Animasi. Film ini juga memenangkan berbagai penghargaan lain.
Saya sudah menontonnya 3 kali. Kenapa? Bagus sekali ... :-). Di film ini dilukiskan bagaimana perjuangan seorang anak perempuan, Chihiro, untuk mengatasi ketakutannya untuk berjuang hidup di dunia sihir dan monster, dunia yang tidak terbayangkan olehnya sebelumnya Tidak saja berjuang hidup, ia harus menolong orang yang telah menolongnya, sekaligus mengembalikan orang tuanya yang telah disihir menjadi babi di dunia ini.
Meski animasi, film ini seakan 'menyihir' kita dan menjadikan tokoh-tokohnya hidup. Kita bisa merasakan pergulatan ketakutan, kesedihan, penderitaan Chihiro. Dunia sihir dan monster yang ditampilkan juga menakjubkan, tidak terbayangkan oleh saya sebelumnya. Mungkin khas Jepang kali ya yang suka berkhayal kemana-mana ... :-P
Musik film ini juga menarik. Salah satu theme yang saya sukai ialah ketika Chihiro berangkat naik kereta (yang penumpangnya hantu semua ...), pergi ke satu tempat untuk mencari bantuan bagi temannya. Shoot yang ditampilkan seakan-akan 'hidup', kereta yang melintasi cakrawala yang datar, air yang tersibak, kesepian dan keheningan, suasana menjelang gelap dengan lampu penerang kereta yang muncul satu per satu sepanjang perjalanan, serta pergantian siang ke malam. Musik yang lambat laun mengikuti seakan meresap dan menyatu .... indah sekaligus sedih dan mencekam ...
Kalau anda belum nonton ini, saya rekomendasikan untuk segera mencari DVD nya dan mencarinya. Bagus ... dan akan membuat kita termangu-mangu di akhir film ... seakan-akan baru saja melalui satu babak pergulatan hidup ...
Kajian 17 Juli 2005
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepadaNya, dan berjihadlah pada jalanNya, supaya kamu mendapat keberuntungan QS Al Maaidah 35.
Masih soal pertumbuhan dan perubahan ...
Masih soal pertumbuhan dan perubahan, seringkali kita menerapkan hal ini pada orang-orang yang kita temui dalam hidup kita. Kita sering sudah menaruh harapan tertentu pada orang (yang biasanya berdasarkan standar kita sendiri), dan tidak memberikan kesabaran maupun pengertian mengenai pertumbuhan dan perubahan yang harus ia lalui.
Baru-baru ini saya mengalami situasi yang sama. Saya meminta seseorang untuk melakukan satu hal. Sesuatu hal yang sangat bermanfaat baginya, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam pengertian dan standar saya, beliau seharusnya dengan mudah melakukan hal ini.
Namun, yang terjadi ialah ia menolak permintaan saya ini. Belajar dari Pak Covey, akhirnya saya mengambil keputusan untuk meredakan suasana dan membuang jauh-jauh permintaan saya itu. Saya memberikan kesempatan padanya untuk berfikir dengan tenang, tanpa adanya tekanan (pressure). Saya pun tidak menghakiminya, baik secara lisan maupun bahasa tubuh, bahwa ia tidak ingin dan mampu melakukan yang saya harapkan.
Yang kemudian terjadi ialah persis seperti analisa Covey. Beberapa hari kemudian beliau kembali dengan suasana tenang dan dengan penuh keyakinan menyambut permintaan saya.
Bagi saya, ini adalah hal luar biasa. Sekali lagi ini membuktikan bahwa:
- Pertumbuhan dan perubahan memerlukan waktu dan kesabaran
Seperti tulisan saya sebelumnya, kita tidak bisa ‘memaksa’ anak lahir dan kemudian bisa langsung berbicara dan berjalan. Proses pertumbuhan dan perkembangan ini butuh waktu dan kesabaran. Kita, sebagai insan yang terlibat aktif dalam proses ini, harus memiliki kedua hal ini. Keduanya adalah essential.
- Pendekatan yang mengerti bahwa setiap orang unik adalah penting sekali
Bagi beberapa orang, perubahan dan perkembangan bisa berlangsung dalam sekian detik, sekian jam, dan seterusnya. Namun ada pula yang memerlukan waktu bertahun-tahun. Penting sekali untuk mengetahui sifat setiap orang dan melakukan langkah-langkah mengakomodasikan sifat ini. Bukan sebaliknya, kita ‘memaksa’ orang untuk merubah sifatnya.
Dengan mengakomodasikan situasi ini, perubahan yang terjadi sifatnya akan alami dan 'real' dan bukan semu karena terjadi di bawah tekanan.
Kita tidak bisa memaksa orang lain berubah. Yang bisa kita lakukan ialah menyiapkan 'fasilitas' maupun 'lingkungan' yang kondusif dan membantunya dalam proses berubah ...
Baru-baru ini saya mengalami situasi yang sama. Saya meminta seseorang untuk melakukan satu hal. Sesuatu hal yang sangat bermanfaat baginya, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam pengertian dan standar saya, beliau seharusnya dengan mudah melakukan hal ini.
Namun, yang terjadi ialah ia menolak permintaan saya ini. Belajar dari Pak Covey, akhirnya saya mengambil keputusan untuk meredakan suasana dan membuang jauh-jauh permintaan saya itu. Saya memberikan kesempatan padanya untuk berfikir dengan tenang, tanpa adanya tekanan (pressure). Saya pun tidak menghakiminya, baik secara lisan maupun bahasa tubuh, bahwa ia tidak ingin dan mampu melakukan yang saya harapkan.
Yang kemudian terjadi ialah persis seperti analisa Covey. Beberapa hari kemudian beliau kembali dengan suasana tenang dan dengan penuh keyakinan menyambut permintaan saya.
Bagi saya, ini adalah hal luar biasa. Sekali lagi ini membuktikan bahwa:
- Pertumbuhan dan perubahan memerlukan waktu dan kesabaran
Seperti tulisan saya sebelumnya, kita tidak bisa ‘memaksa’ anak lahir dan kemudian bisa langsung berbicara dan berjalan. Proses pertumbuhan dan perkembangan ini butuh waktu dan kesabaran. Kita, sebagai insan yang terlibat aktif dalam proses ini, harus memiliki kedua hal ini. Keduanya adalah essential.
- Pendekatan yang mengerti bahwa setiap orang unik adalah penting sekali
Bagi beberapa orang, perubahan dan perkembangan bisa berlangsung dalam sekian detik, sekian jam, dan seterusnya. Namun ada pula yang memerlukan waktu bertahun-tahun. Penting sekali untuk mengetahui sifat setiap orang dan melakukan langkah-langkah mengakomodasikan sifat ini. Bukan sebaliknya, kita ‘memaksa’ orang untuk merubah sifatnya.
Dengan mengakomodasikan situasi ini, perubahan yang terjadi sifatnya akan alami dan 'real' dan bukan semu karena terjadi di bawah tekanan.
Kita tidak bisa memaksa orang lain berubah. Yang bisa kita lakukan ialah menyiapkan 'fasilitas' maupun 'lingkungan' yang kondusif dan membantunya dalam proses berubah ...
Saturday, July 16, 2005
I'm back, alhamdulillah ...
Alhamdulillah sudah sampai di rumah, home sweet home .. ;-P. Apa kabar semua? Have a nice weekend yakh ...
Friday, July 15, 2005
Belajar menggunakan blog sebagai alat bantu ...
Barusan saya melihat-lihat isi si lamunan-sejenak. Takjub juga ... tidak terbayang sebelumnya dalam tempo kurang 3 bulan, saya bisa 'mengucurkan' sekian banyak ide, lamunan, pemikiran. Tidak terbayang juga sebelumnya dalam waktu itu begitu banyak buku, tulisan yang sempat saya baca, pahami isinya, dan menuangkannya kembali ke blog ini.
Otak manusia memang luar biasa. Namun yang lebih luar biasa lagi ialah kemauan dan semangat yang dipacu dengan suatu keyakinan. Meminjam tulisan Zaim Uchrowi, "Perlu waktu 25 tahun lagi untuk mengembalikan Indonesia ke jalur normal," kata kita. Percayalah Allah akan memenuhi pernyataan itu sebagaimana bila kita mengatakan "cukup 5 tahun untuk membangun negeri ini."
Saya semakin tergantung pada apa yang saya tulis di blog ini. Makin sering ketika dalam bekerja atau sedang berdiskusi, saya teringat atau mereferensikan blog ini ... jadi semacam reference book ...
Blog memang bermanfaat, setidaknya buat saya ... :-). Thanks buat teman-teman yang sudi mampir dan ngasih komentar.
Dan tentunya juga spesial buat teman yang mengenalkan blog ke saya, thanks ya! :-D
Otak manusia memang luar biasa. Namun yang lebih luar biasa lagi ialah kemauan dan semangat yang dipacu dengan suatu keyakinan. Meminjam tulisan Zaim Uchrowi, "Perlu waktu 25 tahun lagi untuk mengembalikan Indonesia ke jalur normal," kata kita. Percayalah Allah akan memenuhi pernyataan itu sebagaimana bila kita mengatakan "cukup 5 tahun untuk membangun negeri ini."
Saya semakin tergantung pada apa yang saya tulis di blog ini. Makin sering ketika dalam bekerja atau sedang berdiskusi, saya teringat atau mereferensikan blog ini ... jadi semacam reference book ...
Blog memang bermanfaat, setidaknya buat saya ... :-). Thanks buat teman-teman yang sudi mampir dan ngasih komentar.
Dan tentunya juga spesial buat teman yang mengenalkan blog ke saya, thanks ya! :-D
Thursday, July 14, 2005
A thousand mile journey begins with the first step
Baru 'kembali' menekuni buku Stephen Covey ... begitu banyak buku yang bersliweran, ide yang muncul begitu saja, pemikiran dari kejadian sehari-hari ... wuiih ... :-D
Dalam bukunya 7 Habits, Covey membahas mengenai prinsip-prinsip tumbuh (growth) dan perubahan (change). Ini menarik, karena sering kali kita mengharap terjadi suatu keajaiban dalam hidup ini. Kita mengharapkan tanpa belajar kita bisa lulus ujian. Kita berharap mendadak kita jago bermain biola tanpa belajar. Kita mengharapkan anak kita begitu lahir bisa langsung jalan dan bicara.
Sudah jelas ini adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Pertumbuhan (yang juga bisa diartikan perubahan) terjadinya bertahap. Untuk bisa lulus ujian, kita harus belajar, kita harus mencoba soal-soal, harus mengevaluasinya, belajar lagi. Baru bisa ujian, dan (mudah-mudahan tanpa harus mengulang) bisa lulus. Tahap-tahap harus terjadi, seperti judul tulisan ini.
Dalam bidang yang jelas seperti bermain biola atau bulu tangkis, jelas kita tidak akan bisa 'mendadak' jago. Namun dalam membangun karakter diri, kadang kita bisa 'bermain' dan berperilaku seakan-akan kita telah mencapai suatu tahap tertentu. Kalau sempat baca tulisan saya di awal masa hidup blog ini (he3x) mengenai personality dan character ethics, kita mungkin 'terjebak' dan bekerja membangun personality ethics. Padahal yang kita harus bangun - dan akan makan waktu lama - adalah character ethics. Cepat lambat 'penipuan' kita akan terbongkar dan orang akan menemukan bahwa kita tidak seperti yang kita dengung-dengungkan.
Dalam dunia pekerjaan, hal ini sering terjadi. Kita mengharapkan sesuatu keajaiban, sehingga budaya perusahaan dan orang-orang di dalamnya dalam waktu yang cepat 'mendadak' jadi sangat positif. Perubahan mungkin akan terjadi, namun akan bersifat semu dan akan berantakan dalam waktu singkat. Perubahan dan pertumbuhan ke hal positif akan memakan waktu, dan kita perlu menyadari ini. Banyak orang tidak sabar dan cenderung 'merusak' proses ini ...
So, kelihatannya kita musti sabar ya dalam hidup ini? :-)
Dalam bukunya 7 Habits, Covey membahas mengenai prinsip-prinsip tumbuh (growth) dan perubahan (change). Ini menarik, karena sering kali kita mengharap terjadi suatu keajaiban dalam hidup ini. Kita mengharapkan tanpa belajar kita bisa lulus ujian. Kita berharap mendadak kita jago bermain biola tanpa belajar. Kita mengharapkan anak kita begitu lahir bisa langsung jalan dan bicara.
Sudah jelas ini adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Pertumbuhan (yang juga bisa diartikan perubahan) terjadinya bertahap. Untuk bisa lulus ujian, kita harus belajar, kita harus mencoba soal-soal, harus mengevaluasinya, belajar lagi. Baru bisa ujian, dan (mudah-mudahan tanpa harus mengulang) bisa lulus. Tahap-tahap harus terjadi, seperti judul tulisan ini.
Dalam bidang yang jelas seperti bermain biola atau bulu tangkis, jelas kita tidak akan bisa 'mendadak' jago. Namun dalam membangun karakter diri, kadang kita bisa 'bermain' dan berperilaku seakan-akan kita telah mencapai suatu tahap tertentu. Kalau sempat baca tulisan saya di awal masa hidup blog ini (he3x) mengenai personality dan character ethics, kita mungkin 'terjebak' dan bekerja membangun personality ethics. Padahal yang kita harus bangun - dan akan makan waktu lama - adalah character ethics. Cepat lambat 'penipuan' kita akan terbongkar dan orang akan menemukan bahwa kita tidak seperti yang kita dengung-dengungkan.
Dalam dunia pekerjaan, hal ini sering terjadi. Kita mengharapkan sesuatu keajaiban, sehingga budaya perusahaan dan orang-orang di dalamnya dalam waktu yang cepat 'mendadak' jadi sangat positif. Perubahan mungkin akan terjadi, namun akan bersifat semu dan akan berantakan dalam waktu singkat. Perubahan dan pertumbuhan ke hal positif akan memakan waktu, dan kita perlu menyadari ini. Banyak orang tidak sabar dan cenderung 'merusak' proses ini ...
So, kelihatannya kita musti sabar ya dalam hidup ini? :-)
Wednesday, July 13, 2005
21 Kualitas Pemimpin Sejati (bagian 5)
21 Kualitas Pemimpin Sejati (bagian 5)
Tulisan ini berdasarkan buku karangan John C Maxwell, The 21 Indispensable Qualities of a Leader. Tiada maksud untuk menulis ulang buku ini (takut kena urusan copyright hehehe ...), tapi lebih berupa ringkasan berdasarkan pemahaman saya .. :-O
5. Kompetensi: Jika Anda Membangunnya, Mereka Akan Datang
Kompetensi adalah lebih dari sekedar kata-kata. Kompetensi adalah kemampuan seorang pemimpin untuk mengatakannya, merencanakannya, dan melakukannya sedemikian rupa sehingga orang lain mengetahui bahwa ia mengetahui caranya - dan mengetahui bahwa mereka ingin menjadi pengikutnya - John C Maxwell
Benjamin Franklin selalu menganggap dirinya orang biasa. Ia hanya bersekolah selama 2 tahun, dan di usia 12 tahun, ia telah dilatih kakaknya dalam dunia percetakan. Dalam usia 20 tahun, ia telah memulai usaha percetakan sendiri.
Yang membedakan Benjamin dengan orang lain ialah ia sempurna dalam segala hal yang ia kerjakan. Ia selalu ingin tahu dan ia terus mencari cara-cara memperbaiki dirinya dan orang lain. Dari percetakan ia berpindah ke penerbitan. Ia melakukan banyak eksperimen dan menemukan berbagai yang barang yang berguna hingga kehidupan kini. Sikapnya terhadap kehidupan adalah, "Jangan sembunyikan potensimu, karena semua potensi itu diciptakan untuk digunakan. Apa gunanya sundial (penentu waktu menurut bayangan tongkat berdiri yang tertimpa sinar matahari) di tempat teduh?"
Bagaimana kita bisa mengembangkan kompetensi kita?
- Muncullah setiap hari
Kita harus siap setiap saat, baik secara fisik maupun mental. Ketika tantangan mendadak datang, kita tidak boleh mengatakan, "Tunggu dulu ya ... saya belum siap". Kita harus siap 'tanding', setiap hari dalam hidup kita.
- Teruslah memperbaiki diri
Orang berkompetensi tinggi selalu mencari cara-cara untuk terus belajar, tumbuh, dan memperbaiki diri. Mereka melakukannya dengan selalu menanyakan, Mengapa?.
- Tindaklanjutilah dengan sempurna
Berprestasi sempurna adalah suatu pilihan. Sebagai pemimpin, kita mengharapkan orang-orang kita akan menindaklanjuti tugas-tugas yang kita berikan dengan sempurna. Mereka pun akan berharap demikian lebih banyak lagi dari kita sebagai pemimpin mereka.
- Capailah lebih dari yang diharapkan
Orang yang berkompetensi tinggi selalu menempuh jarak ekstra. Bagi mereka, cukup itu tidak pernah cukup. Dalam buku Men in Mid-Life Crisis, JIm Conway menulis bahwa ada orang yang merasakan "semakin lemahnya kebutuhan untuk menjadi orang besar, dan semakin kuatnya perasaan 'ya kita jalani saja sebisanya' ..."
- Inspirasikanlah orang lain
Para pemimpin berkompetensi tinggi melakukan lebih dari sekedar berprestasi tinggi. Mereka menginspirasikan dan memotivasi orang lain untuk juga melakukan hal yang sama.
Seperti apa kita, dimanakah kita sekarang? Apakah kita:
1. Mereka yang dapat melihat apa yang harus terjadi
2. Mereka yang dapat membuatnya terjadi
3. Mereka yang dapat membuat segalanya terjadi secara maksimal
Kita hanya dapat menjadi standar pribadi kita sendiri. Kapankah terakhir kali kita mengerahkan seluruh kemampuan kita dalam pekerjaan kita, walaupun tak seorangpun mengetahuinya?
Tulisan ini berdasarkan buku karangan John C Maxwell, The 21 Indispensable Qualities of a Leader. Tiada maksud untuk menulis ulang buku ini (takut kena urusan copyright hehehe ...), tapi lebih berupa ringkasan berdasarkan pemahaman saya .. :-O
5. Kompetensi: Jika Anda Membangunnya, Mereka Akan Datang
Kompetensi adalah lebih dari sekedar kata-kata. Kompetensi adalah kemampuan seorang pemimpin untuk mengatakannya, merencanakannya, dan melakukannya sedemikian rupa sehingga orang lain mengetahui bahwa ia mengetahui caranya - dan mengetahui bahwa mereka ingin menjadi pengikutnya - John C Maxwell
Benjamin Franklin selalu menganggap dirinya orang biasa. Ia hanya bersekolah selama 2 tahun, dan di usia 12 tahun, ia telah dilatih kakaknya dalam dunia percetakan. Dalam usia 20 tahun, ia telah memulai usaha percetakan sendiri.
Yang membedakan Benjamin dengan orang lain ialah ia sempurna dalam segala hal yang ia kerjakan. Ia selalu ingin tahu dan ia terus mencari cara-cara memperbaiki dirinya dan orang lain. Dari percetakan ia berpindah ke penerbitan. Ia melakukan banyak eksperimen dan menemukan berbagai yang barang yang berguna hingga kehidupan kini. Sikapnya terhadap kehidupan adalah, "Jangan sembunyikan potensimu, karena semua potensi itu diciptakan untuk digunakan. Apa gunanya sundial (penentu waktu menurut bayangan tongkat berdiri yang tertimpa sinar matahari) di tempat teduh?"
Bagaimana kita bisa mengembangkan kompetensi kita?
- Muncullah setiap hari
Kita harus siap setiap saat, baik secara fisik maupun mental. Ketika tantangan mendadak datang, kita tidak boleh mengatakan, "Tunggu dulu ya ... saya belum siap". Kita harus siap 'tanding', setiap hari dalam hidup kita.
- Teruslah memperbaiki diri
Orang berkompetensi tinggi selalu mencari cara-cara untuk terus belajar, tumbuh, dan memperbaiki diri. Mereka melakukannya dengan selalu menanyakan, Mengapa?.
- Tindaklanjutilah dengan sempurna
Berprestasi sempurna adalah suatu pilihan. Sebagai pemimpin, kita mengharapkan orang-orang kita akan menindaklanjuti tugas-tugas yang kita berikan dengan sempurna. Mereka pun akan berharap demikian lebih banyak lagi dari kita sebagai pemimpin mereka.
- Capailah lebih dari yang diharapkan
Orang yang berkompetensi tinggi selalu menempuh jarak ekstra. Bagi mereka, cukup itu tidak pernah cukup. Dalam buku Men in Mid-Life Crisis, JIm Conway menulis bahwa ada orang yang merasakan "semakin lemahnya kebutuhan untuk menjadi orang besar, dan semakin kuatnya perasaan 'ya kita jalani saja sebisanya' ..."
- Inspirasikanlah orang lain
Para pemimpin berkompetensi tinggi melakukan lebih dari sekedar berprestasi tinggi. Mereka menginspirasikan dan memotivasi orang lain untuk juga melakukan hal yang sama.
Seperti apa kita, dimanakah kita sekarang? Apakah kita:
1. Mereka yang dapat melihat apa yang harus terjadi
2. Mereka yang dapat membuatnya terjadi
3. Mereka yang dapat membuat segalanya terjadi secara maksimal
Kita hanya dapat menjadi standar pribadi kita sendiri. Kapankah terakhir kali kita mengerahkan seluruh kemampuan kita dalam pekerjaan kita, walaupun tak seorangpun mengetahuinya?
From Mao to Mozart
Ini adalah judul DVD documentary mengenai perjalanan Isaac Stern, violinist kondang, ke negeri Cina. DVD ini memenangkan Oscar untuk kategory documentary (kalau tidak salah). So ... what's so hot about this DVD?
Saya pertama kali menontonnya di rumah saudara. Waktu itu ada yang pasang, dan saya sepintas lintas saja melihatnya. Dalam hati sudah bikin keputusan, "Ah film dokumentasi, bosaan ... mending baca koran/majalah ..." Namun makin lama ternyata DVD ini membuat saya tertarik dan akhirnya menutup koran yang sedang saya untuk seterusnya menonton DVD ini hingga selesai.
Kenapa menarik? Film ini menceritakan banyak hal:
- Kehidupan di Cina
Gambaran orang-orangnya. Para pemuda, anak-anak kecil yang serius dan penuh gairah belajar musik. Situasi kehidupan Cina di pedalaman. Situasi alam, sawah, jalan setapak, sungai, gunung, kereta api yang 'menembus' tanah Cina dan seterusnya.
- Keahlian Isaac Stern
Keahliannya bermain biola sungguh luar biasa. Ia sanggup memberikan 'nafas kehidupan' pada setiap nada yang ia mainkan. Suatu lagu bisa jadi sangat menghanyutkan bagai tarian yang indah, berderap laksana tentara yang berbaris di pagi yang cerah, lincah bagaikan pesilat yang sibuk bertarung, maupun memberikan suasana santai dan tenang bak sore hari yang santai di teras rumah ....
- Bagaimana mendidik
Stern memperlihatkan kegairahan dan keseriusan dalam mengajar. Ia selalu mendengarkan dengan serius. Tak segan bertepuk tangan dan memberikan penghargaan tertinggi, bahkan kepada anak umur 10 tahun. Ia tak ragu pula untuk langsung menghentikan orang yang sedang berlatih dan langsung memberikan contoh yang sederhana, langsung pada tujuan, dan mudah dimengerti. Caranya mengkritik pun sangat mempesona, dengan gaya yang 'hangat', baik dengan kata-kata maupun bahasa tubuh, sehingga orang tidak merasa terganggu dengan kritik itu.
- Bagaimana mencintai
Keahliannya dan keinginan serta hasratnya untuk mendidik benar-benar menarik. Saya sangat terpukau setiap melihat ekspresi wajahnya ketika bermain biola. Yang terpancar keseriusan, kenikmatan, dan kecintaannya. Ia seakan 'hilang' dan menyatu dengan biola dan musiknya.
Pelajaran utama yang saya dapat dari film ini ialah bagaimana kita seharusnya serius dan mencintai sesuatu yang kita kerjakan. Dengan mencintainya, kita akan menjadi bagiannya, dan itu bukanlah menjadi suatu pekerjaan lagi. Tetapi bagian dari hidup dan kehidupan kita ...
Saya pertama kali menontonnya di rumah saudara. Waktu itu ada yang pasang, dan saya sepintas lintas saja melihatnya. Dalam hati sudah bikin keputusan, "Ah film dokumentasi, bosaan ... mending baca koran/majalah ..." Namun makin lama ternyata DVD ini membuat saya tertarik dan akhirnya menutup koran yang sedang saya untuk seterusnya menonton DVD ini hingga selesai.
Kenapa menarik? Film ini menceritakan banyak hal:
- Kehidupan di Cina
Gambaran orang-orangnya. Para pemuda, anak-anak kecil yang serius dan penuh gairah belajar musik. Situasi kehidupan Cina di pedalaman. Situasi alam, sawah, jalan setapak, sungai, gunung, kereta api yang 'menembus' tanah Cina dan seterusnya.
- Keahlian Isaac Stern
Keahliannya bermain biola sungguh luar biasa. Ia sanggup memberikan 'nafas kehidupan' pada setiap nada yang ia mainkan. Suatu lagu bisa jadi sangat menghanyutkan bagai tarian yang indah, berderap laksana tentara yang berbaris di pagi yang cerah, lincah bagaikan pesilat yang sibuk bertarung, maupun memberikan suasana santai dan tenang bak sore hari yang santai di teras rumah ....
- Bagaimana mendidik
Stern memperlihatkan kegairahan dan keseriusan dalam mengajar. Ia selalu mendengarkan dengan serius. Tak segan bertepuk tangan dan memberikan penghargaan tertinggi, bahkan kepada anak umur 10 tahun. Ia tak ragu pula untuk langsung menghentikan orang yang sedang berlatih dan langsung memberikan contoh yang sederhana, langsung pada tujuan, dan mudah dimengerti. Caranya mengkritik pun sangat mempesona, dengan gaya yang 'hangat', baik dengan kata-kata maupun bahasa tubuh, sehingga orang tidak merasa terganggu dengan kritik itu.
- Bagaimana mencintai
Keahliannya dan keinginan serta hasratnya untuk mendidik benar-benar menarik. Saya sangat terpukau setiap melihat ekspresi wajahnya ketika bermain biola. Yang terpancar keseriusan, kenikmatan, dan kecintaannya. Ia seakan 'hilang' dan menyatu dengan biola dan musiknya.
Pelajaran utama yang saya dapat dari film ini ialah bagaimana kita seharusnya serius dan mencintai sesuatu yang kita kerjakan. Dengan mencintainya, kita akan menjadi bagiannya, dan itu bukanlah menjadi suatu pekerjaan lagi. Tetapi bagian dari hidup dan kehidupan kita ...
Monday, July 11, 2005
“Free” bandwith ...
Mengikuti saran teman saya, di tempat liburan ini saya coba men-scan wireless network, siapa tahu yang ada yang ‘free’. Dari hotel sih ada, tapi musti bayar ... :-) Setelah coba-coba, eh dapat setidaknya 2 wireless network yang bisa dipakai. Tanpa ‘protection’ sama sekali ...
Cuma yang repot untuk mendapatkan network ini musti rada jungkir balik di depan jendela hotel .. :-D
Kapan ya di Indonesia ada ‘free’ bandwith? Mungkin harus ikutan programnya Onno kali ya?
Cuma yang repot untuk mendapatkan network ini musti rada jungkir balik di depan jendela hotel .. :-D
Kapan ya di Indonesia ada ‘free’ bandwith? Mungkin harus ikutan programnya Onno kali ya?
Managing
Maaf judulnya bahasa Inggris. Cuma belum ketemu bahasa Indonesia yang pas, mengatur? Kok rasanya belum cukup representatif menggantikan kata managing ...
Anyhow, saya sudah kurang lebih 3 tahun hidup tidak bisa lepas dari PDA (Personal Digital Assistant). Sudah berbagai jenis PDA saya gunakan, dari yang berbasis Linux, Palm, PocketPC, Symbian, Blackberry (total barangkali sudah 15 buah lebih he3x) dan saat ini sedang 'berlabuh' di Palm. Semua masuk ke sini, mulai dari agenda sehari-hari, tugas-tugas yang harus dikerjakan, catatan, dll. Supaya mudah, saya buat berbagai jenis golongan (kantor, pribadi, weekend misalnya) agar mudah menelusurinya. Juga penggunaan warna, font, maupun icon .. Selain itu harus ada fasilitas membuka file-file Micro$oft, ada Al Qur'an, travel kit (jadwal pesawat, cuaca, barang-barang yang musti dibawa kalau travel ... meski travelnya jarang banget hehehe), nomor-nomor emergency, jadwal maintenance mobil, dan masih banyak lagi. Ide-ide blog juga masuk sini ... everything is there and I can't live without it basically .. :-)
Hanya saja sudah 2 minggu ini saya balik ke kertas lagi. Mencatat tugas-tugas di kertas, mengetiknya di komputer, mengorganize-nya kembali, baru akhirnya masuk kembali ke PDA. Kalau ini sudah terjadi artinya pekerjaan sudah sedemikian melimpah ruah sehingga baik otak dan PDA sudah tidak sanggup menanganinya lagi .. dan akhirnya harus kembali ke pola sederhana. Pulpen dan secarik kertas ... :-)
Cuma kalau ingat 1-2 tahun yang lalu, situasinya lebih menarik lagi. Tugas-tugas yang ada sangat abstrak. Tidak mudah mengorganize maupun mengkategorikannya. Akhirnya pada saat itu saya sampai harus menggunakan metode 'mind mapping" (belajar mepet di google .. ) untuk mencoba memahami 'gambar' situasi secara keseluruhan.
Bagaimana dengan anda ... bagaimana anda mengatur-memange-mengorganize kehidupan anda? Apa berkutet dengan ruwetnya seperti saya atau biarkan hidup itu mengalir seperti air?
Anyhow, saya sudah kurang lebih 3 tahun hidup tidak bisa lepas dari PDA (Personal Digital Assistant). Sudah berbagai jenis PDA saya gunakan, dari yang berbasis Linux, Palm, PocketPC, Symbian, Blackberry (total barangkali sudah 15 buah lebih he3x) dan saat ini sedang 'berlabuh' di Palm. Semua masuk ke sini, mulai dari agenda sehari-hari, tugas-tugas yang harus dikerjakan, catatan, dll. Supaya mudah, saya buat berbagai jenis golongan (kantor, pribadi, weekend misalnya) agar mudah menelusurinya. Juga penggunaan warna, font, maupun icon .. Selain itu harus ada fasilitas membuka file-file Micro$oft, ada Al Qur'an, travel kit (jadwal pesawat, cuaca, barang-barang yang musti dibawa kalau travel ... meski travelnya jarang banget hehehe), nomor-nomor emergency, jadwal maintenance mobil, dan masih banyak lagi. Ide-ide blog juga masuk sini ... everything is there and I can't live without it basically .. :-)
Hanya saja sudah 2 minggu ini saya balik ke kertas lagi. Mencatat tugas-tugas di kertas, mengetiknya di komputer, mengorganize-nya kembali, baru akhirnya masuk kembali ke PDA. Kalau ini sudah terjadi artinya pekerjaan sudah sedemikian melimpah ruah sehingga baik otak dan PDA sudah tidak sanggup menanganinya lagi .. dan akhirnya harus kembali ke pola sederhana. Pulpen dan secarik kertas ... :-)
Cuma kalau ingat 1-2 tahun yang lalu, situasinya lebih menarik lagi. Tugas-tugas yang ada sangat abstrak. Tidak mudah mengorganize maupun mengkategorikannya. Akhirnya pada saat itu saya sampai harus menggunakan metode 'mind mapping" (belajar mepet di google .. ) untuk mencoba memahami 'gambar' situasi secara keseluruhan.
Bagaimana dengan anda ... bagaimana anda mengatur-memange-mengorganize kehidupan anda? Apa berkutet dengan ruwetnya seperti saya atau biarkan hidup itu mengalir seperti air?
Sunday, July 10, 2005
Libur!
Mengikuti forum BlogFam yang offline seminggu, saya berketetapan hati untuk off juga seminggu hehehe ... Nggak ding, bukan karena forum BlogFam, tapi memang karena mau libur seminggu dengan keluarga. Di tempat liburan belum tahu ada akses internet nggak, jadi nggak tahu apa bisa back online atau bener-bener harus off seminggu. Bahan lamunan sih udah ada, tinggal 'diterbitkan' ... :-P
Kalau ada sumur di ladang
Boleh kita menumpang mandi
Kalau ada umur panjang
Boleh kita jumpa lagi ...
Libur yok libur ... :-)
Kalau ada sumur di ladang
Boleh kita menumpang mandi
Kalau ada umur panjang
Boleh kita jumpa lagi ...
Libur yok libur ... :-)
Belanja di ''Toko Kebahagiaan''
Arvan Pradiansyah
Seorang muda yang selalu resah dan gelisah menemui seorang bijak dan bertanya, ''Berapa lamakah waktu yang saya butuhkan untuk memperoleh kebahagiaan?'' Orang bijak itu memandang si anak muda kemudian menjawab, ''Kira-kira sepuluh tahun.''
Mendengar hal itu anak muda tadi terkejut, ''Begitu lama,?'' tanyanya tak percaya.
''Tidak,'' kata si orang bijak, ''Saya keliru. Engkau membutuhkan 20 tahun.''
Anak muda itu bertambah bingung. ''Mengapa Guru lipatkan dua,?'' tanyanya keheranan. Orang bijak kemudian berkata, ''Coba pikirkan, dalam hal ini mungkin engkau membutuhkan 30 tahun.''
Apa yang terlintas dalam pikiran Anda ketika membaca cerita di atas? Tahukah Anda mengapa semakin banyak orang muda itu bertanya, semakin lama pula waktu yang diperlukannya untuk mencapai kebahagiaan?
Lantas, bagaimana cara kita mendapatkan kebahagiaan? Sebagaimana yang telah sering saya sampaikan, kebahagiaan hanya akan dicapai kalau kita mau melakukan pencarian ke dalam. Namun, itu semua tidak dapat Anda peroleh dengan cuma-cuma. Anda harus mau membayar harganya.
Agar lebih mudah saya akan menggunakan analogi sebuah toko. Nama toko itu adalah ''Toko Kebahagiaan.'' Di sana tidak ada barang yang bernama ''kebahagiaan'' karena ''kebahagiaan'' itu sendiri tidak dijual. Namun, toko ini menjual semua barang yang merupakan unsur-unsur pembangun kebahagiaan, antara lain: kesabaran, keikhlasan, rasa syukur, kasih sayang, kejujuran, kepasrahan, dan rela memaafkan. Inilah ''barang-barang'' yang Anda perlukan untuk mencapai kebahagiaan.
Tetapi, berbeda dari toko biasa, toko ini tidak menjual produk jadi. Yang dijual di sini adalah benih. Jadi, kalau Anda tertarik untuk membeli ''kesabaran'' Anda hanya akan mendapatkan ''benih kesabaran.'' Karena itu, segera setelah Anda pulang ke rumah Anda harus berusaha keras untuk menumbuhkan benih tersebut sampai ia menghasilkan buah kesabaran.
Setiap benih yang Anda beli di toko tersebut mengandung sejumlah persoalan yang harus Anda pecahkan. Hanya bila Anda mampu memecahkan persoalan tersebut, Anda akan menuai buahnya. Benih yang dijual di toko itu juga bermacam-macam tingkatannya. ''kesabaran tingkat 1,'' misalnya, berarti menghadapi kemacetan lalu lintas, atau pengemudi bus yang ugal-ugalan. ''Kesabaran tingkat 2'' berarti menghadapi atasan yang sewenang-wenang, atau kawan yang suka memfitnah. ''Kesabaran tingkat 3'', misalnya, adalah menghadapi anak Anda yang terkena autisme.
Menu yang lain misalnya ''bersyukur.'' ''Bersyukur tingkat 1'' adalah bersyukur di kala senang, sementara ''bersyukur tingkat 2'' adalah bersyukur di kala susah. ''Kejujuran tingkat 1,'' misalnya, kejujuran dalam kondisi biasa, sementara ''kejujuran tingkat 2'' adalah kejujuran dalam kondisi terancam. Inilah sebagian produk yang dapat dibeli di ''Toko Kebahagiaan''.
Setiap produk yang dijual di toko tersebut berbeda-beda harganya sesuai dengan kualitas karakter yang ditimbulkannya. Yang termahal ternyata adalah ''kesabaran'' karena kesabaran ini merupakan bahan baku dari segala macam produk yang dijual di sana.
Seorang filsuf Thomas Paine pernah mengatakan, ''Apa yang kita peroleh dengan terlalu mudah pasti kurang kita hargai. Hanya harga yang mahallah yang memberi nilai kepada segalanya. Tuhan tahu bagaimana memasang harga yang tepat pada barang-barangnya.''
Dengan cara pandang seperti ini kita akan menghadapi masalah secara berbeda. Kita akan bersahabat dengan masalah. Kita pun akan menyambut setiap masalah yang ada dengan penuh kegembiraan karena dalam setiap masalah senantiasa terkandung ''obat dan vitamin'' yang sangat kita butuhkan.
Dengan demikian Anda akan ''berterima kasih'' kepada orang-orang yang telah menyusahkan Anda karena mereka memang ''diutus'' untuk membantu Anda. Pengemudi yang ugal-ugalan, tetangga yang jahat, atasan yang sewenang-wenang adalah peluang untuk membentuk kesabaran. Penghasilan yang pas-pasan adalah peluang untuk menumbuhkan rasa syukur. Suasana yang ribut dan gaduh adalah peluang untuk menumbuhkan konsentrasi. Orang-orang yang tak tahu berterima kasih adalah peluang untuk menumbuhkan perasaan kasih tanpa syarat. Orang-orang yang menyakiti Anda adalah peluang untuk menumbuhkan kualitas rela memaafkan.
Sebagai penutup marilah kita renungkan ungkapan berikut ini:
''Aku memohon kekuatan, dan Tuhan memberiku kesulitan-kesulitan untuk membuatku kuat. Aku memohon kebijaksanaan, dan Tuhan memberiku masalah untuk diselesaikan. Aku memohon kemakmuran, dan Tuhan memberiku tubuh dan otak untuk bekerja. Aku memohon keberanian, dan Tuhan memberiku berbagai bahaya untuk aku atasi. Aku memohon cinta, dan Tuhan memberiku orang-orang yang bermasalah untuk aku tolong. Aku mohon berkah dan Tuhan memberiku berbagai kesempatan. Aku tidak memperoleh apapun yang aku inginkan, tetapi aku mendapatkan apapun yang aku butuhkan.''
Seorang muda yang selalu resah dan gelisah menemui seorang bijak dan bertanya, ''Berapa lamakah waktu yang saya butuhkan untuk memperoleh kebahagiaan?'' Orang bijak itu memandang si anak muda kemudian menjawab, ''Kira-kira sepuluh tahun.''
Mendengar hal itu anak muda tadi terkejut, ''Begitu lama,?'' tanyanya tak percaya.
''Tidak,'' kata si orang bijak, ''Saya keliru. Engkau membutuhkan 20 tahun.''
Anak muda itu bertambah bingung. ''Mengapa Guru lipatkan dua,?'' tanyanya keheranan. Orang bijak kemudian berkata, ''Coba pikirkan, dalam hal ini mungkin engkau membutuhkan 30 tahun.''
Apa yang terlintas dalam pikiran Anda ketika membaca cerita di atas? Tahukah Anda mengapa semakin banyak orang muda itu bertanya, semakin lama pula waktu yang diperlukannya untuk mencapai kebahagiaan?
Lantas, bagaimana cara kita mendapatkan kebahagiaan? Sebagaimana yang telah sering saya sampaikan, kebahagiaan hanya akan dicapai kalau kita mau melakukan pencarian ke dalam. Namun, itu semua tidak dapat Anda peroleh dengan cuma-cuma. Anda harus mau membayar harganya.
Agar lebih mudah saya akan menggunakan analogi sebuah toko. Nama toko itu adalah ''Toko Kebahagiaan.'' Di sana tidak ada barang yang bernama ''kebahagiaan'' karena ''kebahagiaan'' itu sendiri tidak dijual. Namun, toko ini menjual semua barang yang merupakan unsur-unsur pembangun kebahagiaan, antara lain: kesabaran, keikhlasan, rasa syukur, kasih sayang, kejujuran, kepasrahan, dan rela memaafkan. Inilah ''barang-barang'' yang Anda perlukan untuk mencapai kebahagiaan.
Tetapi, berbeda dari toko biasa, toko ini tidak menjual produk jadi. Yang dijual di sini adalah benih. Jadi, kalau Anda tertarik untuk membeli ''kesabaran'' Anda hanya akan mendapatkan ''benih kesabaran.'' Karena itu, segera setelah Anda pulang ke rumah Anda harus berusaha keras untuk menumbuhkan benih tersebut sampai ia menghasilkan buah kesabaran.
Setiap benih yang Anda beli di toko tersebut mengandung sejumlah persoalan yang harus Anda pecahkan. Hanya bila Anda mampu memecahkan persoalan tersebut, Anda akan menuai buahnya. Benih yang dijual di toko itu juga bermacam-macam tingkatannya. ''kesabaran tingkat 1,'' misalnya, berarti menghadapi kemacetan lalu lintas, atau pengemudi bus yang ugal-ugalan. ''Kesabaran tingkat 2'' berarti menghadapi atasan yang sewenang-wenang, atau kawan yang suka memfitnah. ''Kesabaran tingkat 3'', misalnya, adalah menghadapi anak Anda yang terkena autisme.
Menu yang lain misalnya ''bersyukur.'' ''Bersyukur tingkat 1'' adalah bersyukur di kala senang, sementara ''bersyukur tingkat 2'' adalah bersyukur di kala susah. ''Kejujuran tingkat 1,'' misalnya, kejujuran dalam kondisi biasa, sementara ''kejujuran tingkat 2'' adalah kejujuran dalam kondisi terancam. Inilah sebagian produk yang dapat dibeli di ''Toko Kebahagiaan''.
Setiap produk yang dijual di toko tersebut berbeda-beda harganya sesuai dengan kualitas karakter yang ditimbulkannya. Yang termahal ternyata adalah ''kesabaran'' karena kesabaran ini merupakan bahan baku dari segala macam produk yang dijual di sana.
Seorang filsuf Thomas Paine pernah mengatakan, ''Apa yang kita peroleh dengan terlalu mudah pasti kurang kita hargai. Hanya harga yang mahallah yang memberi nilai kepada segalanya. Tuhan tahu bagaimana memasang harga yang tepat pada barang-barangnya.''
Dengan cara pandang seperti ini kita akan menghadapi masalah secara berbeda. Kita akan bersahabat dengan masalah. Kita pun akan menyambut setiap masalah yang ada dengan penuh kegembiraan karena dalam setiap masalah senantiasa terkandung ''obat dan vitamin'' yang sangat kita butuhkan.
Dengan demikian Anda akan ''berterima kasih'' kepada orang-orang yang telah menyusahkan Anda karena mereka memang ''diutus'' untuk membantu Anda. Pengemudi yang ugal-ugalan, tetangga yang jahat, atasan yang sewenang-wenang adalah peluang untuk membentuk kesabaran. Penghasilan yang pas-pasan adalah peluang untuk menumbuhkan rasa syukur. Suasana yang ribut dan gaduh adalah peluang untuk menumbuhkan konsentrasi. Orang-orang yang tak tahu berterima kasih adalah peluang untuk menumbuhkan perasaan kasih tanpa syarat. Orang-orang yang menyakiti Anda adalah peluang untuk menumbuhkan kualitas rela memaafkan.
Sebagai penutup marilah kita renungkan ungkapan berikut ini:
''Aku memohon kekuatan, dan Tuhan memberiku kesulitan-kesulitan untuk membuatku kuat. Aku memohon kebijaksanaan, dan Tuhan memberiku masalah untuk diselesaikan. Aku memohon kemakmuran, dan Tuhan memberiku tubuh dan otak untuk bekerja. Aku memohon keberanian, dan Tuhan memberiku berbagai bahaya untuk aku atasi. Aku memohon cinta, dan Tuhan memberiku orang-orang yang bermasalah untuk aku tolong. Aku mohon berkah dan Tuhan memberiku berbagai kesempatan. Aku tidak memperoleh apapun yang aku inginkan, tetapi aku mendapatkan apapun yang aku butuhkan.''
Rezeki ...
Tuhan Memang Maha Adil. Sudah sering saya diberikan 'kejutan'. Namun setiap kali saya selalu kaget dan takjub. Seperti weekend ini ... Sungguh Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang ...
Siapa yang menyangka kalau hari ini saya ketemu dua teman karib lama di dunia blog? Alhamdulillah ... jadi kangen ketemu mereka ... yah sementara lewat blog dulu deh .. :-)
Yang rada geli juga ialah mereka berdua panggil 'pak' ... hmmm ... kelihatannya memang harus 'mengaku' kalau semakin tua .. eh ... semakin dewasa (mudah-mudahan ... amien!)
Siapa yang menyangka kalau hari ini saya ketemu dua teman karib lama di dunia blog? Alhamdulillah ... jadi kangen ketemu mereka ... yah sementara lewat blog dulu deh .. :-)
Yang rada geli juga ialah mereka berdua panggil 'pak' ... hmmm ... kelihatannya memang harus 'mengaku' kalau semakin tua .. eh ... semakin dewasa (mudah-mudahan ... amien!)
Saturday, July 09, 2005
Resepsi
Pagi ini baca isi koran sekilas:
".... akad nikah telah dilaksanakan. Sementara resepsi akan dilakukan Sabtu ini di istana Bogor ..."
Lihat sekilas kemudian berpindah ke topik lain, tapi otak langsung menyambar karena merasa ada yang tidak beres dengan kalimat yang barusan saya baca. Saat itu saya sendiri tidak tahu apa yang tidak klop, jadi baca lagi kalimat di atas ... dan eureka (gaya amat ...) ...
Ini urusan pernikahan ini urusan pribadi atau negara sih? Mungkin memang dari segi keamanan lebih baik menggunakan fasilitas yang bisa mendukung itu. But ... still, saraf dan otak saya terganggu. Saya sulit menerima korelasi antara 'seseorang yang saat ini' menjadi Presiden dengan penggunaan fasilitas negara untuk urusan keluarga. Apalagi di tengah gencarnya berita busung lapar, langkanya BBM, kenaikan gaji DPR, gaji ke-13 untuk pejabat negara, ramainya Pilkada. Saya harus 'menelikung' otak dan saraf saya sedemikian kerasnya agar bisa menerima kenyataan kalau semua ini sedang terjadi ....
Apa tidak bikin saja resepsi sederhana. Kemudian buat pesta rakyat .. ya hanya untuk rakyat, bukan untuk orang-orang yang bermobil, berdasi, berpakaian mewah, yang datang membawa hadiah yang gemerlapan ... Aneh? Tidak lazim? Jelas. Tapi apa harus normal dan lazim? Seperti kata John Maxwell bahwa bagian dari proses pembelajaran seseorang ialah ketika ia menghadapi suatu krisis, persimpangan jalan, saat dia harus memilih. Biasanya hanya ada 2 pilihan, tetap dengan idealisme, atau berkompromi. Setiap kali ia memilih idealisme, ia akan makin kuat, makin berkarakter, meski katakan hasil pilihan itu membawa dia ke situasi yang negatif (misalnya harus keluar dari suatu pekerjaan karena tidak mau korupsi).
Apa keinginan saya terlalu muluk ya? Hmm ... setidaknya sebagai seseorang, saya punya hak untuk bicara, apalagi untuk pemimpin saya ...
Wahai para pemimpin ... ingatlah tanggung jawabmu ...
".... akad nikah telah dilaksanakan. Sementara resepsi akan dilakukan Sabtu ini di istana Bogor ..."
Lihat sekilas kemudian berpindah ke topik lain, tapi otak langsung menyambar karena merasa ada yang tidak beres dengan kalimat yang barusan saya baca. Saat itu saya sendiri tidak tahu apa yang tidak klop, jadi baca lagi kalimat di atas ... dan eureka (gaya amat ...) ...
Ini urusan pernikahan ini urusan pribadi atau negara sih? Mungkin memang dari segi keamanan lebih baik menggunakan fasilitas yang bisa mendukung itu. But ... still, saraf dan otak saya terganggu. Saya sulit menerima korelasi antara 'seseorang yang saat ini' menjadi Presiden dengan penggunaan fasilitas negara untuk urusan keluarga. Apalagi di tengah gencarnya berita busung lapar, langkanya BBM, kenaikan gaji DPR, gaji ke-13 untuk pejabat negara, ramainya Pilkada. Saya harus 'menelikung' otak dan saraf saya sedemikian kerasnya agar bisa menerima kenyataan kalau semua ini sedang terjadi ....
Apa tidak bikin saja resepsi sederhana. Kemudian buat pesta rakyat .. ya hanya untuk rakyat, bukan untuk orang-orang yang bermobil, berdasi, berpakaian mewah, yang datang membawa hadiah yang gemerlapan ... Aneh? Tidak lazim? Jelas. Tapi apa harus normal dan lazim? Seperti kata John Maxwell bahwa bagian dari proses pembelajaran seseorang ialah ketika ia menghadapi suatu krisis, persimpangan jalan, saat dia harus memilih. Biasanya hanya ada 2 pilihan, tetap dengan idealisme, atau berkompromi. Setiap kali ia memilih idealisme, ia akan makin kuat, makin berkarakter, meski katakan hasil pilihan itu membawa dia ke situasi yang negatif (misalnya harus keluar dari suatu pekerjaan karena tidak mau korupsi).
Apa keinginan saya terlalu muluk ya? Hmm ... setidaknya sebagai seseorang, saya punya hak untuk bicara, apalagi untuk pemimpin saya ...
Wahai para pemimpin ... ingatlah tanggung jawabmu ...
Weekend!
Alhamdulilllah weekend ... belakangan ini weekend semakin saya butuhkan karena ketegangan di kantor semakin banyak. Kalau biasanya Sabtu pagi seusai subuh saya berkutat di depan komputer atau mengejar-ngejar warung nasi uduk (he3x), sudah beberapa weekend ini saya harus tergeletak kembali 1-2 jam di pembaringan karena proses 'rechargingnya' belum selesai .. ;-)
Anyway, selamat berakhir pekan semua ya! It is so nice to have all of you as friends ... it is great to be around in this blogger world! :-)
Keep blogging ...
Anyway, selamat berakhir pekan semua ya! It is so nice to have all of you as friends ... it is great to be around in this blogger world! :-)
Keep blogging ...
Friday, July 08, 2005
Habis
Habis ... habis sudah energi. Terkuras, kering-kerontang. Begitu banyak yang terjadi minggu ini yang semuanya satu-persatu menyedot energi ... habis sudah. Perlu istirahat. Perlu break. Jasmani. Rohani. Semangat.
Habis ...
Habis ...
Thursday, July 07, 2005
Sedih?
Merasa sedih? Merasa gagal? Merasa kehidupan itu membebani kita terlalu banyak?
Sudah pernah dengar lagu Ebiet G Ade yang berjudul Nasihat Pengemis Untuk Istri Dan Doa Untuk Hari Esok Mereka? Coba kita simak sama-sama. Semoga bisa sedikit 'menurunkan' kecamuk hati kita ...
Istriku, Marilah kita tidur
Hari telah larut malam
Lagi sehari kita lewati
Meskipun nasib semakin tak pasti
Lihat, anak kita tertidur menahankan lapar
Erat memeluk bantal dingin
Pinggiran jalan
Wajahnya kurus, pucat
Matanya dalam
Istriku, marilah kita berdoa
Sementara biarkan lapar terlupa
Seperti yang pernah ibu ajarkan
Tuhan bagi siapa saja
Meskipun kita pengemis pinggiran jalan
Doa kita pun pasti dia dengarkan
Bila kita pasrah diri, tawakkal
Esok hari perjalanan kita
Masih sangatlah panjang
Mari tidurlah, lupakan sejenak
Beban derita, lepaskan
La la la la la la la dengarkanlah nyanyi
La la la la la la la dari seberang jalan
La la la la la la la usah kau tangisi
La la la la la la la nasib kita hari ini
Tuhan, selamatkanlah istri dan anakku
Hindarkanlah hati mereka
Dari iri dan dengki
Kepada yang berkuasa dan kenyang
Di tengah kelaparan
Oh! hindarkanlah mereka dari iri dan dengki
Kuatkanlah jiwa mereka
Bimbinglah di jalanMu
Bimbinglah di jalanMu.
Sudah pernah dengar lagu Ebiet G Ade yang berjudul Nasihat Pengemis Untuk Istri Dan Doa Untuk Hari Esok Mereka? Coba kita simak sama-sama. Semoga bisa sedikit 'menurunkan' kecamuk hati kita ...
Istriku, Marilah kita tidur
Hari telah larut malam
Lagi sehari kita lewati
Meskipun nasib semakin tak pasti
Lihat, anak kita tertidur menahankan lapar
Erat memeluk bantal dingin
Pinggiran jalan
Wajahnya kurus, pucat
Matanya dalam
Istriku, marilah kita berdoa
Sementara biarkan lapar terlupa
Seperti yang pernah ibu ajarkan
Tuhan bagi siapa saja
Meskipun kita pengemis pinggiran jalan
Doa kita pun pasti dia dengarkan
Bila kita pasrah diri, tawakkal
Esok hari perjalanan kita
Masih sangatlah panjang
Mari tidurlah, lupakan sejenak
Beban derita, lepaskan
La la la la la la la dengarkanlah nyanyi
La la la la la la la dari seberang jalan
La la la la la la la usah kau tangisi
La la la la la la la nasib kita hari ini
Tuhan, selamatkanlah istri dan anakku
Hindarkanlah hati mereka
Dari iri dan dengki
Kepada yang berkuasa dan kenyang
Di tengah kelaparan
Oh! hindarkanlah mereka dari iri dan dengki
Kuatkanlah jiwa mereka
Bimbinglah di jalanMu
Bimbinglah di jalanMu.
Tips menulis
Lanjutan soal potensi diri nih. Seperti biasa, trims berat buat rekan Ve atas komentar dan pertanyaannya yang menimbulkan inspirasi baru untuk menulis .. :-).
So, apa sih tipsnya supaya bisa nulis? Paling gampang ya ...
1. Menulis
2. Menulis
3. Menulis
:-)
Intinya jangan dipikirin, tulis aja! Berantakan? Biarin, pokoknya tulis aja! Ntar kacau? Biarin, pokoknya tulis aja! Tuangkan, curahkan, tumpahkan! Soal berantakan, kacau ... ntar aja belakangan. Yang penting, tulis aja dulu ....
Memang orang memiliki metode yang berbeda. Ada yang 'mengkonsep' dulu di kepala, baru ditulis. Ada pula yang membuat kerangka tulisannya dulu, baru dibuat tulisan yang lengkap. Ada pula yang membuat point-pointnya dulu, baru ditulis yang lengkap. Repot memang ... paling gampang ya ... tulis aja! Sori kalau kebanyakan tanda seru, hehehe ... habis ya itu, jangan dipikirin macem-macem ... tulis aja ... :-D
Gimana kalau rasanya kepala sumpek dan penuh? Apa yang paling enak? Ngobrol, curhat. Entah kepada manusia atau kepada Yang di Atas Sana. Biasanya bagaimana hasilnya? Belum tentu masalahnya terselesaikan, namun biasanya rasa sumpek dan penuh itu hilang karena sudah 'disalurkan' .... :-) iya kan?
Begitu juga dengan urusan tulis-menulis ini. Tuang, curah, tumpahkan saja ... :-D
Kalau saya sendiri sih biasanya nulis .. ya nulis aja. Nulis di blog ini emang awalnya kagok ... hehehe. Makanya posting-posting awal mengambil tulisan orang lain. Tapi lama-lama 'gatal' juga kepingin nulis. Ya udah tulis aja. Pertama kagok, lama-lama mulai rileks, dan sekarang pada tahap ketagihan .. :-P
So, ayo nulis-nulis ... tuangkan isi kepala itu dan biarkan para bloggers memberikan komentar ... free spech as freedom ..
So, apa sih tipsnya supaya bisa nulis? Paling gampang ya ...
1. Menulis
2. Menulis
3. Menulis
:-)
Intinya jangan dipikirin, tulis aja! Berantakan? Biarin, pokoknya tulis aja! Ntar kacau? Biarin, pokoknya tulis aja! Tuangkan, curahkan, tumpahkan! Soal berantakan, kacau ... ntar aja belakangan. Yang penting, tulis aja dulu ....
Memang orang memiliki metode yang berbeda. Ada yang 'mengkonsep' dulu di kepala, baru ditulis. Ada pula yang membuat kerangka tulisannya dulu, baru dibuat tulisan yang lengkap. Ada pula yang membuat point-pointnya dulu, baru ditulis yang lengkap. Repot memang ... paling gampang ya ... tulis aja! Sori kalau kebanyakan tanda seru, hehehe ... habis ya itu, jangan dipikirin macem-macem ... tulis aja ... :-D
Gimana kalau rasanya kepala sumpek dan penuh? Apa yang paling enak? Ngobrol, curhat. Entah kepada manusia atau kepada Yang di Atas Sana. Biasanya bagaimana hasilnya? Belum tentu masalahnya terselesaikan, namun biasanya rasa sumpek dan penuh itu hilang karena sudah 'disalurkan' .... :-) iya kan?
Begitu juga dengan urusan tulis-menulis ini. Tuang, curah, tumpahkan saja ... :-D
Kalau saya sendiri sih biasanya nulis .. ya nulis aja. Nulis di blog ini emang awalnya kagok ... hehehe. Makanya posting-posting awal mengambil tulisan orang lain. Tapi lama-lama 'gatal' juga kepingin nulis. Ya udah tulis aja. Pertama kagok, lama-lama mulai rileks, dan sekarang pada tahap ketagihan .. :-P
So, ayo nulis-nulis ... tuangkan isi kepala itu dan biarkan para bloggers memberikan komentar ... free spech as freedom ..
Kajian 7 Juli 2005
Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar QS Al Maaidah:9.
Wednesday, July 06, 2005
Blogs again ...
Komentar dari rekan Imansah nih:
Blogs
Ada banyak tujuan orang bikin blogs.
Menulis di blogs ? Ada banyak alasan orang menulis di blogs.
Tulisan di blogs. Ada banyak alasan orang menaroh tulisan di blogs.
Semuanya tergantung dari sudut mana kita memandang.
Bagaimana komentar teman-teman? Saya masih sibuk meresapi tulisan ini ... dalam betul ...
Blogs
Ada banyak tujuan orang bikin blogs.
Menulis di blogs ? Ada banyak alasan orang menulis di blogs.
Tulisan di blogs. Ada banyak alasan orang menaroh tulisan di blogs.
Semuanya tergantung dari sudut mana kita memandang.
Bagaimana komentar teman-teman? Saya masih sibuk meresapi tulisan ini ... dalam betul ...
Mengenali potensi diri
Ini meneruskan pertanyaan rekan Ve ... :-). Iya bagaimana caranya?
Coba siapkan kertas dan pinsil. Pulpen juga boleh, spidol apalagi. Atau krayon? Kuas? Roll buat ngecet dinding aja sekalian .. :-P. Coba pikirkan apa yang kita banggakan di hidup ini ... bisa melawak seperti tatz? Sori tatz nyamber namanya ... Punya prinsip? Murah senyum? Punya keluarga yang menyejukkan? Selalu on time? Punya banyak kawan? Baik kepada tetangga? Sukses di kantor? Baru saja menyelesaikan proyek dengan baik? Lulus SD, SMP, SMA? Hasil praktikum kemarin memuaskan? Wah ... daftarnya panjang sekali ...
Cara lain ialah dengan mencoba menulis titik-titik balik kehidupan kita. Saat senang maupun saat sulit. Lulus SD->saat senang. Kalah jadi juara kelas di SMP->saat sulit. Begitu seterusnya. Kita akan takjub melihat betapa banyaknya titik senang maupun titik sulit yang sudah kita alami di hidup ini. Pada saat kita menuliskan titik-titik balik kita akan teringat betapa kita bangganya pada saat kesenangan dan betapa sulit/tabahnya kita pada masa kesulitan.
Kalau boleh dirangkai kedua hal di atas, kita akan takjub melihat begitu banyaknya perjuangan dan kesenangan yang telah kita lewati. Kita juga melihat betapa banyaknya potensi yang kita miliki untuk mengarungi hidup ini.
Nggak percaya? Coba deh ambil selembar dua lembar kertas .... :-). Jangan dipikirin aja, tapi kudu' ditulis, karena akan lebih tervisualisasi. Juga akan mengalirkan ingatan-ingatan itu dari otak kita, menjalar ke badan, tangan, ke jari, dan akan perlahan-lahan 'menghangati' hati kita ... semoga ... :-)
Coba siapkan kertas dan pinsil. Pulpen juga boleh, spidol apalagi. Atau krayon? Kuas? Roll buat ngecet dinding aja sekalian .. :-P. Coba pikirkan apa yang kita banggakan di hidup ini ... bisa melawak seperti tatz? Sori tatz nyamber namanya ... Punya prinsip? Murah senyum? Punya keluarga yang menyejukkan? Selalu on time? Punya banyak kawan? Baik kepada tetangga? Sukses di kantor? Baru saja menyelesaikan proyek dengan baik? Lulus SD, SMP, SMA? Hasil praktikum kemarin memuaskan? Wah ... daftarnya panjang sekali ...
Cara lain ialah dengan mencoba menulis titik-titik balik kehidupan kita. Saat senang maupun saat sulit. Lulus SD->saat senang. Kalah jadi juara kelas di SMP->saat sulit. Begitu seterusnya. Kita akan takjub melihat betapa banyaknya titik senang maupun titik sulit yang sudah kita alami di hidup ini. Pada saat kita menuliskan titik-titik balik kita akan teringat betapa kita bangganya pada saat kesenangan dan betapa sulit/tabahnya kita pada masa kesulitan.
Kalau boleh dirangkai kedua hal di atas, kita akan takjub melihat begitu banyaknya perjuangan dan kesenangan yang telah kita lewati. Kita juga melihat betapa banyaknya potensi yang kita miliki untuk mengarungi hidup ini.
Nggak percaya? Coba deh ambil selembar dua lembar kertas .... :-). Jangan dipikirin aja, tapi kudu' ditulis, karena akan lebih tervisualisasi. Juga akan mengalirkan ingatan-ingatan itu dari otak kita, menjalar ke badan, tangan, ke jari, dan akan perlahan-lahan 'menghangati' hati kita ... semoga ... :-)
Hiburan di kala sedih ...
Anda sedang sedih? Sama dong .... kek kek kek ... uups sorry, bukannya bersimpati tapi malah ikutan .. :-P
Merasa sedih adalah wajar. Namanya juga manusia. Cuma jangan berlarut-larut ... :-). Ada 2 tips nih ...
1. Simpanlah selalu kenangan baik, ucapan terima kasih, penghargaan.
Ucapan terima kasih dari orang lain ini bisa dalam bentuk email, surat/kartu, tulisan di blog, dan lain sebagainya. Pada saat sedih, buka-bukalah 'simpanan' ini. Rasanya sih akan menghibur kita. Mungkin kita perlahan-lahan akan tersenyum. Mungkin pula kita akan mengangguk-angguk tak sadar. Mungkin pula rasa sedih kita akan tertukar dengan rasa haru mengingat kenangan manis di masa lalu.
Tentunya jangan terus 'hidup' di masa lalu. Setelah membuka-buka, mudah-mudahan rasa sedih itu akan hilang dan berganti dengan rasa bahagia, mantap, semangat untuk kembali 'berjuang'.
2. Manusia berusaha, Yang Maha Kuasa lagi Adil yang menentukan
Maha Adil Engkau ya Tuhan, berikanlah kami yang terbaik menurutMu ...
Kembali ke nomor 1, so jangan lupa ya mengucapkan terima kasih kepada teman kita, pasangan hidup. Buat surat pendek, atau kartu, atau email juga boleh. Apalah medianya, yang penting supaya bisa ia simpan untuk 'penangkal' di masa-masa sulit .. :-)
Bagaimana dengan kenangan buruk? Buang jauh-jauh! Ada cerita menarik soal ini ... :-)
Merasa sedih adalah wajar. Namanya juga manusia. Cuma jangan berlarut-larut ... :-). Ada 2 tips nih ...
1. Simpanlah selalu kenangan baik, ucapan terima kasih, penghargaan.
Ucapan terima kasih dari orang lain ini bisa dalam bentuk email, surat/kartu, tulisan di blog, dan lain sebagainya. Pada saat sedih, buka-bukalah 'simpanan' ini. Rasanya sih akan menghibur kita. Mungkin kita perlahan-lahan akan tersenyum. Mungkin pula kita akan mengangguk-angguk tak sadar. Mungkin pula rasa sedih kita akan tertukar dengan rasa haru mengingat kenangan manis di masa lalu.
Tentunya jangan terus 'hidup' di masa lalu. Setelah membuka-buka, mudah-mudahan rasa sedih itu akan hilang dan berganti dengan rasa bahagia, mantap, semangat untuk kembali 'berjuang'.
2. Manusia berusaha, Yang Maha Kuasa lagi Adil yang menentukan
Maha Adil Engkau ya Tuhan, berikanlah kami yang terbaik menurutMu ...
Kembali ke nomor 1, so jangan lupa ya mengucapkan terima kasih kepada teman kita, pasangan hidup. Buat surat pendek, atau kartu, atau email juga boleh. Apalah medianya, yang penting supaya bisa ia simpan untuk 'penangkal' di masa-masa sulit .. :-)
Bagaimana dengan kenangan buruk? Buang jauh-jauh! Ada cerita menarik soal ini ... :-)
Kajian 6 Juli 2005
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan QS Al Maaidah: 8.
Tuesday, July 05, 2005
Memahami potensi diri
Dalam hidup ini sering kali yang kita ingat kekurangan-kekurangan diri kita. Pengetahuan kurang, wawasan kurang, teman kurang, kegantengan kurang (he3x) dan seterusnya. Ini bagus, jika kita gunakan sebagai cambuk untuk memacu diri kita untuk menjadi lebih baik, dari hari ke hari. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini ...
Namun karena cara berfikir di atas, seringkali kita lupa memahami potensi diri kita. Hal yang paling simpel misalnya ialah buat para 'blogger' ialah kemampuan menulis. Tidak semua orang dengan mudah menuliskan apa yang ada di kepala maupun hatinya. Mungkin sebagian dari kita akan bilang, "iya, bisa nulis sih, tapi nggak mutu tulisannya." Eitss, ntar dulu. Sudah bisa menulis adalah sesuatu yang hebat, harus kita hargai dan kita syukuri.
Contoh lain sederhana misalnya kita senang tersenyum pada orang lain (bukan gila lhooo ....). Mungkin buat kita sepele, tapi sebenarnya tidak. Contoh apa lagi yang lain? Rajin berolahraga misalnya. Atau kita giat di kegiatan RT di rumah, atau di kampus, atau kegiatan di kantor ...
Hal-hal yang sederhana ini harus kita sadari (buat listnya kalau perlu). Kemudian kita harus menghargai potensi-potensi itu, salah satunya dengan merasa bangga (yang tidak berlebihan tentunya). Kemudian setelah itu ialah bagaimana meningkatkan/menggali potensi itu agar lebih berkembang dan memberikan efek positif bagi kita.
Contoh di atas misalnya, dengan semakin rajin menulis di blog siapa tahu orang minta kita menulis artikel, cerpen, buku, jadi pembicara di seminar dan sebagainya. Atau teman-teman kita ikutan bangga punya blogger yang mumpuni.
Jadi apa intinya? Intinya, kenalilah potensi-potensi diri agar kita bisa menghargai diri kita sendiri. Lalu kembangkan potensi diri itu untuk menjadi kita manusia yang senantiasa berkembang ke arah yang lebih baik.
Namun karena cara berfikir di atas, seringkali kita lupa memahami potensi diri kita. Hal yang paling simpel misalnya ialah buat para 'blogger' ialah kemampuan menulis. Tidak semua orang dengan mudah menuliskan apa yang ada di kepala maupun hatinya. Mungkin sebagian dari kita akan bilang, "iya, bisa nulis sih, tapi nggak mutu tulisannya." Eitss, ntar dulu. Sudah bisa menulis adalah sesuatu yang hebat, harus kita hargai dan kita syukuri.
Contoh lain sederhana misalnya kita senang tersenyum pada orang lain (bukan gila lhooo ....). Mungkin buat kita sepele, tapi sebenarnya tidak. Contoh apa lagi yang lain? Rajin berolahraga misalnya. Atau kita giat di kegiatan RT di rumah, atau di kampus, atau kegiatan di kantor ...
Hal-hal yang sederhana ini harus kita sadari (buat listnya kalau perlu). Kemudian kita harus menghargai potensi-potensi itu, salah satunya dengan merasa bangga (yang tidak berlebihan tentunya). Kemudian setelah itu ialah bagaimana meningkatkan/menggali potensi itu agar lebih berkembang dan memberikan efek positif bagi kita.
Contoh di atas misalnya, dengan semakin rajin menulis di blog siapa tahu orang minta kita menulis artikel, cerpen, buku, jadi pembicara di seminar dan sebagainya. Atau teman-teman kita ikutan bangga punya blogger yang mumpuni.
Jadi apa intinya? Intinya, kenalilah potensi-potensi diri agar kita bisa menghargai diri kita sendiri. Lalu kembangkan potensi diri itu untuk menjadi kita manusia yang senantiasa berkembang ke arah yang lebih baik.
Subscribe to:
Posts (Atom)